English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, August 23, 2013

BILA AL QUR'AN BENAR-BENAR DITERAPKAN



Setiap tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai “Nuzulul Qur’an” yaitu peringatan turunnya wahyu Allah untuk yang pertama kali di gua Hira. Berangsur-angsur setelah itu ayat-aya lain pun diturunkan oleh Allah, sesuai dengan latar belakang situasi, permasalahan, suasana dan konteks yang terjadi kepada Nabi saw dan umat Islam pada umumnya. Ayat-ayat yang turun itu lalu dibukukan yang kemudian dinamakan dengan “AlQur’an”.

Turunnya kitab suci Alqur’an selain sebagai SK (Surat Keputusan) dari Allah swt yang mengangkat Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul akhir zaman, juga Alqur’an sebagai pedoman hidup dan petunjuk jalan kebenaran bagi umat Islam. Bahkan Alqur’an adalah pedoman petunjuk untuk mengenal dan mengusai serta mengurus alam semesta pada umumnya. Alqur’an membicarakan benda yang paling kecil (microkosmos) sampai yang paling besar (makrokosmos), dari masalah yang kecil dan remeh temeh sampai masalah yang paling penting dan genting, semuanya tidak luput dalam pembicaraan Alqur’an (QS. al-An’aam: 38 dan QS an-Nahl : 89). Singkat kata Alqur’an adalah AD/ART dari Allah swt. Kalau selama ini AD/ART yang dibuat oleh suatu organisasi dll, bisa dirubah (direvisi), justru AD/ART Alqur’an tidak bisa dirubah atau diganggu gugat.

Nah Alqur’an dengan fungsinya yang demikian maka siapa saja, kelompok mana saja yang berpegang teguh padanya akan luruslah jalannnya kepada Allah swt, tetapi sebaliknya. Hal ini jelas dan tegas dapat dilihat dalam komposisi susanan surat-surat dalam Alqur’an sangat jelas menunjukkan tentang itu. Pada surat Alfatihah tercantum nama-nama Allah dan sifat-sifat kebesaran-Nya, lalu ada pengakuan berTuhan hanya kepada Allah dan menyembah hanya kepada-Nya, lalu disertai pula ayat yang memohon kepada Allah “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang engkau berikan nikmat bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan tersesat”. Nah…permohonan ini lalu terjawab langsung dalam surat yang berikutnya, bahwa jalan lurus dari orang-orang yang diberi nikmat itu adalah Alqur’an janganlah kamu menjadi orang yang ragu kepada Alqur’an itu karena dia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Albaqarah : 2).

Oleh : Abd.Razak Muhidin
Kita dikehendaki oleh Allah untuk berpedoman pada aturan Allah dalam Alqur’an tanpa ragu-ragu. Konsekwensi dari sikap yang tidak ragu-ragu terhadap Alqur’an yaitu melak-sanakan segala peraturan Alqur’an tanpa menolaknya lantaran ada terselip didalamnya keraguan. Kalau menegakkan aturan Alqur’an seperti ini apa yang akan terjadi dan kalau meninggalkan apa yang akan terjadi. Orang yang beriman tidak seharusnya ada keraguan seperti itu. Justru orang yang beriman akan melaksanakan perintah Allah dalam Alqur’an tanpa ada keraguan, entah perintah itu kecil dan ringan, entah perintah Allah itu besar dan berat, tetap akan dilaksanakannya dengan konsekwen. Tidak banyak cingcong memban-tah sana sini, tetapi perkataan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan peraturan kepada mereka, maka mereka berkata “kami dengar dan kami taat”. (QS. An-Nuur : 51).

Nah dalam kaitannya dengan judul diatas bagaimana kalau peraturan Allah dalam Alqur’an itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh “Kami dengar dan kami taat”, tidak ada bantahan padanya ? Telah jelas, bahwa Allah swt telah berjanji bahwa Allah akan menurunkan kepada mereka itu rezeki dari langit maupun dari bumi. Hal ini dapat disimak dalam QS. Al-Maidah : 66 yang artinya “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat, Injil dan Alqur’an yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan dari mereka”.

Ayat diatas sangat jelas, Allah swt menegaskan bahwa tiga golongan yang beri kitab oleh Allah yang disebut “Ahlul kitab” yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam, kalau ketiga golongan di atas sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat, Injil dan Alqur’an niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Makanan yang disebutkan disini bermakna “rezeki” yang dilimpahkan oleh Allah swt. Sedangkan makanan dari atas mereka itu tidak lain adalah rezeki dari langit dan di bawah kaki mereka adalah rezeki yang berada di dalam maupun diatas bumi. Artinya ini adalah garansi dari Allah swt bagi kelompok, golongan maupun manusia manapun yang berko-mitmen melaksanakan hukum Allah dalam tiga kitab diatas maka jaminan kesejahteraan Allah keatas mereka itu adalah sesuatu yang pasti.

Permasalahannya sekarang kalau Allah swt telah menjanjikan demikian, maka apakah manusia dari tiga golongan diatas mau melaksanakannya atau tidak ? Sedang bila melaksanakan perintah Allah berarti berpahala dan sebaliknya bila tidak melaksanakan-nya berarti ingkar (kufur) dan itu adalah dosa. Pada sisi lain melaksanakan perintah Allah yaitu menegakkan hukum perundangan-Nya akan mendapatkan ridha Allah berupa kemakmuran sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah dalam ayat diatas dan sebaliknya apabila kita menjadi kufur (ingkar) maka kemurkaanlah yang akan terjadi. Menjadi bahan renungan kita semua dengan Negara yang bersungguh-sungguh menegakkan undang- undang (hukum) Alqur’an, Arab Saudi misalnya disana terlihat nyata sendi-sendi kehi-dupan yang Islami. Bila tiba waktu shalat semua berbondong-bondong ke Masjid untuk shalat berjama’ah dan semuanya juga meninggalkan segala aktifitas yang dilakukan. Yang berdagang tinggalkan dagangannya, yang lagi kerja tinggalkan kerjaannya, tidak ketinggalan hukum cambuk dan rajam serta qisas juga ditegakkan. Konsekwensi dari semua itu Allah memenuhi janjinya negeri itu menjadi barokah dari atas maupun dari bawah, padahal keadaannya tandus dan gersang.



Walaupun disana sini kita temui berita-berita yang menyimpang dari hukum Islam misal-nya pemerkosaan terhadap TKI dll, tetapi dibalik dari pada itu hukum Islam menjadi penyelesainya atau pagarnya sehingga kemaksiatan itu bisa diminimalisir. Coba kalau saja hukum konvensional buatan manusia yang diterapkan justru kemaksiatan mungkin tidak bisa dibendung di negeri itu. Disinilah yang disebutkan oleh Yusuf Qadhawy bahwa menegakkan hukum perundangan Islam tidak berarti menghilangkan kemaksiatan sama sekali, tetapi kemaksiatan itu bisa diminimalisir dan diawasi menurut aturan main yang berlaku melalui procedural hukum Islam. Sedangkan kemaksiatan yang luput dari jang-kauan hukum maka itu sudah menjadi hak prerogative dari Allah. Misalnya ada orang yang mencuri sampai pada batas hukuman potong tangan, maka hukuman itu harus ditegakkan keatasnya. Tetapi apabila dia mencuri dan luput dari jangkauan hukum, yaitu tidak ada yang mengetahui perbutannya itu, maka kejadian seperti ini diluar jangkauan manusia yang pasti ada keterbatasannya. Nah dalam keadaan seperti ini maka pencuri yang luput dari jangkauan hukum ini sudah menjadi hak Allah yang akan mengadilinya apakah di dunia terlebih lagi diakhirat. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment