English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, December 13, 2013

HILANGNYA 2/3 DARI AGAMA - (bagian 1)

 Abd. Razak Muhidin

Nabi saw dalam sebuah sabdanya mengingatkan kita semua bahwa akibat dari ulah perbuatan kita bisa membawa hilangnya dua pertiga (2/3) dari agama kita. Sabda tersebut bisa disimak dibawah ini, “Barang siapa di pagi hari mengadukan kesulitan hidupnya (kepada manusia,) sama halnya ia mengeluh kepada Tuhannya, barang siapa di pagi hari merasa susah karena urusan duniawi, berarti pagi-pagi hari ia telah marah kepada Allah dan barang siapa yang merendah diri kepada orang kaya karena hartanya, maka benar-benar telah sirna dua pertiga dari agamanya”. Sabda Nabi sebagaimana tercantum diatas bisa dianalisa secara sederhana dibawah ini.

Yang pertama ; Mengadukan kesulitan hidup kepada manusia sama halnya dengan mengeluh kepada Allah swt. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan yang lain. Aristoteles dalam teori “Zoon politican” menyebut bahwa manusia dalam hidupnya memerlukan orang lain atau manusia tidak bisa berdiri sendiri dalam hidupnya kecuali bergantung pada yang lain. Apa yang disebutkan oleh Aristoteles diatas sangat jelas bahwa yang bisa hidup sendiri hanya Allah swt. Demikian menurut keyakinan umat Islam bahwa salah satu dari sifat Allah adalah “Qiyamu binafsihi” bahwa Allah berdiri sendiri tidak bergantung dengan apapun jua. Lalu mengapa Nabi saw dalam sabda diatas mengatakan bahwa mengadukan kesulitan hidup kepada manusia sama juga seperti mengeluh kepada Tuhan ? Muhammad Nawawi dalam “Nasha’ihul Ibaad” menguraikan maksudnya bahwa hanya Allah yang patut dicurahkan segala permasalahan, sedangkan mengadukan permasalahan kepada manusia berarti mengesampingkan Allah. Artinya ketika kita mengadukan kesulitan kita kepada manusia seakan-akan kita membeberkan kepada manusia mengapa Allah mentakdirkan kesulitan seperti itu kepada kita. Sikap seperti ini dilarang, justru yang dianjurkan adalah bersangka baik kepada Allah.

Oleh karena itu setiap muslim yang mukmin hendaklah mengadukan kesulitannya hanya kepada Allah sebagai prioritas pertama dan utama. Nah bagaimana dengan hablum minan naas, hubungan antara sesama manusia yang dianjurkan oleh Islam, terutama tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa ?. (QS. al-Maidah : 3). Pada sisi lain Nabi dalam sabdanya menganjurkan untuk memberi nasehat kepada yang minta dinasehati, tentu hadits ini membolehkan pengaduan masalah kepada orang yang bisa menasehati, termasuk dalam urusan ini suami istri yang mengalami kegoncangan rumah tangga perlu mengadukan halnya kepada sesama, sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisaa’ ?. Perlu difahami bahwa hubungan baik kepada sesama manusia adalah dalam hal silaturrahmi yaitu menjaga jangan sampai saling caci maki, benci membenci, boikot memboikot dll. Adapun dalam hal mengadukan kesulitan kepada manusia bisa saja terjadi sesuai dengan firman Allah dan sabda Nabi diatas, tetapi hendaklah kesulitan itu diprioritaskan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih dahulu baru kepada manusia. Yang keliru bahkan salah apabila kita mengutamakan manusia dari pada Allah dan Rasul-Nya. Sebab Allah tidak mau diduakan, termasuk dalam hal pengaduan. Allah maunya kepada DIA duluan baru kepada yang lain, sebab Allah adalah penyelesai masalah, adapun manusia yang advis atau naseatnya memberikan solusi, itu bukan dari manusia itu sendiri tetapi Allah jua yang memberikan jalan keluar kepada penasehat itu bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.

Nabi saw yang menjadi contoh bagi kita sekalian telah menunjukkan kepada kita tentang pengaduan kepada Allah. Ketika penduduk Tha’if menolak ajakan Beliau dengan caci maki bahkan melempari Beliau sampai berdarah kakinya, Beliau berdo’a kepada Allah dengan keluhan, “Ya Allah kepada-Mu aku mengadukan segala hal ku, aku mengadu akan kelemahan diri ku“…. Dan masih panjang lagi do’a Beliau terkait peristiwa Tha’if ini. Yang paling utama Beliau mengadukan halnya adalah kepada Allah, setelah itu baru kepada para sahabat dll. Kita malah mendahulukan makhluk dari pada khalik Allah swt, apalagi beranggapan bahwa orang yang kita minta untuk menyelesaikan masalah itu adalah penyelesai yang utama. Cara pandang seperti ini telah menomorduakan Allah, sedangkan Allah amat besar cemburu-Nya kalau diduakan dalam segala hal. Adalah sangat jelas ajaran Nabi saw tentang memulai suatu hal dengan “Bismillaahir rahmaanir rahiim”, itu tidak lain adalah dalam rangka menomorsatukan Allah dalam segala hal. Bukan berarti hanya sekedar membaca kalimat “Bismillah” tetapi penghayatan akan kemahakuasaan Allah dalam segala hal juga harus terpatri, termasuk dalam hal ini kesulitan hidup.

Mengadu kesulitan hidup kepada makhluk bisa berakibat fatal pada aqidah dan keyakinan sebagaimana yang kita saksikan pada kebanyakan yang terjadi. Ada sekelompok manusia pada zaman Bani Israil yang mengadukan atau menggantungkan untung nasibnya pada sebatang pohon, lalu dicegah dengan keras oleh seorang abid. Itu tidak lain akibat dari mengadukan untung nasib mereka kepada selain Allah. Bahkan dalam sejarah orang-orang primitif yang berkeyakinan pada kepercayaan Animisme dan Dinamisme, semuanya kalau ditelusuri bermula dari kebiasaan yang sama, lalu tersebutlah apa yang bernama sakti, kebal, tabu, syema, dan sebagainya. Dan seterusnya bila dibedah dalam strata sosial manusia moderen walaupun animisme dan dinamisme itu telah tiada dalam bentuk-bentuk kolot dan kuno tetapi telah berubah wujud pada kebiasaan-kebiasaan yang bisa menduakan Allah. Datanglah orang-orang mengadukan halnya kepada para dukun, lalu dukun itu menyuruh mereka mengadakan ritual-ritual dalam rangka mendapat restu dari syema dll itu. Cara yang menunjukkan tunduk patuh, takut dan harap pada selain Allah seperti itu adalah tidak lain, itulah syirik. Bila sudah syirik maka itu adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah swt.

Lain lagi dengan para penguasa yang gila jabatan, lantaran takut kalau jabatannya hilang maka dia mengadukan halnya kepada guru sakti, kiranya guru tersebut menghipnotis manusia untuk memilihnya kembali pada ajang pemilihan umum. Maka diadakan ritual untuk kemenangan penguasa yang gila jabatan atau yang belum berkuasa tetapi gila kuasa juga sama-sama melakukan seperti itu. Konon terdengar desas desus bahwa pemimpin tertentu yang pernah melakukan ritual, dengan menaburkan beras disepanjang jalan dan lorong di kota tertentu, dengan tujuan siapa saja yang lewat dijalan itu akan terhipnotis untuk memilih dia. Semuanya juga adalah syema yang pada zaman primitif berwujud batu dll, sedangkan zaman moderen ini telah berubah wujud dalam jabatan, harta benda, uang dollar dll. Bila diperhatikan tingkah pola semua itu bermula dari mengadukan kesulitan hidup kepada manusia atau kepada selain Allah, sebab kalau mereka mengadukan semua itu kepada Allah tentu tidak demikianlah caranya. Dari sinilah Nabi dalam sabdanya seperti yang kita nukilkan ini telah mengingati kita sejak jauh-jauh hari bahwa dalam segala hal kita hendaklah bergantung sepenuhnya kepada Allah tanpa berbelah bagi.

Contoh sederhana sebagaimana telah kita sebutkan diatas, Nabi Nabi mengajarkan keluar rumah hendaklah bertawakkal kepada Allah, memulai sebuah kerjaan hendaklah membaca bismillah dan bila ada kesulitan mengadulah kepada Allah dengan shalat Istikharah. Kita dibolehkan mengadukan kesulitan kita kepada manusia tetapi itu dilakukan setelah kita adukan hal kita kepada Allah swt. Bila mengadukan hal kita lebih dahulu kepada manusa sama seperti kita mengeluh (Tidak menghirauan Allah).

Insya Allah akan kita sambung untuk pembahasan masalah kedua dan ketiga pada edisi yang akan datang. Demikian… Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment