![]() |
Abd.Razak Muhidin |
Ada satu peristiwa yang menarik perhatian kami (penulis) menjelang akhir Ramadhan 1434 H kemarin, tepatnya malam takbir. Ditengah kesibukan penulis sebagai karyawan Masjid Raya Batam melayani jama’ah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan malam takbiran, dimana pada saat itu hingar bingarlah manusia (umat Islam) memenuhi dataran Engku Putri (Alun-alun Pemko Batam) dalam meriah rayakan malam takbiran tersebut. Tidak ketinggalan ada diantara jama’ah yang mondar mandir datang dan pergi ke Masjid Raya Batam, ada yang datang untuk menunaikan zakat fitrah, menerima dll, ditingkahi suara takbir dari Masjid Raya Batam maupun takbiran dari pada devile kontingan takbiran itu. Ditengah kesibukan seperti itu datanglah seorang anak muda, usianya masih beranjak naik, bisa disebut ABG dengan busana yang lusuh, celana jins warna biru, berbaju merah yang sudah kusut dan sebuah tas ransel kumuh bergantungan di punggungnya, dia lalu mengucapkan salam sebelum masuk ke ruangan Ibadah dan Dakwah Masjid Raya Batam. Namanya sebagaimana dalam judul diatas begitu dia memperkenalkan diri kepada kami (penulis).
Dari tampilannya bisa kami pastikan bahwa dia lagi susah, lalu kami pun bertanya dari mana dan dimana tempat tinggalnya dan apa yang bisa kami bantu ? Irham lalu menjawab bahwa dia berasal dari daerah Sumbar yang sebelumnya terlantar di Jakarta karena diajak teman mengadu nasib di Ibukota Negara. Tetapi nasib baik belum menyertai, tidak ketinggalan juga keras dan ketatnya persaingan hidup di Ibukota Negara menjadi bagian dari tutur Irham. Tiba di Batam dengan sebuah harapan kiranya nasib menjadi lebih baik dari sebelumnya di Jakarta. Lalu tempat yang dirasakan menjadi milik ummat Islam, menjadi pendamai bagi siapa saja yang tengah kekalutan, menjadi penyelesai segala problematika umat ini adalah tidak lain, itulah Masjid. Maka keseharian selama Ramadhan itu Irham bermukim di Masjid Raya Batam. Kebetulan juga di Masjid Raya Batam ada program buka puasa bersama, sahur bersama, maka mudahlah semua itu bagi Irham untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadhan. Sedikit tidaknya Irham termakna bahwa sesempit apapun hidup tapi jangan sampai melupakan kewajiban Islam. Allah memudahkan semua itu kalau kita bertekad yang kuat.
Lama berbual-bual, Irham pun menyampaikan keperluannya bahwa dia ingin berkonsultasi masalah agama Islam. Saya pun menimpali, “Silahkan saja, kalau saya bisa memberikan solusi (jawaban) kepada anda alhamdulillah, tapi kalu tidak bisa yah…kita tanyakan lagi pada orang yang lebih alim dari kita”. Irham memaklumi dan konsultasipun dimulai. “Begini Ustadz !...bagaimana dengan keadaan saya pada waktu ini yang tidak ada punya apa-apa yang bisa saya keluarkan untuk zakat fitrah. Jangankan zakat fitrah, makan saja untung ada tersedia di Masjid Raya ini…jadi saya harus bagaimana?” Begitulah Irham menyampaikan permasalahannya. Saya balik bertanya, “Apakah engkau punya ayah dan ibu ?” Dia menjawab tidak ada sudah meninggal semua. Lalu saya lanjutkan, “Apa ada dalam tasmu ada pakaian yang bisa diuangkan (dijual) ?“ Dia menjawab, “tidak ada, semuanya pakaian kumal yang tidak mungkin orang membelinya, sedangkan saya saja tidak suka tetapi apa boleh buat, terpaksa saya pakai aja.”
Setelah berpikir beberapa saat bahwa kalau dia ada ayah dan ibu maka zakat fitrahnya menjadi tanggungan ayah ibunya. Tapi keduanya telah meninggal. Kalau ada pakaian atau sesuatu yang bisa dia jual, maka itulah yang harus dilakukan dan uangnya dipakai untuk menunaikan zakat fitrah. Tapi semuanya tidak ada, lalu keadaan yang sudah mendekati jam sebelas yang semakin sulit memecahkan masalah itu, maka saya katakan kepadanya, “Kalau begitu kamu dalam keadaan darurat jadi tidak usah tunaikan dulu lain kali pada zakat fitrah yang akan datang kalau sudah ada, maka kamu wajib keluarkan zakat fitrah”. “Insya Allah….,” jawab Irham.
Selesailah masalah seputar zakat fitrah, lalu melihat keadaannya seperti itu saya katakan kepadanya, “Nanti kamu masuk ke ruangan LAZ (lembaga amil zakat) Masjid Raya untuk minta diberikan zakat fitrah, kamu ada hak untuk menerima”. Tetapi saya menjadi heran dengan jawaban Irham, “Maaf Pak Ustadz…saya tidak mau meminta seperti itu, banyak administrasinya, harus ada KTP dll. Sementara saya perhatikan ada yang sedang menunggu dari tadi, belum lagi ada yang foto-foto, mungkin dari para wartawan. Waduh… malu kalau muka saya dipertontonkan sebagai orang susah yang laris manis pada musim hari raya dan laris manis dalam media massa. Bagaimana supaya orang-orang miskin seperti kami-kami ini tidak dipertontonkan seperti sekarang ini Pak Ustadz … yang dari hati kecil saya berkata bahwa saya tidak seharusnya menerima zakat fitrah, karena cara seperti itu. Biar miskin pun tak apa…tetapi ada yang tahan saja rasa malu, sehingga mereka datang saja, walaupun difoto disiarkan kemana-mana. Sebenarnya rasa malu itu ada pada mereka juga tapi mau macam mana lagi”. Demikian lanjutnya.
Sejenak saya terdiam merenungkan apa yang dikatakan oleh Irham itu dan saya menimpali bahwa apa yang kamu pikirkan itu juga pernah ada dalam pikiran saya. Bahwa sebaiknya orang-orang miskin itu bukannya barang komoditi laris manis, ajang pamer dan popularitas, tetapi penghormatan yang dikehendaki oleh Allah SWT ke atas mereka dan hendaklah diaplikasikan lebih arif dan bijaksana, santun dan beradab. Tetapi interaksi sosial yang telah memutar balikkan semua itu mengikuti cara sebagaima yang dipaparkan di atas bahwa ada semacam kepentingan tertentu dalam melayani mereka. Ada yang ingin disebut sebagai tangan dermawan sehingga harus dipertontonkan, sehingga wajah dan nama dia harus dilihat dikoran-koran, apalagi musim-musim kampanye semakin dekat maka kepentingan untuk maju ke pentas politik semakin hangat membara, biar terbakarlah semuanya asal tujuan itu tercapai. Ada juga lembaga-lembaga yang pingin supaya menjadi yang lebih bonafid dalam mengurus zakat sehingga untuk keperluan itu, publikasi harus lebih gencar biar semakin dipercayai dan semakin saja laris manis itu terjadi, dan lain-lain. Kalau tidak seperti itu, nanti orang tidak percaya. Wal hal orang-orang miskin yang menjadi bahan komoditi laris manis itu memang terbakar, ya terbakar dipublikasikan, tidak terkecuali ada yang mati karena bersedak-desakan mendapatkan jatah.
Dalam renungan itu teringat saya bahwa suatu ketika saya juga pernah berfikir, apakah tidak lebih baik kalau lembaga atau para donator itu langsung turun ke lapangan mendata orang-orang yang berhak menerima zakat, lalu mendatangi rumah-rumah mereka untuk diberikan zakat kepada mereka? Bahkan kalau boleh dilakukan dengan lebih tersembunyi lagi sehingga orang-orang miskin itu tidak jatuh moralnya ketika tetangga di sebelahnya melihat dia diberikan zakat?
Saya jelaskan kepada Irham bahwa situasi saat ini belum menunjukkan keimanan yang mantap dimana orang yang memberi seharusnya menyembunyikan apa yang diberi (tidak ingin dilihat) akan apa yang ia beri, juga embel-embel kepentingan masih terseret campur baur tumpang tindih, sehingga tuntunan men-jadi tontonan, tontonan malah jadi tuntunan.
Irham juga menimpali dengan fenomena duniawi yang dikamuflase dalam bahasa agama, sehingga yang katanya untuk kepentingan agama, tetapi ada unsur-unsur lain masuk sehingga tidak murni lagi sebagai keikhlasan amaliyah. Orang boleh berdalihkan Allah dan Rasul-Nya sebagai titik mula dia melakukan sesuatu tetapi dibalik daripada itu ada udang dibalik batu. Tidak ketinggalan Irham menyebutkan cara-cara dakwah untuk infotainment dalam TV dll sehingga kalau dipanggil orang ceramah harus dikeluarkan biaya yang besar, macam mana kalau untuk orang miskin saja? Saya semakin membatin …orang seperti Irham ini masih ada budaya malu…peduli pada fenomena sosial, walaupun dia hanya tamatan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) tetapi peka. Tidak seperti kebanyakan kita yang telah hilang budaya malu…sehingga korupsi dan criminal lainnya semakin menjadi-jadi. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment