English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, February 15, 2013

TAUHID Dalam Berbagai Dimensi -1

Oleh : Abd.Razak Muhidin

Tauhid adalah kata bentukan yang berasal dari kata “Ahadun- waahidun- tauhiidun“ yang artinya satu, tunggal atau esa. Dalam definisinya Tauhid adalah  ilmu yang mempelajari tentang keesaan Allah. Drs. H. Hamzah Ya’kub dalam Ilmu Makrifah mendefinisikan bahwa “Tauhid“ secara lughah (bahasa) berarti menyatukan, menunggalkan, mengesakan, atau menganggap satu. Adapun secara maknawiyahnya (definisinya) “Tauhid“  adalah ilmu yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang wajib diketahui dan dipercayai. Singkatnya ilmu mengenai Allah. Hamzah menambahkan lagi bahwa tujuan yang paling utama dari Ilmu Tauhid adalah mengesakan Allah, baik zat-Nya, sifat dan perbuatan-Nya, tanpa sekutu bagi-Nya. Sebagian ulama Tauhid yang lain menambahkan mengesakan Allah dalam zat, sifat, asma’ (nama-Nya) dan af-‘al (perbuatan)-Nya. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Tauhid adalah keyakinan yang utuh dari hamba Allah bahwa dia hanya bertuhan kepada Allah, yang dengan itu dia hanya bergantung, berlindung, berharap, takut, cinta, meminta,  mengabdi dan menyembah hanya kepada Allah.

Mempelajari Ilmu Tauhid adalah sesuatu yang sangat penting diketahui oleh seorang muslim, karena tanpa ilmu ini seseorang bisa saja tersesat aqidahnya. Bila tersesat aqidah maka tersesat pula amalannya, bila tersesat amalannya, maka sia-sialah ia. Banyak orang yang berfikir bahwa mempelajari ilmu tauhid yaitu mempelajari nama-nama Allah, sifat-sifatnya, hal ini benar adanya tetapi pembelajaran seperti ini bersifat  artificial yaitu pembelajaran yang hanya mengalihkan ilmu dari satu bahasa ke bahasa yang lain, tetapi makna sesungguhnya yang esensi, sehingga tauhid itu berfungsi mendekatkan seorang hamba dengan khaliqnya, yang dengan itu dia menjadi lebih berhati-hati dalam I’tiqad keyakinannya hingga mengamalkan ajaran agamanya secara syumul dan utuh. Banyak yang hanya mengartikan tauhid sebagaimana disebutkan ini sehingga dalam situasi tertentu tidak ada tauhidnya kepada Allah, bahkan karena tidak mentauhidkan Allah dalam segala hal dan dimensi sehingga terjadi kecentangan dalam I’tiqad, ibadah, amaliyah dan akhlaknya. Dalam I’tikad dia bertuhan kepada Allah tetapi tidak dalam ibadah, juga tidak dalam akhlak.

Tauhid bukan hannya dalam makna artificial seperti itu yang diajarkan kepada anak-anak kita, kepada mereka-mereka yang baru masuk Islam, atau kepada orang-orang yang akan belajar tentang itu sebagaimana hanya terdapat dalam tekstual, lalu didoktrinkan untuk lulus ujian akhir sekolah dengan materi itu, lalu dihafal dari ujung ke ujung, tetapi nihil dalam pembentukan krakter yang bersumberkan tauhid yang kuat kokoh kepada Allah. Oleh karenanya kita ingin memperluas makna tauhid dan aplikasinya sebagaimana judul diatas bahwa tauhid hendaklah ada dalam segala dimensi kehidupan, dan dalam segala lapangan kegiatan. Dalam keseharian saja semua yang maujud di alam semesta ini bertauhid kepada Allah. Tanpa itu rusaklah alam semesta ini, sebagaimana firman Allah yang artinya “ Kalau sekiranya ada Tuhan selain Allah dilangit dan di bumi, niscaya hancurlah semua itu, maka maha suci Allah yang memiliki arasy yang agung “. Justru ada ketauhidan seluruh makhluk kepada Allah, maka stabillah alam semesta ini dan segala isinya, walaupun jin dan manusia banyak yang durhaka kepada Allah.

Bayangkan saja inti atom yang menjadi poros bagi pergerakan partikel-partikel atom itu, semuanya menunjukkan semacam gerakan thawaf sebagaimana yang terjadi pada pelaksanaan haji dan umrah. Mengapa orang berthawaf mengelilingi ka’bah yang hanya terdiri dari batuan belaka ? Tentu ada keyakinan bahwa bukan batu itu yang di pertuhankan tetapi dibalik dari itu ada zat yang memerintahkan untuk melakukan gerakan demikian, sekaligus menunjukkan perlambangan keesaan Allah diantara sekian orang yang berthawaf itu. Perwujudan ketauhidan pada mahkluk terkecil sebagaimana atom itu, juga terjadi dalam segala benda yang maujud bahwa dalam segala partikel dan sel-sel yang membentuk jaringan tubuh manusia juga berlaku demikian. Lalu seterusnya pada benda-benda yang besar makrokosmos, dari susunan tata surya dengan garis orbitnya masing-masing mengelilingi matahari. Setelah itu masuk pada gugusan galaksi yang bertriliunan bintang-bintang dengan pola orbit yang sama. Ini menunjukkan bahwa tauhid itu terwujud dalam segala yang maujud di alam semesta ini.

Semua itu bertauhid kepada Allah sehingga stabillah alam semesta ini, dan kalau ada tuhan selain Allah maka semua itu akan hancur berantakan, sebagaimana firman Allah diatas. Hal ini bisa dianalisa dengan mengambil sample benda-benda di alam semesta ini sebagai tuhan. Ada orang mengambil tuhan pada sungai-sungai. Ada yang menjadikan binatang-binatang sebagai tuhan. Ada yang mengambil matahari sebagai tuhan dll. Dari cara bertuhan seperti ini sudah menunjukkan kekacauan yang terjadi. Bayangkan saja pada masa yang sama orang menyanjung-nyanjung sungai sebagai tuhannya, tetapi pada masa yang sama, orang yang tidak bertuhankan sungai malah melemparkan kotoran ke sungai. Dalam kaedah ilmu urai, maka tuhan dalam kedudukan seperti ini adalah kacau (rancu) karena tuhan yang disanjung oleh sebagian orang justru tidak disanjung oleh sebagian yang lain. Dalam tertib kemanusiaan kedudukan tuhan seperti ini juga kacau balau kalau semua pihak tidak menahan diri, tentu saling hujat menghujat bahkan bisa berantem. “Hei…kamu, mengapa mengotori tuhan kami dengan melemparkan sampah dan kotoran lain kedalamnya” ?. Demi mempertahankan diri orang tersebut akan berdalih “Tidak… saya tidak mengotori tuhan tetapi saya membuang sampah ke dalam sungai”. Dia beralasan demikian karena dia tidak tau bahwa sungai itu adalah tuhannya orang-orang itu, atau demi menjaga perasaan orang-orang itu, maka sekurang-kurangnya dia meminta maaf atas ketidaktahuannya. Tuhan yang berwujud makhuk mengalami nasib seperti itu, disanjung oleh sebagian orang tetapi pada masa yang sama dihinakan oleh sebagian yang lain.

Berbalik lagi dengan orang-orang yang tidak mempertuhankan sungai tetapi mempertuhankan hewan-hewan tertentu. Hewan yang dipertuhankan itu, disanjung-sanjung oleh mereka dijaga dan dihormati bahkan disembah, tidak boleh diperjual belikan apalagi dimakan. Suatu ketika mereka  lalai menjaga hewan yang menjadi tuhannya itu, sehingga hewan itu nyasar, hilang entah ke mana. Berita kehilangan hewan itu tersebar ke seluruh pelosok bahkan ada yang teriak “Tuhan hilang…tuhan hilang….mari sama-sama mencari tuhan yang hilang”. Begitu sibuknya mereka mencari tuhan yang hilang itu, ke hulu ke hilir, mendaki gunung, menuruni lembah, sehingga sampailah mereka di suatu wilayah yang penduduknya teramat bangga apabila sebuah pesta dihidangkan lauk pauk dari daging hewan “ANU” yang dipertuhankan itu. Banyak hewan yang disembelih untuk menjamu undangan dalam suatu pesta, tetapi tidak ada kehormatan didalamnya bila dibandingkan dengan orang yang bisa menyembelih hewan “ANU” padahal hewan “ANU” adalah hewan yang dipertuhankan oleh orang-orang yang sedang mencarinya. Singkat kata hewan yang dipertuhankan itu adalah hidangan istimewa. Insya Allah … bersambung. Wallahu a’lam.  
(MIHRAB EDISI : 362/04 Rabiul Akhir 1434 H 15/2/2013 M)

0 comments:

Post a Comment