English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, August 30, 2013

RAJANYA AHLI SURGA

Manusia secara fitrahnya berkehendak hidup berkumpul, berkelompok untuk bersama-sama menanggulangi segala permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pepatah “Bersatu teguh bercerai runtuh”. Tidak dapat dipastikan apakah filosofis dari pepatah ini apakah tercetus seiring dengan kehendak manusia yang maunya hidup berkumpul, berkelompok, bersama-sama sebagaimana tersebut diatas, ataukah pepatah itu datang belakangan? Tetapi yang jelas kehendak hidup berkumpul itu telah ada pada manusia sejak dahulu.

Pada zaman dahulu ketika manusia belum mengenal sistem pemerintahan yang ideal, mereka telah ditradisikan bahwa dalam berkumpul bersama itu ada kelebihan dan keutamaan yang diberikan oleh Allah swt kepada orang tertentu, baik secara alamiah maupun kelebihan atau keutamaan yang didapat melalui belajar dan latihan. Dari kelebihan itulah masyarakat manusia yang berkumpul itu lalu menjadikannya sebagai pemimpin diantara mereka. Lambat laun orang yang telah mereka jadikan pemimpin itu disebut mengikuti istilah bahasanya masing-masing. Ada yang menyebutnya “Kapitan, Duli, Baginda” dan ada yang menyebut “Raja” dll. Untuk yang terakhir ini “Raja” bukan hanya dikenal manusia sejak dahulu bahkan di zaman moderen inipun sistem beraja masih dianuti.


Oleh : Abd. Razak Muhidin


Sehubungan dengan itu, Mihrab kali ini memaparkan judul sebagai mana tercantum diatas juga menjadi perhatian kita bersama. Betapa kita terbayang bahwa di surga ada ahli surga yaitu mereka-mereka yang secara otomatis dimasukkan oleh Allah swt kedalam surga itu. Betapa kagumnya orang-orang penduduk mahsyar pada waktu itu yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga diibaratkan bahwa seorang anak menjadi tidak mengenal ayahnya dan seorang ayah menjadi tidak mengenal kepada anaknya, suami tidak menganl istrinya dan sebalik. Ada sebagian orang yang masih harus ditimbang amalnya, ada yang sedang meniti jembatan shirat dll. Nah dalam kesibukan seperti itu ada orang yang secara otomatis masuk surga. Masya Allah betapa hebatnya. Tetapi justru yang paling hebat, diantara mereka itu ada yang diangkat menjadi rajanya ahli surga. Betapa kita semakin tercengang dengan berita seperti ini.

Nah demikianlah ihwalnya dengan para sahabat ketika Nabi saw menyampaikan kepada mereka “Maukah aku tunjukkan kepada kalian semua tentang rajanya ahli surga”? Para sahabat sangat penasaran dan menyambut “Mau ya Rasulallah”. Lalu Nabi saw melanjutkan “Ketahuilah olehmu semua bahwa rajanya ahli surga itu adalah orang yang datang ke suatu majlis tidak di sambut dengan sambutan kehormatan dan apabila dia pergi dari suatu majlis, tidak di tanya kemana dia pergi”.
Matan atau isi  dari hadits diatas sangat  filosofis berisi sari hikmah yang sangat dalam untuk direnungi. Bahwa sifat orang-orang yang menjadi rajanya ahli surga adalah dia yang memiliki sifat apa adanya. Dia tidak merasa besar dengan sanjungan atau penghormatan orang kepadanya dan dia juga tidak merasa hina dengan penghinaan yang di lontarkan orang kepadanya. Dalam interaksi sosial ada orang yang memang tampilannya seperti tertera dalam hadits diatas, terutama orang-orang yang dipandang sebagai orang rendahan. Karena dipandang orang rendahan maka ketika dia datang tidak disambut  dengan penghormatan keagungan dan ketika dia pergi juga tidak dirasakan kehilangannya sehingga tidak ditanyakan orang kemana si Fulan pergi…adakah kamu lihat si Fulan yang tadi di sini kemana perginya?. Pertanyaan seperti itu tidak pernah ditujukan kepadanya.

Dia selalu menyembunyikan amal kebajikan yang ia lakukan dan dia tidak ingin menjadi masyhur dengan amalan tersebut. Tetapi bila dia hadir ditengah orang ramai untuk beramal maka dia beramal sebagaimana yang biasa ia lakukan atau yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Orang melakukan qabliyah ba’diyah diapun melakukan qabliyah ba’diyah. Orang melakukan shadaqah dia ikut melakukan, tetapi tidak pernah terlintas dalam hatinya bahwa dengan cara seperti itu dia dipuji atau disanjungi orang. Tetapi apabila dia sendirian justru dia melakukan suatu ibadah yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain dan ibadah itu tidak pernah ditunjukkannya didepan orang ramai. Mengapa demikian…yah tidak lain karena dia takut bila beramal seperti itu didepan orang ramai nanti dilihat atau dipuji. Bahkan ketika sendirian dalam mengamalkan ibadah yang tidak biasa dilakukan orang ramai itu, dia bermunajad kepada Allah agar Allah tidak menunjukkan kehebatannya karena amalan tersebut, sehingga pujian dan sanjungan orang itu tidak terjadi kepadanya.

Suatu ketika dimasa pemerintahan Umar ra terjadi musim paceklik, kelaparan yang melanda negeri Islam waktu itu. Lalu Umar bermunajad kepada Allah swt kiranya Allah menurunkan hujan. Tetapi apa yang terjadi?...justru hujan tak kunjung turun. Lalu Umar berjalan di penggiran kota Madinah, di sebatang jalan dia (Umar) melihat ada orang yang rambutnya kusut, pakaiannya kumal, compang camping sedang shalat dan berdoa minta hujan. Umar ra lalu bersembunyi untuk mengetahui ihwal orang itu, lalu dia pun berusaha mendekati. Begitu mendekati orang yang sedang beribadah dan berdoa tadi, ternyata orang itu sedang berdoa “Ya Allah…turunkanlah hujan kepada kami”. Ternyata setelah berdoa itu hujanpun turun dengan lebatnya dan Umar segera kembali ke rumah dalam keadaan terkagum-kagum. Sesampainya di rumah, Umar lalu menyuruh orang untuk memanggil orang berdoa itu ke istana. Maka datanglah ia ke istana. Begitu sampai di istana dia lalu berdoa dihadapan Umar “Ya Allah, sebagai mana aku telah berusaha untuk bersembunyi tetapi telah diketahui orang, maka wafatkan aku sekarang juga”. Setelah berdoa, orang itu lalu berbaring dan wafatlah ia seketika.

Begitulah keadaan orang yang besar dimata Allah walaupun hina dimata manusia, yang andaikan dia berdoa pasti langsung dikabulkan oleh Allah swt. Menyimak hadits ini seakan tidak ada bagiannya dari orang-orang yang terkenal, yang masyhur namanya karena punya pangkat, jabatan dll, yang karena itu mereka disambut meriah ketika datang, bahkan kalau perlu dengan tembakan salvo dan dilepas dengan kehormatan ketika pergi. Bukan begitu maksudnya, bahwa silakan punya pangkat dan jabatan serta masyhur namanya dll, tetapi hendaklah dipatrikan dalam hati bahwa semua itu tidak mempengaruhi kejiwaan kita. Artinya walaupun punya apa-apa dan punya kemasyhuran tetapi tidaklah untuk mengalihkan pandangan orang kepadanya, sehingga ketika datang bila disambut tidak berbesar kepala dan bila pergi dilepas dengan kehormatan tidak menjadi lupa daratan. Yang salah apabila dengan segala kemasyhuran itu kita menjadi orang yang gila hormat, bila tidak dihormat justru marah-marah, dan bila tidak dilepas pergi dengan segala kebesaran kita menjadi enggan. Jadi silakan saja.

Para ustadz atau muballigh dll, bila diundang untuk ceramah juga demikian, pasti disambut dan dilepas dengan baik itu biasa saja tetapi janganlah demikian menjadi prioritas utama sehingga bila tidak mendapatkan semua itu justru menjadi down semangatnya dalam berdakwah. Tetapi tidak bagi yang mengundang bukanlah karena berpegang pada hadits ini lalu ustadz dan kiyai yang diundang tidak dihiraukan, justru menghormati orang yang diundang itu dianjurkan oleh Islam. Maka hendaklah menghormati orang yang diundang, bukan takut jangan sampai ustadz yang diundang itu tidak mendapat barokah atau terkutuk dari hadits diatas, sehingga kita enggan menghormati mereka, tetapi menghormati para tamu undangan hendaklah dilakukan dengan kemeriahan apa saja, asalkan tamu undangan itu tidak lupa daratan. Andaikan sifat sebagai mana yang tersebut dalam hadits diatas ada pada kita, maka Allah akan mendaulatkan kita sebagai raja-rajanya ahli surga. Bandingkan saja dengan raja yang ada di dunia dengan segala kebesaran dan kemasyhuran, maka bagaimana kalau menjadi raja di surga ? Wallahu a’lam.


0 comments:

Post a Comment