Tauhid adalah kata bentukan yang berasal
dari kata “Ahadun- waahidun- tauhiidun“ yang artinya satu, tunggal atau esa.
Dalam definisinya Tauhid adalah ilmu
yang mempelajari tentang keesaan Allah. Drs. H. Hamzah Ya’kub dalam Ilmu
Makrifah mendefinisikan bahwa “Tauhid“ secara lughah (bahasa) berarti
menyatukan, menunggalkan, mengesakan, atau menganggap satu. Adapun secara
maknawiyahnya (definisinya) “Tauhid“
adalah ilmu yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang wajib
diketahui dan dipercayai. Singkatnya ilmu mengenai Allah. Hamzah menambahkan
lagi bahwa tujuan yang paling utama dari Ilmu Tauhid adalah mengesakan Allah,
baik zat-Nya, sifat dan perbuatan-Nya, tanpa sekutu bagi-Nya. Sebagian ulama
Tauhid yang lain menambahkan mengesakan Allah dalam zat, sifat, asma’
(nama-Nya) dan af-‘al (perbuatan)-Nya. Dari definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa Tauhid adalah keyakinan yang utuh dari hamba Allah bahwa dia hanya
bertuhan kepada Allah, yang dengan itu dia hanya bergantung, berlindung,
berharap, takut, cinta, meminta,
mengabdi dan menyembah hanya kepada Allah.
Mempelajari Ilmu Tauhid adalah sesuatu
yang sangat penting diketahui oleh seorang muslim, karena tanpa ilmu ini seseorang bisa saja tersesat
aqidahnya. Bila tersesat aqidah maka tersesat pula amalannya, bila tersesat amalannya,
maka sia-sialah ia. Banyak orang yang berfikir bahwa mempelajari ilmu tauhid yaitu
mempelajari nama-nama Allah, sifat-sifatnya, hal ini benar adanya tetapi
pembelajaran seperti ini bersifat
artificial yaitu pembelajaran yang hanya mengalihkan ilmu dari satu
bahasa ke bahasa yang lain, tetapi makna sesungguhnya yang esensi, sehingga
tauhid itu berfungsi mendekatkan seorang hamba dengan khaliqnya, yang dengan
itu dia menjadi lebih berhati-hati dalam I’tiqad keyakinannya hingga
mengamalkan ajaran agamanya secara syumul dan utuh. Banyak yang hanya
mengartikan tauhid sebagaimana disebutkan ini sehingga dalam situasi tertentu
tidak ada tauhidnya kepada Allah, bahkan karena tidak mentauhidkan Allah dalam
segala hal dan dimensi sehingga terjadi kecentangan dalam I’tiqad, ibadah,
amaliyah dan akhlaknya. Dalam I’tikad dia bertuhan kepada Allah tetapi tidak
dalam ibadah, juga tidak dalam akhlak.
Tauhid bukan hannya dalam makna artificial
seperti itu yang diajarkan kepada anak-anak kita, kepada mereka-mereka yang
baru masuk Islam, atau kepada orang-orang yang akan belajar tentang itu
sebagaimana hanya terdapat dalam tekstual, lalu didoktrinkan untuk lulus ujian
akhir sekolah dengan materi itu, lalu dihafal dari ujung ke ujung, tetapi nihil
dalam pembentukan krakter yang bersumberkan tauhid yang kuat kokoh kepada
Allah. Oleh karenanya kita ingin memperluas makna tauhid dan aplikasinya
sebagaimana judul diatas bahwa tauhid hendaklah ada dalam segala dimensi
kehidupan, dan dalam segala lapangan kegiatan. Dalam keseharian saja semua yang
maujud di alam semesta ini bertauhid kepada Allah. Tanpa itu rusaklah alam
semesta ini, sebagaimana firman Allah yang artinya “ Kalau sekiranya ada Tuhan
selain Allah dilangit dan di bumi, niscaya hancurlah semua itu, maka maha suci
Allah yang memiliki arasy yang agung “. Justru ada ketauhidan seluruh makhluk
kepada Allah, maka stabillah alam semesta ini dan segala isinya, walaupun jin
dan manusia banyak yang durhaka kepada Allah.
Bayangkan saja inti atom yang menjadi
poros bagi pergerakan partikel-partikel atom itu, semuanya menunjukkan semacam
gerakan thawaf sebagaimana yang terjadi pada pelaksanaan haji dan umrah.
Mengapa orang berthawaf mengelilingi ka’bah yang hanya terdiri dari batuan
belaka ? Tentu ada keyakinan bahwa bukan batu itu yang di pertuhankan tetapi
dibalik dari itu ada zat yang memerintahkan untuk melakukan gerakan demikian,
sekaligus menunjukkan perlambangan keesaan Allah diantara sekian orang yang
berthawaf itu. Perwujudan ketauhidan pada mahkluk terkecil sebagaimana atom
itu, juga terjadi dalam segala benda yang maujud bahwa dalam segala partikel
dan sel-sel yang membentuk jaringan tubuh manusia juga berlaku demikian. Lalu
seterusnya pada benda-benda yang besar makrokosmos, dari susunan tata surya
dengan garis orbitnya masing-masing mengelilingi matahari. Setelah itu masuk
pada gugusan galaksi yang bertriliunan bintang-bintang dengan pola orbit yang
sama. Ini menunjukkan bahwa tauhid itu terwujud dalam segala yang maujud di
alam semesta ini.
Semua itu bertauhid kepada Allah sehingga
stabillah alam semesta ini, dan kalau ada tuhan selain Allah maka semua itu
akan hancur berantakan, sebagaimana firman Allah diatas. Hal ini bisa dianalisa
dengan mengambil sample benda-benda di alam semesta ini sebagai tuhan. Ada
orang mengambil tuhan pada sungai-sungai. Ada yang menjadikan binatang-binatang
sebagai tuhan. Ada yang mengambil matahari sebagai tuhan dll. Dari cara
bertuhan seperti ini sudah menunjukkan kekacauan yang terjadi. Bayangkan saja pada
masa yang sama orang menyanjung-nyanjung sungai sebagai tuhannya, tetapi pada
masa yang sama, orang yang tidak bertuhankan sungai malah melemparkan kotoran
ke sungai. Dalam kaedah ilmu urai, maka tuhan dalam kedudukan seperti ini
adalah kacau (rancu) karena tuhan yang disanjung oleh sebagian orang justru
tidak disanjung oleh sebagian yang lain. Dalam tertib kemanusiaan kedudukan
tuhan seperti ini juga kacau balau kalau semua pihak tidak menahan diri, tentu
saling hujat menghujat bahkan bisa berantem. “Hei…kamu, mengapa mengotori
tuhan kami dengan melemparkan sampah dan kotoran lain kedalamnya” ?. Demi
mempertahankan diri orang tersebut akan berdalih “Tidak… saya tidak
mengotori tuhan tetapi saya membuang sampah ke dalam sungai”. Dia beralasan
demikian karena dia tidak tau bahwa sungai itu adalah tuhannya orang-orang itu,
atau demi menjaga perasaan orang-orang itu, maka sekurang-kurangnya dia meminta
maaf atas ketidaktahuannya. Tuhan yang berwujud makhuk mengalami nasib seperti
itu, disanjung oleh sebagian orang tetapi pada masa yang sama dihinakan oleh
sebagian yang lain.
Berbalik lagi dengan orang-orang yang
tidak mempertuhankan sungai tetapi mempertuhankan hewan-hewan tertentu. Hewan
yang dipertuhankan itu, disanjung-sanjung oleh mereka dijaga dan dihormati
bahkan disembah, tidak boleh diperjual belikan apalagi dimakan. Suatu ketika
mereka lalai menjaga hewan yang menjadi
tuhannya itu, sehingga hewan itu nyasar, hilang entah ke mana. Berita
kehilangan hewan itu tersebar ke seluruh pelosok bahkan ada yang teriak “Tuhan
hilang…tuhan hilang….mari sama-sama mencari tuhan yang hilang”. Begitu
sibuknya mereka mencari tuhan yang hilang itu, ke hulu ke hilir, mendaki
gunung, menuruni lembah, sehingga sampailah mereka di suatu wilayah yang
penduduknya teramat bangga apabila sebuah pesta dihidangkan lauk pauk dari
daging hewan “ANU” yang dipertuhankan itu. Banyak hewan yang disembelih untuk
menjamu undangan dalam suatu pesta, tetapi tidak ada kehormatan didalamnya bila
dibandingkan dengan orang yang bisa menyembelih hewan “ANU” padahal hewan “ANU”
adalah hewan yang dipertuhankan oleh orang-orang yang sedang mencarinya.
Singkat kata hewan yang dipertuhankan itu adalah hidangan istimewa. Insya Allah
… bersambung. Wallahu a’lam.
(MIHRAB EDISI : 362/04 Rabiul Akhir 1434 H 15/2/2013 M)
0 comments:
Post a Comment