Kiblat secara bahasa berarti berhadapan, bertemu, menjemput, menyambut dll yang semakna dengan itu. Setiap orang yang berhadapan atau bertemu, menjemput dan menyambut tentunya akan melakukan kegiatan yang saling berhadapan antara dia dengan orang atau sesuatu yang berada di hadapannya. Demikianlah bila dikaitkan dengan shalat, maka orang yang sedang shalat itu diwajibkan menghadap kiblat adalah tidak lain semakna dengan arti diatas bahwa shalat itu, berhadapan, bertemu, menjemput dan menyambut atau menghadap pada sesuatu yang ada di depan yaitu Ka’bah. Adapun secara definisi yaitu menghadapkan diri ke arah Ka’bah baitullah di kota Makkah dalam setiap shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunnat. Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa menghadap kiblat pada waktu shalat adalah wajib bagi orang yang mengetahui ain (fisik Ka’bah) dan juga bagi orang yang mengetahui jihat (arah) Ka’bah wajib untuk menghadap ke Ka’bah. Dan menghadap Ka’bah juga termasuk salah satu dari lima syarat sahnya shalat.
Pada prinsipnya shalat adalah beribadah menghadap Allah swt bahwa Allah itu ada dimana-mana, DIA meliputi segala ruang dan segala arah sehingga setiap hamba yang akan beribadah pasti menghadap kepada-Nya, entah ke timur atau ke barat ke selatan atau ke utara niscaya Allah ada disemua arah. Keyakinan seperti ini jelas tercantum dalam QS. 2/ al-Baqarah : 115 “Kepunyaan Allah arah timur dan barat, maka dimanapun kamu berada niscaya kamu akan menemui Allah”. Ayat ini menjadi alternatif lain dari kiblat yang membolehkan bagi siapa saja yang belum mengetahui Ka’bah baik fisik Ka’bah maupun arah Ka’bah untuk menghadap ke mana saja pada waktu shalat. Atau karena dia dalam keadaan darurat, tersesat ditengah hutan dalam kegelapan malam atau diatas kendaraan, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja. Bisa difahami bahwa aturan Islam itu tidak kaku bukan hanya ditasyri’ untuk kondisi tertentu, tidak mengakomodir hal-hal yang sifatnya darurat, tetapi justru sangat elastisnya ajaran Islam itu.
Nah di sinilah umat Islam diwajibkan untuk menghadap padanya (Ka’bah) dalam setiap shalat. Demikian adalah isyarat pemersatu atau persatuan bagi umat ini. Bisa dibayangkan bagaimana kalau hal ini tidak diatur oleh Allah, tentu menjadi ribet urusannya. Bisa dibayangkan dalam sebuah majlis shalat kalau tidak diatur menghadap ke satu arah, lalu masing masing orang menghadap ke arah mana saja yang dia suka, maka di depan kita ada yang menghadap ke utara, di belakang kita ada yang menghadap ke selatan, di samping kita ada yang menghadap ke timur ada juga yang menghadap ke barat, di sekeliling kita ada yang mengambil arah jurusan mata angin yang lain, tentu situasinya menjadi kacau. Dari itulah Allah swt mengatur urusan ini dengan menetapkan objek yang bisa menjadi simbol kesatuan dalam shalat itu sendiri yaitu Ka’bah. Harus diingat bahwa Ka’bah menjadi kiblat kedua bagi umat Islam karena semulanya Allah menetapkan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) menjadi kiblat pertama bagi umat Islam.
Meskipun demikian, dalam setiap shalatnya Nabi saw menghadap ke Baitul Maqdis tetapi Ka’bah ada di depan Rasulullah saw. Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, dan Baihaqi dari Ibnu Abbas katanya ketika Nabi saw masih di Makkah sebelum Beliau pindah ke Madinah, kalau shalat Beliau menghadap kiblat ke Baitul Maqdis, tetapi Ka’bah ada di depan Beliau. (Hamka I : 329). Adapun setelah berpindah ke Madinah Beliau langsung menghadap ke Baitul Maqdis. Selama di Madinah kiblat ke Baitul Maqdis hanya berjalan selama 16 bulan (1 tahun 4 bulan) lamanya, dan ketika turun wahyu ayat 144 surat al-Baqarah, Nabi saw memindahkan kiblat kembali ke Masjidil Haram yang disana ada Ka’bah (Baitullah). Sejak saat itu Nabi saw dan umat Islam mulai berkiblat ke Ka’bah sampai sekarang. Namun perlu dicatat bahwa Allah swt memilih kiblat pada dua tempat itu, tidak berarti Allah bertempat di kedua tempat itu atau semulanya Allah bertempat di Baitul Maqdis kemudian Allah berpindah ke Masjidil Haram (Ka’bah). Tetapi pemindahan dan penetapan kiblat itu hanya sebagai simbol kesatuan umat Islam saja. Logikanya dengan konsekwensi keimanan, apakah orang beriman mau taat pada perintah Allah atau tidak, sebab orang beriman pasti taat pada Allah dan sebaliknya.
Nah bagaimana pula kiblat dalam kaitannya dengan Fiqh kapan dibolehkan untuk tidak menghadap ke kiblat dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Menurut mazhab Syafi’I dan orang-orang yang mengikutinya mereka berpendapat bahwa bagi orang yang melihat ‘Ain (fisik) Ka’bah, maupun yang jauh atau tidak melihatnya maka wajiblah menghadap ke Ka’bah secara sungguh-sungguh. Tetapi bagi orang-orang yang jauh dari fisik Ka’bah wajib atasnya menyengaja menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah walaupun pada kenyataannya ia hanya menghadap jihat (arah/ jurusan) Ka’bah. Bagi mazhab Maliki, Hanafi, Hambali dan orang-orang yang mengikutinya mereka berpendapat bahwa bagi orang-orang yang melihat Ka’bah dan mungkin menghadap ‘ain Ka’bah, wajib menghadap ke Ka’bah itu sungguh-sungguh, sedangkan bagi orang yang jauh cukup menghadap ke jurusan (jihat) Ka’bah itu saja. Adapun bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat bukan enteng saja dia mau menghadap ke mana saja, tetapi dia harus menyeidiki dulu, sampai dia betul-betul tidak tahu barulah dia menghadap ke arah mana saja.
Dalam fiqh lima mazhab Muhammad Jawad al-Mughniyah menulis bahwa bagi orang yang jauh yang tidak melihat fisik Ka’bah, adalah sangat tidak mungkin memastikan arah Ka’bah secara tepat, oleh karena itu bagi orang yang jauh cukup menghadap ke arah Ka’bah bukan mesti batul-betul tepat. Hal ini bisa di analisa bahwa sebuah objek yang dijadikan sasaran menghadap padanya, dalam posisi tertentu dari orang yang menghadap padanya tentu ada yang tepat sasaran, ada yang sedikit dan ada yang meleset. Misalkan saja dengan mimbar tempat khatib berkhutbah. Maka mimbar itu hanya tepat arahnya bagi orang-orang yang lurus posisinya dengan mimbar itu, tetapi akan sedikit bahkan meleset bagi orang-orang yang posisinya tidak lurus (tepat) dengan mimbar itu seperti shaf-shaf yang melebar ke kiri dan kanan dari mimbar itu. Semakin panjang shaf maka semakin jauh dari arah mimbar itu. Akan menjadi tepat ke mimbar apabila orang yang melihat mimbar itu yang tidak lurus posisinya menyerongkan sedikit posisinya ke mimbar sehingga dia benar-benar berhadapan dengan mimbar. Begitulah secara sederhana kita bandingkan antara melihat fisik Ka’bah dan mengarah ke jurusan Ka’bah.
Beberapa tahun belakangan ini kita mendapatkan isu yang kontroversial dengan arah kiblat bagi negeri kita Indonesia yang sebagian dari kita hanya mendalihkan arah kiblat dengan arah barat karena dipercayai bahwa Makkah (Masjidil Haram/ Ka’bah) berada di sebelah barat dari Indonesia. Hal ini dibantah oleh sebagian dari kita bahwa dalil seperti itu tidak pas, karena bila melihat peta, maka letak daerah-daerah yang berada di wilayah barat Indonesia adalah Negara-negara Afrika seperti Maroko, Aljazair dll. Sementara letak Makkah (Arab Saudi) berada pada arah barat laut. Dengan perbedaan pandangan seperti maka banyak diantara Masjid yang mengubah arah kiblatnya agak serong ke arah barat laut dan ada juga yang tetap ke barat. Bahkan untuk urusan ini membuat umat Islam menjadi berpecah belah, membangun masjidnya sendiri-sendiri, menurut arah kiblatnya masing masing. Menurut penulis dalam hal seperti ini semua pihak hendaklah berlapang dada, yang tidak tepat arah kiblatnya bisa mengakui dan menerima sementara yang mau memperbaiki juga hendaklah dengan cara yang paling santun. Bulan Dzulhijjah yang ketika ini kita menyambut saudara-saudari kita yang kembali dari menunaikan ibadah haji kiranya kita terilhami bahwa berbagai umat Islam yang datang ke tempat yang disuruh menghadap siang dan malam, mereka telah menanggalkan segala perbedaan dan kembali pada satu persamaan. Demikianlah hendaknya dengan kita yang berada di tanah air. Wallahu a’lam.(Oleh : Abd. Razak Muhidin)
0 comments:
Post a Comment