Mimpi sudah diidentikkan dengan bunga tidur, karena biasanya terjadi pada waktu tidur. Ketika kita bangun halusinasi dari perasaan kita masih terbawa “Oh…dimanakah aku berada”?. Dimanakah suasana yang baru tersajikan…aku datang ke sebuah pesta yang diadakan begitu meriah…dan aku disambut laiknya seorang pembesar, dengan sambutan yang hangat, paluan kompang dan shalawatan yang menggema, lalu aku didaulatkan untuk meresmikan acara itu. Semua hadirin bertepuk tangan…ada juga yang melaungkan gema takbir, begitu aku menyatakan acara itu resmi dibuka”. Ada lagi yang ketika bangun dari tidur diliputi oleh suasana resah gelisah, dia lalu memohon semoga dijauhkan dari suasana ngeri yang tersaji, sekonyong-konyong ada segerombolan manusia yang datang menggerogotinya di sebuah gurun yang sepi dan tandus…mereka meminta uang dan segala harta yang dipunyai…kalau tidak nyawa jadi taruhan.
Ternyata apa yang dilakarkan diatas hanyalah mimpi yang baru terjadi, ketika seseorang bangun dari tidur dia merasa seakan masih berada dalam suasana itu. Banyak orang yang memasang niat untuk sesuatu urusan yang baik, dia ingin membangun sebuah pesantren sehingga orang-orang dan generasi bisa diberikan pengajaran agama yang pada gilrannya akan membawa pada kemajuan Islam. Ada juga yang bekerja keras siang dan malam dengan suatu niat andaikan kerjaanku berhasil maka aku akan membawa ayah dan ibuku untuk naik haji tidak ketinggalan dengan aku sendiri juga harus naik haji. Ternyata segala niat baik sebagaimana yang disebutkan diatas, juga sudah diidentikkan dengan mimpi. Artinya segala cita-cita yang baik bisa juga disebut sebagai mimpi, entah cita-cita yang jelek juga bisa disebut mimpi? Tentu tidak, karena niat yang jahat tidak bisa disebut sebagai mimpi. Entah apa yang bisa disebut ? Mimpi jahat?. Jadi tidak semua niat bisa disebut mimpi.
Ada ustadz yang tampil dalam acara agama Islam di RCTI dengan garapan tafsir mimpi, dan bila disimak jawabannya dari pertanyaan para hadirin dan pemirsa, bisa saja dijadikan sebagai inspirasi dan nasehat bagi kita. Mimpi yang baik bukan halusinasi kosong tetapi disana ada makna. Rasulullah saw dalam sabdanya menyebut bahwa mimpi yang baik adalah salah satu diantara jalan kenabian. Sabda Nabi ini bukan berarti bahwa bila kita bermimpi baik, misalnya sedang membaca al-Qur’an di Masjid, sedang menziarahi maqam Nabi saw, semua itu merupakan petunjuk kepada kita kiranya kita bisa mengamalkan isi kandungan al-Qur’an sebagaimana yang kita lihat dalam mimpi. Demikian juga dalam hal-hal lainnya. Tetapi janganlah berpegang pada hadits diatas lalu setelah mendapat mimpi baik terus mengatakan bahwa saya akan menjadi Nabi. Zaman yang sudah tidak ada lagi Nabi ini, kiranya dipahami hadits diatas bahwa para Nabi apabila bermimpi, itu merupakan jalan kenabian bagi mereka (para Nabi)..
Adapun bagi orang-orang biasa seperti kita maka mimpi itu bisa menjadi ilham, dan mimpi itu juga bisa menjadi ma’unah. Ilham merupakan petunjuk dari Allah kepada para waliyullah, sedangkan ma’unah adalah petunjuk Allah kepada orang-orang biasa yang selalu menjalankan ketaatan kepada Allah tetapi tidak seperti ketaatan para wali. Sedang untuk orang-orang ahli maksiat (kafur, musyrik dll), mimpi yang datang pada mereka dalam rangka untuk menambah kemaksiatan itu, bahwa demi menambah kesak-tiannya maka hendaklah dia melakukan ini dan itu seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Keadaan sebagaimana yang dilihat oleh ahli maksiat dalam mimpi seperti ini bukan merupakan jalan kenabian, bukan juga sebagai ilham dan ma’unah, tetapi itu adalah istidraj. Jadi istidraj adalah kejadian yang luar biasa pada orang-orang yang ahli maksiat. Termasuk dalam hal ini adalah kemajuan rezeki yang didapat dari jalan maksiat. Dia selalu berbuat jahat tetapi rezekinya lancar, mengapa semua ini terjadi? Itu tidak lain adalah istidraj. Yang salah apabila sudah melakukan maksiat, lalu berlimpah rezekinya, kemudian dikatakan bahwa rezeki yang didapat dari jalan maksiat itu adalah dari Allah.
Kembali pada substansi masalah yaitu mimpi yang baik bahwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa “Orang yang benar mimpinya adalah orang yang benar tutur katanya”. Selanjutnya dalam kitabya “Madarijus saalikin” jus 1 menulis hadits Nabi “Tidak ada yang tinggal dari nubuwwat itu kecuali satu, yaitu mubasy-syiraat. Lalu ada yang bertanya “Apa yang dimaksud dengan mubasy-syiraat itu ya Rasuulallah”? Beliau menjawab “Yaitu mimpi yang baik yang kelihatan oleh orang yang beriman atau diperlihatkan kepadanya”. Hamka dalam tafsir al-Azhar (6792 : 9) menulis bahwa mimpi itu menurut keterangan Nabi sendiri bahwa sama halnya dengan kasyaf, yaitu pembuka tabir rahasia yang tersembunyi, lalu diperlihatkan kepada bani Adam (manusia). Bahwa kasyaf itu ada yang disebut Rabbani atau rahmani yaitu kasyaf yang timbul dari kurnia Tuhan yang rahman. Ada juga kasyaf Nafsani (kedirian sifatnya) dan ada yang sisebut syathani (dari syaithan).
Selanjutnya Hamka menulis bahwa selain kasyaf diatas Nabi saw juga memberi ingat kepada umatnya tentang mimpi bahwa mimpi itu ada tiga macam. Yang pertama mimpi yang merupakan karunia dari Allah, ada mimpi yang mencemaskan hati itu datang dari syetan, dan ada pula mempi yang datang dari kesan orang yang mengalami sesuatu atau memikirkan sesuatu lalu terbawa dalam mimpi ketika tidur. Nabi menjelaskan bahwa yang dapat dijadikan pedoman adalah mimpi dalam kategori yang pertama, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim as yang melihat dirinya sendiri yang menyembelih anaknya, Nabi Yusuf as yang melihat bintang, bulan dan matahari menyembah kepada-nya, dan Nabi Muhammad saw yang bermimpi mengunjungi ka’bah baitullah dalam QS. al-Fath : 27. Dari mimpi Nabi saw itu sampai tercetusnya perjanjian Hudaibiyah yang walaupun berat sebelah tetapi justru kaum musliminlah yang banyak mendapat hikmah-nya, dan dari mimpi itu juga tercetuslah “Umratul Qadha” yaitu umrah yang masih tertunda untuk tahun berikutnya.
Demi mendapatkan mimpi yang baik dan supaya jangan masuk pengaruh syetan ke dalamnya dinasehati oleh para ulama agar seseorang hendaklah bersikap tulus ikhlas, jujur dan menghindari dosa maksiat. Ibnul Qayyim sekali lagi menasehati kita dalam kitabnya diatas, bahwa kalau hendak tidur, sebaiknya berwudhu terlebih dahulu, sempurnah bersih dari hadats, hendaklah menghadap kiblat dan menyatukan ingatan kepada Allah sampai mata tertidur. Dengan cara begini kata beliau niscaya terhindar dari mimpi yang kacau balau. Nabi saw juga menasehati bahwa apabila seseorang merasa bahwa mimpinya itu baik maka ketika bangun tidur itu berpalinglah ia ke sebelah kanan dan ucapkan “Alhamdulillaahi rabbil alamiiin” dan boleh menceritrakan mimpi itu kepada orang lain. Sebaliknya apabila bermimpi buruk maka palingkan wajah ke sebelah kiri ketika bangun tidur, dan ucapkan “Audzubillaahi minasy-syaithaanir rajiim” lalu berludah 3 (tiga kali) dalam hal ini ludah kecil bukan ludah yang muncrat kencang dan mengotori ke mana-mana.
Ada hal menarik dari mimpi Nabi saw sebagaimana dalam QS. al-Fath : 27 diatas, bahwa Allah menjanjikan Beliau masuk ke dalam masjidil Haram dalam keadaan aman memang terbukti gilang gemilang. Walaupun mimpi itu terhalang oleh perjanjian Hudaibiyah tetapi Nabi dan kaum muslimin bisa melakukan umrah pada tahun berikutnya dalam keadaan aman. Lalu keadaan itu menjadi penyebab masuknya Beliau dan kaum muslimin ke kota Makkah (Masjid Haram) dengan gilang gemilang pada peristiwa penaklukan kota Makkah. Wallaahu ‘alam. Oleh : Abd. Razak Muhidin
0 comments:
Post a Comment