English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, December 20, 2013

HILANGNYA 2/3 DARI AGAMA – (bagian 2 ; habis)

Abd. Razak Muhidin

Untuk edisi kali ini perlu kita nukil kembali hadits Nabi saw yang belum selesai kita paparkan pada jum’at yang lalu. Hadits tersebut yang artinya “Barangsiapa dipagi hari mengadukan kesulitan hidupnya (kepada manusia), sama halnya ia mengeluh kepada Tuhannya. Barang siapa dipagi hari merasa susah dengan urusan duniawi berarti pagi-pagi hari ia telah marah kepada Allah. Dan barang siapa yang merendahkan dirinya kepada orang kaya karena hartanya, maka benar-benar telah sirnalah dua pertiga dari agamanya”. Pada edisi kali ini akan kita bahas matan (isi) hadits yang kedua dan ketiga, karena pada edisi jum’at yang lalu telah kita selesaikan pembahasan pada matan (isi) hadits yang pertama.

Adapun matan (isi) hadits yang kedua sebagaimana tercantum diatas bahwa “barang siapa dipagi hari merasa susah dengan urusan duniawi berarti pagi-pagi hari ia telah marah kepada Allah”. Naudzubillah… kita berlindung kepada Allah dari sikap yang demikian karena hidup dan kehidupan ini adalah milik Allah, manusia hanya dititahkan untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh Pemilik kehidupan yaitu Allah swt. Bila telah tertanam dalam hati keyakinan yang demikian kepada Allah swt, maka apapun masalah menjadi kecil adanya. Kesulitan yang dialami dianggap bumbu kehidupan karena yang menyelesaikan semua itu adalah Allah swt. Bila ada diantara anggota keluarga yang sakit atau diri sendiri, tidaklah sangat merisaukan karena yang menjamin kesembuhan dari suatu penyakit adalah Allah. Keyakinan demikian tidak berarti sakit dalam kepasrahan tidak berikhtiar mencari obat, tetapi sakit dalam keupayaan mencari obat dan semua itu menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan sampai pada titik kulminasi sakit itu tidak bisa diobati lagi dan diantara anggota keluarga itu harus menemui ajal, maka yang demikian itu diresapi dalam hati dan keyakinan yang dalam bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah swt. Singkatnya, jiwa yang selalu bersangka baik kepada Allah akan memaknai bahwa segala urusan duniawi tidak perlu diresahkan.

Tetapi sebaliknya apabila telah terjadi resah gelisah, gundah gulana, susah dengan urusan duniawi, maka dunia yang luas terasa sempit, urusan yang kecil malah jadi besar bahkan bisa saja dibesar-besarkan. Bahkan dia menjadi orang yang kalap, hilang kesabaran, putus asa dengan kehidupan. Bila sudah sampai pada tahap seperti ini maka syetan semakin meniupkan seruling hipnotisnya, akal dan fikirannya telah tertutup oleh hawa nafsu jahatnya, wahyu tuntunan telah terlupakan olehnya, dia telah menjadi nekat dengan bisikan jahat “Dari pada susah-susah, ada jalan mudah didepan mata yang bisa dimanfaatkan”, lalu mulailah ia beraksi dengan mencuri, merampok dll. Kalau dia seorang yang gila jabatan maka akan diusahakannya jabatan itu jatuh ke tangannya walaupun dengan jalan apapun juga, bahkan sampai menghabisi lawan-lawannya agar jalannya menjadi mulus. Kalau dia seorang perempuan yang diresahgelisaHkan oleh urusan duiawi, sangat boleh jadi dia akan selingkuh walaupun mengkhianati suaminya dan kalau, bahan ada diantara perempuan yang menjual dirinya di tempat-tempat mesum. Semua kejahatan yang terjadi ini bisa dimaknai bahwa mereka telah diperdaya oleh kehidupan duniawi.

Yang berikut ; Barang siapa yang merendahkan dirinya pada orang kaya karena hartanya, maka benar-benar telah sirnalah dua pertiga dari agamanya.

Hidup memang beragam warna, semuanya adalah bentuk ujian dari Allah swt. Orang kaya menginsafi dirinya bahwa dia tengah diuji oleh Allah dengan kekayaan demikian juga dengan orang miskin menginsafi tengah diuji dengan kemiskinan. Kalau ada yang kaya maka hiduplah sebagai orang kaya yang wajar, bukan menjadikan semua itu sebagai alat kesobongan yaitu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Kalau dia miskin maka hiduplah sebagai miskin yang wajar bukan karena untuk mendapatkan mata benda duniawi, cendErunglah dia menjadi penjilat dan pencari muka. Tetapi dibalik dari kehendak murni yang harus terjadi dalam kehidupan ini untuk dimaknai sebagai sebuah mozaik indah, bumbulada penyedap rasa, malah ada yang mengharapkan kebaikan pada orang lain lalu menggantungkan kehidupan kepada orang lain itu. Sikap seperti ini adalah penjilat dan pencari muka.

Memang banyak yang terjadi dalam kehidupan ini terutama pada orang-orang yang tidak punya harga diri, sehingga dia menjadi orang yang pamrih dalam sesuatu hal. Bila ada orang berpunya (berpangkat tinggi, banyak harta, pemimpin besar) yang berurusan dengannya dia teramat hormatnya, terutama karena mengharapkan imbuhan berupa harta benda, uang dll atau mengharapkan posisi terhormat dari orang tersebut. Sementara kalau orang yang berurusan dengannya hanyalah orang-orang biasa atau orang miskin dia menjadi pamrih. Cara seperti ini tidak disukai oleh Allah karena bukan dijalankan dengan mengharap ridha-Nya tetapi pamrih pada status sosial orang yang dilayani. Cara seperti ini juga bisa disebut sebagai tidak ikhlas, kalau sudah tidak ikhlas maka sia-sialah yang terjadi. Lalu bagaimana dengan pengaruhnya pada agama bahwa merendah diri pada orang kaya karena hartanya maka hilanglah dua pertiga dari agama ?. Adalah sangat jelas bahwa gejala itu sudah terjadi dengan sikap laku sebagaimana telah dipaparkan diatas. Katakanlah bahwa orang yang telah pamrih pada orang kaya, orang berpangkat dll pada saat tertentu akan hilanglah dua pertiga dari agamanya. Seorang karyawan di perusahaan, dia bisa mendapatkan fasilitas yang mewah karena bos (pimpinannya) telah memberikan servis yang aduhai kepadanya. Kadung sudah keenakan, maka apapun yang dilakukan oleh bosnya dia tetap merendah, karena takut kehilangan pemberian bos yang selama ini dirasakannya sebagai manis madu enak bergizi itu.

Lalu pada masa yang sama bosnya berbuat zhalim pada karyawan yang lain dan dia tahu cara bosnya itu salah tetapi demi mendapatkan servis yang berterusan dari bosnya itu maka dia mati-matian membela bosnya Dalam ukuran duniawi saja sudah sangat buruk tabi’at seperti itu, apalagi kalau dalam urusan agama. Misalnya bosnya kumpul kebo dengan perempuan yang dicegah oleh agama, dia tidak berani mencagah bosnya itu, walaupun dia tahu bahwa membiarkan maksiat didepan mata justru akan terkena dosanya disisi agama. Bahkan begitu kerdil jiwanya yang dikangkangi oleh pamrih seperti itu maka kalau bosnya mengajak untuk bermesum diapun ikut juga. Inilah hilangnya dua pertiga dari agamanya. Paparan diatas adalah contoh untuk hilangnya dua pertiga agama bagi setiap pribadi yang pamrih, bahwa efeknya akan terjadi secara pribadi.

Tetapi lebih parah apabila terjadi pada sebuah lembaga yang dari pada lembaga itu tempat rujuk bagi orang-orang beragama terutama umat Islam. Dalam hal ini kalau sikap seperti ini terjadi pada para ulama yang pamrih pada para penguasa, maka ulama tersebut akan memutuskan perkara mengikut kehendak penguasa, walaupun dia tahu bahwa keputusan seperti itu tidak tepat atau salah tetapi demi kepamrihannya itu dia lakukan juga. Sebab kalau dia tidak berbuat seperti itu pasti hidupnya sempit, susah mendapatkan fasilitas yang aduhai dari sang penguasa itu. Sikap seperti inilah yang disesalkan oleh Hamka dalam “Al-Azhar” nya bahwa dia bersyukur tidak menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebab kebiasaan yang terjadi bila menjadi PNS maka harus mengikuti kehendak (bleid) penguasa, walaupun tidak sesuai dengan kata hati. Nah, para ulama yang pamrih seperti ini akan menjerumuskan dirinya kehilangan dua pertiga dari agamanya dan menjerumuskan masyarakat banyak pada situasi yang sama. Misalnya judi itu haram, tetapi itu adalah proyeknya penguasa yang memberikan servis aduhai kepadanya, maka diapun diamkan saja, padahal dia tahu bahwa dia seharusnya menasehati agar penguasa itu menghentikan kerja seperti itu, tapi dia tidak mampu lantaran pamrih itu. Bahkan kalau dia lebih tegar dan terhormat, apabila nasehatnya tidak dihiraukan oleh penguasa tersebut, maka dia mengundurkan diri dari jabatan itu, karena takut akan murka Allah. Tetapi itu tidak dilakukannya dan judipun merajalela dimana-mana. Bila telah merajalelanya maksiat dimana-mana, maka agama seakan tidak ada lagi.Inilah hakikat dari makna hilanglah dua pertiga dari agama. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment