Manusia secara fitrahnya berkehendak hidup berkumpul, berkelompok untuk bersama-sama menanggulangi segala permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pepatah “Bersatu teguh bercerai runtuh”. Tidak dapat dipastikan apakah filosofis dari pepatah ini apakah tercetus seiring dengan kehendak manusia yang maunya hidup berkumpul, berkelompok, bersama-sama sebagaimana tersebut diatas, ataukah pepatah itu datang belakangan? Tetapi yang jelas kehendak hidup berkumpul itu telah ada pada manusia sejak dahulu.
Pada zaman
dahulu ketika manusia belum mengenal sistem pemerintahan yang ideal, mereka
telah ditradisikan bahwa dalam berkumpul bersama itu ada kelebihan dan
keutamaan yang diberikan oleh Allah swt kepada orang tertentu, baik secara
alamiah maupun kelebihan atau keutamaan yang didapat melalui belajar dan
latihan. Dari kelebihan itulah masyarakat manusia yang berkumpul itu lalu
menjadikannya sebagai pemimpin diantara mereka. Lambat laun orang yang telah
mereka jadikan pemimpin itu disebut mengikuti istilah bahasanya masing-masing.
Ada yang menyebutnya “Kapitan, Duli, Baginda” dan ada yang menyebut “Raja” dll.
Untuk yang terakhir ini “Raja” bukan hanya dikenal manusia sejak dahulu bahkan
di zaman moderen inipun sistem beraja masih dianuti.
![]() |
Oleh : Abd. Razak Muhidin |
Sehubungan
dengan itu, Mihrab kali ini memaparkan
judul sebagai mana tercantum diatas juga menjadi perhatian kita bersama. Betapa
kita terbayang bahwa di surga ada ahli surga yaitu mereka-mereka yang secara
otomatis dimasukkan oleh Allah swt kedalam surga itu. Betapa kagumnya
orang-orang penduduk mahsyar pada waktu itu yang tengah sibuk dengan urusannya
masing-masing, sehingga diibaratkan bahwa seorang anak menjadi tidak mengenal
ayahnya dan seorang ayah menjadi tidak mengenal kepada anaknya, suami tidak
menganl istrinya dan sebalik. Ada sebagian orang yang masih harus ditimbang
amalnya, ada yang sedang meniti jembatan shirat dll. Nah dalam kesibukan
seperti itu ada orang yang secara otomatis masuk surga. Masya Allah betapa
hebatnya. Tetapi justru yang paling hebat, diantara mereka itu ada yang
diangkat menjadi rajanya ahli surga. Betapa kita semakin
tercengang dengan berita seperti ini.
Nah demikianlah
ihwalnya dengan para sahabat ketika Nabi saw menyampaikan kepada mereka “Maukah
aku tunjukkan kepada kalian semua tentang rajanya ahli surga”? Para sahabat
sangat penasaran dan menyambut “Mau ya Rasulallah”. Lalu Nabi saw melanjutkan
“Ketahuilah olehmu semua bahwa rajanya ahli surga itu adalah orang yang datang
ke suatu majlis tidak di sambut dengan sambutan kehormatan dan apabila dia
pergi dari suatu majlis, tidak di tanya kemana dia pergi”.
Matan atau isi dari hadits diatas sangat filosofis berisi sari hikmah yang sangat
dalam untuk direnungi. Bahwa sifat orang-orang yang menjadi rajanya ahli surga
adalah dia yang memiliki sifat apa adanya. Dia tidak merasa besar dengan
sanjungan atau penghormatan orang kepadanya dan dia juga tidak merasa hina
dengan penghinaan yang di lontarkan orang kepadanya. Dalam interaksi sosial ada
orang yang memang tampilannya seperti tertera dalam hadits diatas, terutama
orang-orang yang dipandang sebagai orang rendahan. Karena dipandang orang
rendahan maka ketika dia datang tidak disambut
dengan penghormatan keagungan dan ketika dia pergi juga tidak dirasakan
kehilangannya sehingga tidak ditanyakan orang kemana si Fulan pergi… ‘adakah kamu lihat si Fulan yang tadi di
sini kemana perginya?’.
Pertanyaan seperti itu tidak pernah ditujukan kepadanya.
Dia selalu
menyembunyikan amal kebajikan yang ia lakukan dan dia tidak ingin menjadi
masyhur dengan amalan tersebut. Tetapi bila dia hadir ditengah orang ramai
untuk beramal maka dia beramal sebagaimana yang biasa ia lakukan atau yang
dilakukan oleh kebanyakan orang. Orang melakukan qabliyah ba’diyah diapun
melakukan qabliyah ba’diyah. Orang melakukan shadaqah dia ikut melakukan,
tetapi tidak pernah terlintas dalam hatinya bahwa dengan cara seperti itu dia
dipuji atau disanjungi orang. Tetapi apabila dia sendirian justru dia melakukan
suatu ibadah yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain dan ibadah itu tidak
pernah ditunjukkannya didepan orang ramai. Mengapa demikian…yah tidak lain
karena dia takut bila beramal seperti itu didepan orang ramai nanti dilihat
atau dipuji. Bahkan ketika sendirian dalam mengamalkan ibadah yang tidak biasa
dilakukan orang ramai itu, dia bermunajad kepada Allah agar Allah tidak
menunjukkan kehebatannya karena amalan tersebut, sehingga pujian dan sanjungan
orang itu tidak terjadi kepadanya.
Suatu ketika
dimasa pemerintahan Umar ra terjadi musim paceklik, kelaparan yang melanda
negeri Islam waktu itu. Lalu Umar bermunajad kepada Allah swt kiranya Allah
menurunkan hujan. Tetapi apa yang terjadi?...justru hujan tak kunjung turun.
Lalu Umar berjalan di penggiran kota Madinah, di sebatang jalan dia (Umar)
melihat ada orang yang rambutnya kusut, pakaiannya kumal, compang camping
sedang shalat dan berdoa minta hujan. Umar ra lalu bersembunyi untuk mengetahui
ihwal orang itu, lalu dia pun berusaha mendekati. Begitu mendekati orang yang
sedang beribadah dan berdoa tadi, ternyata orang itu sedang berdoa “Ya
Allah…turunkanlah hujan kepada kami”. Ternyata setelah berdoa itu hujanpun
turun dengan lebatnya dan Umar segera kembali ke rumah dalam keadaan
terkagum-kagum. Sesampainya di rumah, Umar lalu menyuruh orang untuk memanggil
orang berdoa itu ke istana. Maka datanglah ia ke istana. Begitu sampai di
istana dia lalu berdoa dihadapan Umar “Ya Allah, sebagai mana aku telah
berusaha untuk bersembunyi tetapi telah diketahui orang, maka wafatkan aku
sekarang juga”. Setelah berdoa, orang itu lalu berbaring dan wafatlah ia
seketika.
Begitulah
keadaan orang yang besar dimata Allah walaupun hina dimata manusia, yang
andaikan dia berdoa pasti langsung dikabulkan oleh Allah swt. Menyimak hadits
ini seakan tidak ada bagiannya dari orang-orang yang terkenal, yang masyhur
namanya karena punya pangkat, jabatan dll, yang karena itu mereka disambut
meriah ketika datang, bahkan kalau perlu dengan tembakan salvo dan dilepas
dengan kehormatan ketika pergi. Bukan begitu maksudnya, bahwa silakan punya
pangkat dan jabatan serta masyhur namanya dll, tetapi hendaklah dipatrikan
dalam hati bahwa semua itu tidak mempengaruhi kejiwaan kita. Artinya walaupun
punya apa-apa dan punya kemasyhuran tetapi tidaklah untuk mengalihkan pandangan
orang kepadanya, sehingga ketika datang bila disambut tidak berbesar kepala dan
bila pergi dilepas dengan kehormatan tidak menjadi lupa daratan. Yang salah
apabila dengan segala kemasyhuran itu kita menjadi orang yang gila hormat, bila
tidak dihormat justru marah-marah, dan bila tidak dilepas pergi dengan segala
kebesaran kita menjadi enggan. Jadi silakan saja.
Para ustadz atau
muballigh dll, bila diundang untuk ceramah juga demikian, pasti disambut dan
dilepas dengan baik itu biasa saja tetapi janganlah demikian menjadi prioritas
utama sehingga bila tidak mendapatkan semua itu justru menjadi down semangatnya
dalam berdakwah. Tetapi tidak bagi yang mengundang bukanlah karena berpegang
pada hadits ini lalu ustadz dan kiyai yang diundang tidak dihiraukan, justru menghormati
orang yang diundang itu dianjurkan oleh Islam. Maka hendaklah menghormati orang
yang diundang, bukan takut jangan sampai ustadz yang diundang itu tidak
mendapat barokah atau terkutuk dari hadits diatas, sehingga kita enggan
menghormati mereka, tetapi menghormati para tamu undangan hendaklah dilakukan
dengan kemeriahan apa saja, asalkan tamu undangan itu tidak lupa daratan. Andaikan
sifat sebagai mana yang tersebut dalam hadits diatas ada pada kita, maka Allah
akan mendaulatkan kita sebagai raja-rajanya ahli surga. Bandingkan saja dengan
raja yang ada di dunia dengan segala kebesaran dan kemasyhuran, maka bagaimana
kalau menjadi raja di surga ? Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment