English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, March 1, 2013

TAUHID Dalam Berbagai Dimensi – 3

Abd, Razak Muhidin
MIHRAB kita pada jum’at kali ini masih bersambung sebagaimana pada dua kali Jum’at yang lalu yang masih berkisar pada masalah Tauhid. Sebagaimana dimaknai bahwa selama ini kita hanya bertauhid pada zat-nya Allah. Bila demikianlah tauhid kita maka tauhid pada zat ini lebih cenderung pada masalah hati. Banyak orang yang dalam hatinya bertauhid pada Allah tetapi dalam perkataan, perbuatan dan segala perlambangan yang zhahir (nyata) tidak ada ketauhidan padanya. Tauhid dalam kondisi seperti ini masih bersifat parsial belum utuh, sementara Allah menghendaki agar orang beriman bertauhid kepada-NYA secara utuh, bulat, sempurna, tidak berbelah bagi.

Tauhid yang utuh adalah tauhid yang merangkumi segala aspek apakah batiniah (hati), apakah tauhid dalam perkataan, apakah tauhid dalam perbuatan dan tauhid dalam segala perlambangan dari segala yang maujud di muka bumi ini. Tidak dinafikan bahwa apabila menakar ketauhidan pada orang beriman (Islam), semua akan mengatakan bahwa tuhan- nya adalah Allah, bahwa Allah yang menciptakan alam semesta, yang berkuasa atas segala makhluk-Nya, yang mengetahui segala yang nampak dan yang tersembunyi, yang memiliki segala keagungan dan keistimewaan. Tuhan yang seperti inilah tempat dia bersandar dan bergantung segala untung nasibnya, memohon segala hajat keperluannya, tempat ia menaruh segala cita-cita dan harapannya, yang ia hormati dan ia sanjungi, yang ia takut dan tunduk patuh serta bersujud sembah kepada-NYA. Tauhid dalam bingkai seperti diatas masih bersifat umum karenanya perlu perincian. Kalau tidak dirinci maka ranculah ketauhidan kita, sehingga dalam hal-hal tertentu kita tidak bertauhid kepada Allah bahkan terjebak dalam syirik yaitu perbuatan yang menduakan Allah. Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik, karena dosa syirik tidak diampuni oleh Allah bila dibanding dengan dosa-dosa yang lain.

Para ahli ilmu tauhid membagi bahwa tauhid kepada Allah ada 4 (empat) yang pertama Tauhid kepada zatnya Allah – Yang kedua Tauhid pada Asmanya Allah – Yang ketiga Tauhid pada sifatnya Allah dan - Yang ke empat Tauhid pada Af’alnya Allah. Dari ke empapt macam tauhid diatas dapat diuraikan masing-masing sebagai berikut : 1. Tauhid kepada zat Allah. Telah diuraikan diatas bahwa secara I’tikadnya semua orang beriman (Islam) yakin dan percaya kepada Allah. tempat ia bergantung, sujud sembah dll. Tetapi itu masih bersifat umum perlu perincian sehingga tauhinya menjadi tepat sasaran. Maka dalam hal tauhid akan zatnya Allah ini ialah sebuah keyakinan yang melekat dihati tentang adaya Allah. Tauhid yang meyakini adanya Allah ini disebut Isbat. Tetapi adanya zat Allah itu tidak sama dengan semua makhluk, dan zat Allah itu juga tidak bergantung pada ruang dan waktu. Tauhid yang menidakkan bahwa zatnya Allah itu tidak sama dengan segala ruang dan waktu ini disebut dengan Nafi. Nah, zat Allah yang telah di-isbat dan di nafikan itu maka zatnya Allah itu tidak bisa ditamsilkan seperti apa, atau tidak boleh ada dalam lintasan khayalan seseorang bahwa zatnya Allah itu seperti ini dan itu, apalagi secara nyata menunjukkan benda-benda tertentu di dunia ini seperti zatnya Allah. Bila telah terhunjam keyakinan seperti itu pertanda ketauhidan akan zatnya Allah telah bulat dan utuh dalam diri orang beriman.

Yang ke dua tentang Tauhid pada asmanya Allah. Tauhid pada asma Allah artinya meyakini bahwa pada zatnya Allah itu terdapat asma (nama-nama Allah). Maka ketika menyebut asma (nama-nama Allah) atau mendengar nama-nama Allah itu disebutkan, seseorang akan semakin bertambah keyakinannya kepada Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan hanya kpada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (QS. al-Anfaal : 2). Dalam hal ini asma (nama-nama Allah) yang terdapat dalam al-Qur’an dicantumkan sebanyak 99 nama Allah. Semua nama Allah itu hendaklah ditauhidkan kepada zat yang memiliki- nya yaitu Allah. Selain itu nama Allah semisal “ar-Rahman” dll, semuanya itu juga adalah sebutan pendek dari ayat-ayat Allah, karenanya tauhid kepada ayat-ayat Allah juga wajib adanya sebagaimana mentauhidkan asma-NYA. Ini yang menjadi permasalah- an bagi umat Islam dimana banyak yang tidak bertauhid kepada asma Allah yang terjabar dalam ayat-ayat-NYA. Karena tidak bertauhid kepada asma Allah dan ayat-ayat-NYA itulah maka mereka mencari jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, padahal Allahlah tempat penyelesai yang sebenarnya.

Allah telah menurunkan ayat yang mengatur tentang ekonomi yang dengan itu umat Islam (orang beriman) wajib menjadikannya sebagai petunjuk dalam masalah ekonomi, tetapi mereka mengambil cara atau sistem lain yang penuh dengan intimidasi, tipuan dll. Allah menurunkan ayat yang di dalamnya terdapat hukum perundangan yang dengan itu wajib bagi umat Islam (Orang beriman) berhukum dengannya, tetapi mereka mengambil hukum lain yang dibuat oleh manusia yang penuh kelemahan dan kekurangan. Bahkan mereka berdalih bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah itu sudah ketinggalan zaman tidak sesuai dengan situasi terkini. Juga ada yang mengatakan bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah itu kejam tidak berprikemanusiaan. Naudzubillah…semua ulah yang tidak berhukum kepada hukum Allah seperti ini menunjukkan ketauhidan kepada asma Allah yang dijabarkan melalui ayat-ayat-NYA tidak ada, karena apabila ada ketauhidan tentang asma Allah ini maka mereka hanya berkata “Kami dengar dan kami taat”. Orang-orang yang tidak bertauhid dengan hukum Allah seperti ini berarti telah terjadi syirik (menduakan Allah), bahkan kafir dari segi hukum perundangan sebagai mana tercantum dalam QS. al-Maidah ayat 44 - 47.

Tauhid kepada asma Allah yang dijabarkan oleh Allah dalam ayat-ayatnya juga hendaklah utuh, bulat, bukan serpihan, yaitu mengambil sebagian hukum Allah yang dirasa perlu sesuai dengan selera sedangkan yang tidak sesuai dengan selera malah dibuang. Sikap seperti ini juga tidak mencerminkan tauhid yang murni, utuh dan bulat kepada Allah. Ambil saja contoh sebagian kaum muslimin yang mengambil hukum Allah dalam urusan shalat, puasa, zakat, haji dll, sedangkan dalam urusan selain dari itu yang telah diatur dalam Alqur’an semisal, hukum hudud, rajam, qishas dll ditolak. Semua ini mencerminkan ketidak utuhan dalam bertauhid kepada Allah SWT. Padahal Allah menghendaki keutuhan tauhid itu. Sesuatu yang utuh, bulat dan menyeluruh mengandung kenikmatan yang penuh, sebagaimana orang yang naik dalam suatu kendaraan, mobil misalnya, kalau seluruh badan masuk dalam mobil secara utuh, keseluruhan dan ketika mobil itu bergerak, maka nikmatnya naik mobil bisa dirasakan. Tetapi bagaimanakah pula kalau naik mobil dengan separuh badan didalam dan separuhnya lagi luar ? Tentu bukan nikmat yang didapat tapi azab atau kesengsaraanlah yang akan terjadi. Lain halnya lagi kalau air yang disuguhkan keseluruhannya, pasti bisa diminum manusia dan kalau bensin yang disiapkan secara keseluruhannya, pasti bisa diminum motor. Tapi kalau air putih separuh gelas dicampur bensin separuhnya lagi, tentu sengsaralah manusia, dan rusaklah motor. Begitulah filosofis seruan Allah bahwa hendaklah orang-orang beriman masuk dalam agama Allah secara keseluruhan. Pemahaman lebih jauh (mafhum mukhalafah) dari seruan Allah ini mencakup keseluruhan ajaran Islam termasuk didalamnya tauhid itu sendiri. Insya Allah bersambung. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment