English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, March 8, 2013

TAUHID Dalam Berbagai Dimensi – 4 (Habis)

Abdul Razak Muhidin
MASIH dalam tema yang sama dengan MIHRAB pada jum’at - jum’at sebelumnya sebagaimana judul diatas. Tauhid hendaklah difahami secara keseluruhan mencakup tauhid pada zat, asma’, sifat dan af’alnya Allah, sehingga umat Islam tidaklah seperti orang yag menebak-nebak sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT. Dia tau bahwa kalau berbicara dalam bidang ini, berarti pembicaraan akan sampai pada tauhid ini, dan apabila berbicara tentang bidang itu maka pembicaraan akan sampai pada tauhid itu. Atau dia tau bahwa segala hal yang berkaitan dengan hati berarti akan tertuju pada tauhid ini, segala yang berkaitan dengan bunyi-bunyian akan tertuju pada tauhid ini, segala yang berkaitan dengan perbuatan makhluk maka akan tertuju pada tauhid itu dan segala perlambangan bentuk zhahir akan tertuju pada tauhid itu. Tauhid pada zat dan asma’ telah diuraikan pada mihrab sebelumnya, maka mihrab kali ini tinggal menuntaskan yang tersisa yaitu tauhid pada sifat dan af’alnya Allah.

Para ulama tauhid telah menetapkan bahwa sifat-sifat Allah yang diterangkan oleh Allah dalam Alqur’an ada 20 (dua puluh sifat) yaitu : 1. Wujud (ada) 2. Qidam (sedia) 3. Baqa (kekal) 4. Mukhalafatul lilhawadits (berlainan dengan segala sesuatu) 5. Qiyamu binafsih (berdiri sendiri) 6. Wahdaniyah (yang Esa) 7. Qudrah (yang berkuasa) 8. Iradah (yang berkemauan) 9. Ilmun (yang mengetahui) 10. Hayat (yang hidup) 11. Sama’ ( yang mendengar) 12. Bashar (yang melihat) 13. Kalam (yang berkata-kata) 14. Kaunuhu Qadiran (Allah dalam keadaan berkuasa) 15. Kaunuhu Muridan (Allah dalam keadaan berkemauan) 16. Kaunuhu ‘Aaliman (Allah dalam keadaan mengetahui) 17. Kaunuhu Hayyan (Allah dalam keadaan hidup) 18. Kaunuhu Sami’an (Allah dalam keadaan mendengar) 19. Kaunuhu Bashiran (Allah dalam keadaan melihat) 20. Kaunuhu Mutakal- liman (Allah dalam keadaan berkata-kata). Dua puluh sifat ini wajib diimani oleh orang- orang beriman bahwa dari sifat-sifat Allah yang banyak itu akan kembali ditauhidkan (diesakan) melalui tauhid akan zatnya Allah. Disamping itu hendaklah meniadakan sifat-sifat Allah itu dengan sifat mustahil atau sifat yang tidak boleh ada pada Allah, misalnya kalau Allah itu bersifat ada maka mustahil kalau Allah itu tidak ada. Demikian juga dengan sifat 20 yang lainnya.

Melihat 20 sifat wajib bagi Allah diatas terdapat persamaan antara sifat yang ada pada Allah dan manusia, yang apabila tidak berhati-hati maka bisa saja orang mempersamakan antara manusia dengan Allah atau mengatakan bahwa manusia adalah penjelmaan Allah. Naudzubillah. Oleh karena itu demi menjaga jangan sampai terseret pada pemahaman yang demikian, maka perlu adanya nafi dan isbat. Ketika manusia melakukan aktifitas misalnya melihat maka dari sini isbat kepada Allah mulai berjalan, bahwa apa yang dilihat itu adalah sedikit dari penglihatan Allah yang diberikan kepadanya. Proses isbat seperti ini jangan sampai terseret menyamakan penglihatan Allah seperti penglihatan manusia maka nafi hendaklah dibarengi ketika itu bahwa penglihatan Allah tidak sama dengan penglihatan manusia dan penglihatan semua makhluk-NYA. Penglihatan manusia dan semua makhluk adalah terbatas sedangkan penglihatan Allah tidak terbatas. Peng- lihatan manusia dan makhluk lainnya dengan “mata” tetapi penglihatan Allah tidak seperti mata.

Dari 20 sifat wajib bagi Allah diatas juga hampir berbarengan dengan asma Allah yang berjumlah 99 yang apabila digabungkan akan tercermin dalam segala penciptaan Allah, bahwa Allah mewariskan sifat-sifatnya keatas segala makhluknya tetapi sebagaimana tersebut diatas hendaklah ditauhidkan kembali kepada zat Allah melalui proses nafi dan isbat. Dengan sifat-sifat Allah seperti itu maka manusia (orang beriman) hendaklah dalam perkataan dan perbuatannya mengikuti sifat-sifat Allah. Dalam hal ini para ahli ilmu tauhid menyebutkan bahwa karena sifat-sifat Allah itu sedikit tidaknya ada pada makhluk-NYA maka binatang buaspun akan mencabut cakarnya dari memangsa anaknya sendiri karena ada sedikit sifat kasih sayang yang dititipkan oleh Allah kepada makhluk itu. Maka seyogianya manusia hendaklah meniru sifat-sifat Allah dalam tindakannya, perkataan dan perbuatannya. Kalau Allah itu perkataan-NYA (firman-NYA) mengan-dung hikmah dan kebijaksanaan, maka manusia dikehendaki agar dalam perkataannya juga mengandung hikmah dan kebijaksanaan. Para ahli hikmah menempapti posisinya seperti ini dalam perkataan dan perbuatannya. Bila tidak mengandung hikmah maka sekurang-kurangnya perkataan manusia mengandung kebaikan dan keselamatan. Bila menyimpang dari itu berarti salah (dosalah) manusia. Misalnya berbohong, memfitnah menceritrakan aib orang lain, semua itu menunjukkan bahwa dalam perkataannya manusia tidak bertauhid kepada Allah. Maka tauhid kepada Allah juga hendaklah ada pada perkataan (ucapan) manusia sehingga kata-kata yang dikeluarkannya adalah kebenaran, kebaikan, keselamatan dll.

Adapun tauhid yang terakhir yaitu tauhid pada Af-‘alnya Allah. Af-‘al secara bahasa berarti perbuatan. Dalam pengertian berarti mengimani bahwa segala makhluk yang ada di dunia baik yang kecil atau yang besar, yang nampak atau yang tersembunyi semuanya adalah hasil af-‘alnya Allah. Setelah Allah menciptakan makhluk-makhluk-Nya itu lalu Allah memelihara, melindungi, memberikan rizki dll agar makhluk-Nya itu tumbuh berkembang. Maka orang beriman bila menyaksikan alam semesta ini mereka akan bertauhid kepada Allah bahwa alam semesta ini adalah hasil perbuatan Allah (hasil ciptaan Allah). Dalam hal ini ketika menyaksikan alam semesta dan segala makhluk yang ada di dalamnya terjadilah proses nafi dan isbat berjalan bahwa alam semesta dan segala isinya adalah bukti peprwujudan Allah, tetapi jangan sampai menyamakan alam semesta dan segala isinya itu sama dengan Allah maka hendaklah dinafikan bahwa Allah tidak sama dengan makhluknya. Setelah itu dalam rangka memakmurkan alam semesta maka manusia dikehendaki agar melakoni perbuatan Allah terhadap alam semesta ini, dimana Allah telah memelihara dengan sebaik-baiknya, maka manusia juga dikehendaki agar berbuat demikian, tidak melakukan kerusakan di alam semesta.

Begitulah yang terjadi kalau manusia dalam aktifitasnya sehari-hari mengikuti sifat-sifat Allah, maka perkataannya mengandung hikmah, jujur, lurus. Tetapi sebaliknya kalau tidak bertauhid (meng-esakan Allah) dalam aktifitasnya sehari-hari maka kerusakanlah yang akan terjadi. Bandingkan saja Allah mentadbir (bekerja) mengawasi alam semesta dan segala makhluk-Nya, dimana Allah telah meletakkan dasar-dasar kasih sayang, keadilan, keseimbangan dll, sehingga terjadilah kestabilan di alam semesta ini. Maka andaikan manusia dalam bekerja bila disertai dengan tauhid kepada Allah, maka akan terjadilah keadilan, keseimbangan dan kasih sayang dalam kerjaan itu. Tetapi sebaliknya apabila manusia melupakan tauhid kepada Allah dalam bekerja, maka kerusakanlah yang akan terjadi. Dia menjadi orang yang tamak, rakus, sehingga melakukan korupsi, kolusi, komersialisasi jabatan dll. Barangkali ketika korupsi dan penyelewengan lainnya demikian marak di Indonesia menjadi sebuah perenungan bagi kita semua bahwa selama ini tauhid kita hanya dalam keyakinan tapi nihil dalam tindakan nyata. Inilah yang kita sebut tauhid dalam segala dimensi sebagaimana judul diatas. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment