English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, October 18, 2013

MAKNA TEMPAT

Dan Ritual Haji


Musim haji telah dimaklumkan oleh Allah SWT keatas hamba-hamba-Nya mulai dari bulan Syawal sampai dengan Dzulhijjah. Maka dengan itu dimana saja hamba Allah di pelosok bumi selalu berusaha, bersiap sedia untuk mendatangi dua tempat suci (al-Haramain) Makkah dan Madinah, dalam rangka menunaikan rukun Islam ke 5 yaitu melaksanakan ibadah haji. Kalau sekarang dengan kemajuan zaman maka janji Allah dalam QS. 22/al-Hajj : 27 menjadi mudah bagi hamba-hamba Allah mendatangi dua haramain itu, tetapi bagaimana dengan mereka-mereka pada zaman dulu yang ketika itu alam lingkungannya masih liar, dengan kehidupan yang masih primitif dan penuh kekurangan ? Maha benar Allah dengan sumpah janjinya, bahwa dalam keadaan apapun juga hamba-hamba-Nya pasti akan datang kepada-Nya, jangankan dengan kendaraan mewah, dengan unta yang kurus keringpun pasti dan pasti. Begitulah ibadah haji dengan sejarahnya ketika manusia pertamapun (Adam AS) telah menapak rintis tilas galas, memulainya dan seterusnya oleh para Nabi dan seterusnya hingga akhir zaman..

Dalam kaitannya dengan judul diatas maka perlu adanya pemaknaan (penyegaran) bagi kita semua apa makna yang tersirat dan tersurat dalam ritual pelaksanaan (manasik) haji, dan apa pula makna dari tempat-tempat yang disebut dengan nama dan simbol-simbol tertentu ? Berakhirnya puasa Ramadhan dan masuknya bulan Syawal, maka musim haji pun telah dimulai. Dengan demikian maka siapa saja umat Islam yang telah berniat haji hendaklah menguatkan kembali niatnya pada waktu itu dan apabila dia ditakdirkan bisa berangkat maka niat itu hendaklah dipertegas kembali ketika memasuki tanah haram yang ditandai memakai pakaian ihram dan berniat melaksanakan haji. Sungguh niat bukanlah sesuatu yang asing bagi kita sekalian bahwa dia (niat) teramat besar pengaruhnya terhadap segala amaliyah seseorang. Bahkan dengan niat itu walaupun belum dilak-sanakan, pun tetap dihitung oleh Allah sebagai suatu kebajikan. Bahkan niat haji itu bisa saja lebih istimewa dari ibadah-ibadah yang lain, sehingga Imam Nawawi dalam satu musim haji mendapat ilham bermimpi bahwa ada seorang hamba Allah di Yaman yang tidak berangkat tetapi dia terhitung sebagai haji mabrur. Yang paling menakjubkan beribu-ribu orang yang menunaikan haji pada waktu itu tidak ada yang menjadi haji mabrur kecuali yang tertinggal di Yaman itu. Setelah diusul periksa rupanya hamba Allah itu telah berniat haji pada tahun itu tetapi ketika melihat ada orang susah di sekitarnya, dia urungkan niatnya itu dan menghabiskan ongkos hajinya untuk membantu orang-orang susah.

Niat haji dengan memakai pakaian ihram serba putih adalah perlambangan kesucian, dan yang lainnya adalah lambang kepasrahan total kepada Allah laiknya seperti orang mati, karena pakaian putih tersebut juga tidak obahnya orang mati yang dikafani. Memakai ihram itu juga lambang ketundukan kepada Allah dari segala pakaian kebesaran yang dibawa dari kampung halaman, yang selama ini menjadi gap antara kaya miskin, pejabat dan rakyat jelata semuanya telah hilang yang ada hanya satu pakaian. Adapun orang-orang yang memakai pakaian ihram itu juga tidak obahnya sebagai orang yang pulang kampung setelah merantau jauh karena tempat suci itu adalah kampung asal manusia dan bakal manusia akan dikumpulkan kembali ditempat itu oleh Allah SWT, sehingga Allah menyebut dalam firman-Nya bahwa tempat itu adalah “Ummul Quraa” artinya ibu negeri yang mengandung makna sebagai kampung asal usul manusia. Adapun pulang kampung identiknya dengan orang mati, maka pulang kampung pada musim haji adalah latihan kematian. Maka demikianlah hendaknya kita sadari sehingga pelaksanaan haji semakin bermakna.

Selang beberapa jam setelah memakai pakaian ihram tibalah sudah di Makkah al-Mukar- ramah, maka permulaan yang akan dilakukan adalah Thawaf Qudum yaitu thawaf ketika baru tiba di kota Makkah. Baru tiba sebagaimana tersebut diatas setelah merantau jauh dari ibu negeri meninggalkan kampung halaman, maka demikianlah yang terjadi atas setiap orang yang baru tiba kembali ke kampung halaman (Makkah), pasti saja berlinangan air mata. Mengapa? Bisa saja tangisan itu karena haru yang mendalam...ternyata bisa datang/pulang ke ibu negeri (Makkah). Oh…betapa haru bercampur gembira atas izin yang empunya tanah suci (Allah SWT) maka diri ini bisa ada disini dihadapan Ka’bah al-Musyarrafah. Bukan mudah datang ke ibu negeri (kampung asal), karena harus membanting tulang, mencari uang. Kadang harus bertukar ganti dengan keadaan yang menimpah ketika anak atau istri sakit, sehingga harus menguras biaya dan harapan untuk datang ke ibu negeri semakin pupus. Tetapi kini ternyata ditakdirkan untuk sampai disini (Makkah). Kadang anak harus sekolah sehingga ongkos untuk datang ke ibu negeri (Makkah) harus dihabiskan dan tertundalah niat suci itu. Tetapi kini ditakdirkan sampai disini (Makkah), maka betapalah air mata itu adalah syukur yang tiada terhingga.

Thawaf qudum dan thawaf yang lain semuanya adalah perlambangan ketundukan kepada Allah, bagaikan air bah yang mengalir dan sampailah air bah itu dilubuk sehingga berputarlah arus air itu. Maka begitulah kehendak Allah untuk ditunaikan (thawaf) laksanakanlah sebagaimana arus air itu dalam kepasrahan. Artinya jangan melawan arus, bila melawan arus pasti tenggelam, terpijak oleh jama’ah yang lain. Maka begitulah hendaknya thawaf itu menjadi inspirasi kepasrahan bagaikan orang mati yang mengikuti arus air (lautan manusia yang thawaf), dan ketika pulang dari hajipun hendaklah menunjukkan sikap itu kepada orang-orang, tetangga, karib kerabat, dan semua orang. Niscaya cara tampilan, watak baru itu menghapuskan watak lama yang selama ini tidak bersahabat dan melawan arus. Thawaf juga adalah bukti ketundukan makhluk Allah di muka bumi kepada khaliknya (Allah SWT), mulai dari makhluk terkecil dibawah dari atompun berthawaf mengelilingi inti atom, sampai makhluk terbesar galaksi juga menunjukkan ketundukan kepada Allah dengan berthawaf di langit angkasa.

Bila tujuh putaran thawaf itu semakin mendekati hajar aswad, maka sunnah yang sangat dianjurkan untuk menciumnya. Demikian itu adalah perlambangan dari rasa cinta, bagaikan sang ibu dengan anaknya yang lama berpisah, karena memang hajar aswad itu berada di rumah tuamu (ka’bah). Memang lama berpisah, sehingga ketika memulai thawaf itu disunnahkan mengangkat tangan kanan ke arah ka’bah, seperti kebiasaan orang yang berpisah lama dan bertemu kembali dengan melambaikan tangan, dan lambaian itu akan disambut oleh yang empunya rumah (Allah swt). Dia (Ka’bah) disebut oleh Allah sebagai (Baitul ‘Atiq) yang artinya “Rumah Tua”, berarti rumah yang paling awal yang dihuni oleh manusia, maka sosok yang paling sayang kepada anak-anaknya di dalam rumah adalah ibu. Ka’bah bagai kan rumah ibu maka begitulah ibaratnya ketika mencium hajar aswad. Kepadatan dan penyebaran penduduk, bencana alam dan faktor alamiah lainnya menyebabkan anak Adam berpencar ke segenap penjuru alam, meninggalkan rumah tua (baitul ‘atiq / ka’bah), dan kini ditakdirkan kembali mengunjungi rumah tua itu (menunaikan haji) dan disunnahkan menciumnya. Tidak dipungkiri, berapa banyakkah diantara mereka yang meneteskan air mata di depan hajar aswad itu, tidak lain…karena perlambangan kasih ibu ada disana. Begitulah hendaknya seorang anak kepada ibunya, maka selama ini apabila terkurangnya perhatian kepada ibu kandung, karena menguta-makan istri, urusan bisnis dan lain-lain, sehingga ada yang melemparkan orang tuanya ke panti jompo, maka sekembalinya dari haji hendaklah apa yang di lakukan pada hajar aswad, menjadi ispirasi perbaikan hubungan dengan kedua orang tua terutama ibu.

Alur terimakasih dan pengabdian yang kurang kepada kedua orang tua semakin terasa, ketika melaksanakan Sa’i yaitu berlari-lari kecil tujuh kali antara bukit Shafaa dan Marwah. Diantara kedua bukit itu betapa terkenang akan kasih ibu kepada anaknya yang kehausan (Sitti Hajar dan Ismail AS). Betapa seorang ibu harus berusaha, berjuang, berjihad bersungguh-sungguh untuk mendapatkan air untuk anaknya, tidak menjadi orang yang berpangku tangan, mengharapkan keajaiban, atau berharap pada orang lain karena banyak yang berharap pada orang lain yang akhirnya menjadi penjilat pencari muka, maka harus berjuang dan berjuang. Dengan didorong oleh rasa cinta (Shafaa) lalu berjuang untuk mendapatkan air, tanpa perjuangan dan hanya berharap pada orang lain akan menjatuhkan harga diri (Marwah) sebagaimana disebutkan diatas. Dua bukit itu (Shafaa dan Marwah) telah menunjukkan makna filosofis yang tinggi, bahwa perjuangan menghadapi kehidupan duniawi terkadang orang hilang cinta dan kasih sayang sehingga bermusuhan, iri dengki, dendam kesumat, berbunuhan dan terkadang perjuangan duniawi itu juga telah menjatuhkan harga diri (Marwah) sesorang. Dia ibunda (Sitti Hajar) yang berlari dari bukit Shafaa dan Marwah itu telah menunjukkan teladan, maka ambillah hikmahnya.

Kini saatnya wukuf di bukit ‘Arafah, saat dimana seluruh jama’ah dikehendaki berada di bukit ‘Arafah pada waktu tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar, saat dimana merupakan puncak dari ibadah haji. Disebutkan dalam hadits Nabi SAW bahwa “Haji adalah ‘Arafah”. Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari keseluruhan ibadah haji adalah wukuf di ‘Arafah. Bila dimaknai “Arafah” berarti “Tahu atau Mengetahui” dan “Wukuf” berarti “Berhenti”, semakin memberikan inspirasi mengapa di namakan tempat dengan sebutan demikian? Banyak orang yang telah lupa diri, tidak tahu akan dirinya, tidak kenal dirinya sehingga Tuhannya juga ia lupakan. Karena lupa diri itu maka segala dosa dan maksiat dikerjakan, karena tidak kenal diri itu maka segala larangan Allah dikerjakan dan segala perintah-Nya diabaikan. Benarlah Nabi dalam sabdanya “Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhan-Nya”, maka sebaliknya dari itu apabila tidak kenal diri. Saatnya kini untuk mengenal diri ketika melakukan wukuf sedang pelaksanaan wukuf itu sendiri di tempat yang menghendaki untuk kenal diri (‘Arafah). “Siapa diri kita” ?.

Dan apa yang seharusnya terjadi setelah kita mengenal diri? Tidak lain dan tak bukan setelah kenal diri maka hentikanlah (Wukuf) dari segala dosa dan maksiat. Wakuf artinya berhenti, bukan hanya berhenti di bukit Arafah itu, tetapi berhenti yang sesungguhnya adalah berhenti melakukan dosa dan durhaka kepada Allah swt. Malampun tiba wukuf harus benar-benar kosentrasi dengan keheningan malam, ketika rembulan 10 Dzulhijjah mulcul di balik bukit-bukit batu…justru suasana semakin tercipta. Sementara berjuta-juta orang yang memadati bukit itu lantaran begitu terkosentrasi, maka keheningan itu semakin terasa, seakan hanya diri seorang yang berada di situ. Maka itulah saat terbaik untuk kenal diri, hayatilah hingga ke lubuk hati yang paling dalam dan sebagai konsekwensi dari penghayatan itu maka wukuflah (berhentilah) dari segala dosa dan maksiat. Fajar 10 Dzulhijjah pun tiba bersurailah dari ‘Arafah menuju Muzdalifah dan sekejap bermalam di Mina lalu melontar tiga jamrah (Aqabah, Wustha dan Ulaa). Ingat-lah…sejarah melontar tiga jamrah itu bermula dari seorang jawara tauhid (Ibrahim AS) mengusir bujuk rayu syaitan. Tanamkan niat dalam-dalam ketika melontar itu, sebab syaitan senantiasa menyelinap dimanapun anda berada, sedangkan menundukkan syaitan itu hal yang mudah dengan membaca ayat Allah atau dzikrullah, syetan akan lari jauh-jauh. Sedangkan yang paling berat adalah hawa nafsu yang ada pada dirimu, yang lebih kuat memdorongmu berbuat jahat. Maka sekali lagi tanamkan niat yang paling kuat untuk melempar hawa nafsu jahatmu pada waktu melontar jumrah itu. Begitu juga ketika tahallul dengan menyembelih hewan, maka yang paling bermakna adalah menyembelih nafsu hewani yang ada pada diri sendiri. Bila semua tempat dan pelaksanaan manasik itu telah dimaknai secara syari’at maupun hakikat, yakinlah bahwa anda pulang membawa gelar haji MABRUR.

Demikian….Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment