![]() |
Abd. Razak Muhidin |
Setiap tempat yang ada di dunia tidak dinamai orang dengan sebutan ini dan itu, melainkan ada makna disebalik sebutan itu. Kadang dilatari oleh suatu peristiwa atau kejadian, sehingga orang lalu menamai tempat itu dengan peristiwa atau kejadian tersebut, yang membuat orang pada masa belakangan menjadi tertanya-tanya mengapa dinamakan tempat-tempat itu dengan sebutan demikian? Ternyata setelah ditelusuri ada latar belakang sejarahnya. Bahkan dinamakan tempat-tempat tersebut juga dilatari oleh kenyataan yang terjadi ketika orang datang ke tempat itu akan mengalami sesuatu hal seperti tempat itu dinamakan. Bila di tempat itu disebut sebagai tempat yang menyedihkan, ternyata memang benar ketika orang sampai di tempat itu dia akan merasakan sesuatu yang mengharukan yang sepontan akan meneteskan air mata, karena mungkin saja rasa kagum pada ciptaan Allah disekitar situ dll. Ada tempat yang dinamakan dengan “Batu berjunjung”, ternyata memang benar di tempat itu ada ornamen yang menunjukkan beberapa batu saling berjunjung, dll. Tidak ketinggalan, tempat-tempat seperti itu juga meninggalkan cerita rakyat (legenda) yang terkadang membawa pada ritual-ritual tertentu, yang bisa menyeret orang pada perbuatan menduakan Allah (syirik). Naudzubillah.
Judul sebagaimana tercantum diatas juga adalah nama lain dari tempat yang disana ada kiblat bagi umat Islam, yaitu Makkah al-Mukarramah. Makkah disebut oleh Allah dalam firman-Nya QS. 3/ Ali Imran : 96, yang artinya “Sesungguhnya rumah yang mula-mula diletakkan (dibangun) oleh Allah untuk manusia (beribadah) adalah di Bakkah (Makkah), sebagai petunjuk bagi semua manusia”. Amat jelas sebutan “Bakkah” dalam ayat diatas, dimana para mufassir menyebut bahwa Bakkah itu adalah Makkah al-Mukarramah. Yang menjadi pertanyaannya mengapa Makkah dikaitkan atau dinamakan juga dengan Bakkah ?. Sementara “Bakkah” itu sendiri berarti menangis ?. Adakah tangisan yang terjadi pada tempo dulu untuk tamsilan dan i’tibar bagi kita yang datang belakangan atau kita juga bakal menangis bila berada di tempat itu ? Yang pasti sebutan ini datang dari Allah, tentu benar adanya bila ditelusuri diseputar tempat-tempat yang dimuliakan itu, disana tersimpan makna yang tidak bisa diukur ketinggian dan kedalamannya, kita hanya menakar kiranya keimanan kita semakin bertambah kepada Allah swt.
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya, benarlah Allah dalam sumpah janji-Nya… betapa diri ini lama bekerja siang malam pagi dan petang… peras keringat membanting tulang, tetapi kebutuhan untuk diri dan anak istriku tidak akan mencukupi, selalu saja ada kurangnya, karena begitulah dunia dan tabiatnya. Ya Allah… dalam kekurangan seperti ini, tapi kewajiban kepada-Mu tak pernah hamba lalaikan, terutama shalat yang merupakan ibu dari segala ibadah tetap hamba tegakkan dimanapun berada, walau apapun rintangan, walau apapun kesulitan, niscaya tetap hamba tegakkan, sembari berharap ridha dan kasih sayang-Mu. Dalam pada itu hamba selalu berharap kiranya bisa berkunjung ke rumah suci-Mu ini, walaupun hamba hanya bekerja sebagai tukang sapu jalan. Ternyata semua ini telah menjadi nyata, ada orang budiman yang telah Engkau gerakkan hatinya, dia adalah majikan saya di tempat hamba bekerja. Dia telah mengulurkan tangannya membiayai keberangkatan hamba ke rumah suci-Mu ini Oh Allah… semua ini tidak lain adalah anugerah-Mu jua bahwa tidak ada yang mustahil bila Engkau yang menghendaki.
Demikianlah kejadian bagaimana syukurnya seorang hamba di hadapan Allah, yang dinyatakannya melalui isak tangis bahwa tidaklah mudah orang seperti dia bisa menu-naikan ibadah haji dan masih banyak lagi yang datang kesana dengan segala suka cita dan mengadukan semua halnya di hadapan Allah swt. Ada yang ketika berangkatnya penuh dengan kehawatiran dari sanak keluarga karena pada masa-masa sebelum berangkat dia dalam keadaan bugar, sehat wal afiat, tetapi selang beberapa bulan yang lalu dia mengalami musibah yang agak mengganggu keberangkatannya. Walaupun demikian karena didorong oleh tekad, azam yang kuat bahwa memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji adalah diantara potret ketaatan hamba kepada Allah, maka dia memberanikan diri untuk berangkat. Nah pada waktu keluarganya menghantarkan dia keluar dari rumah, bukan main rasa haru yang terjadi, baik dari keluarganya maupun dia sendiri yang akan meninggalkan mereka beberapa lama. Tangisanpun tidak bisa terelakkan.
Bisa ditafsirkan bahwa mereka yang menghantarkannya dari sanak keluarganya merasa sedih kalau berpisah dengannya, apakah mereka bisa bertemu lagi atau tidak, sementara dia juga merasakan hal yang sama. Tetapi bagi yang ditinggalkan tangisan mungkin hanya sebatas perpisahan, namun bagi dia yang berangkat pasti terbersit dari tangisan itu ada harapan kiranya Allah memberkati perjalanannya sampai ke tujuan walaupun dengan susah payah seperti yang ia alami. Sekali lagi tangisan antara yang pergi dan yang ditinggalkan tidak lain adalah sebuah kebenaran dari makna kata “Bakkah” yang artinya menangis, dan memang demikianlah suasana disetiap pergi dan pulang haji. Maka si empunya diri dalam perjalanan itu belum bisa memastikan akankah perjalanannya sampai ke tujuan ? Sementara banyak peristiwa tragis yang menghantui perjalanan seperti itu, ada peperangan di beberapa Negara, ada gangguan keamanan (pencurian, perampokan), tidak ketinggalan kecelakaan dari kendaraan di darat, laut maupun udara.
Dalam harap-harap cemas seperti itu ternyata sampailah ia ke tanah suci, batapa si empunya diri semakin terharu dan menyatakan terimakasihnya kepada Allah. Aku datang ya Allah… aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah… Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian, segala nikmat dan kekuasaan hanyalah kepunyaan-Mu… tidak ada sekutu bagi-Mu. Begitulah lafadz syukur kepada Allah sejak mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman, apalagi ketika memasuki daerah miqat yaitu tempat dimulainya niat mengerjakan haji dan memakai pakaian ihram. Tangisan gembira sembari menyadari betapa tanah suci dengan nuansa kedamaiannya, betapa diri telah merantau jauh meninggalkan kampung halaman yang asli, tidak lain kampung halaman yang asli itu adalah Makkah al-Mukarramah. Betapa Makkah adalah kampung halaman yang asli sehingga Allah menyebut dalam firman-Nya dengan “Ummul Quraa” yang artinya ibu negeri (Ibu kota). Dan dalam ibu negeri itu ada rumah bagi semua manusia (ka’bah) yang difrimankan oleh Allah dengan “Baitul Atiq” yang artinya rumah tua.
Bila disebut oleh Allah dengan rumah tua, maka segala etnik suku bangsa di dunia mempunyai rumah tua yang disebut rumah adat yang dari sana dipercayai sebagai tempat bermulanya hidup dan bernaung dibawah atapnya. Tetapi semua rumah tua yang ada di dunia tidak disebutkan oleh Allah justru yang disebutkan adalah “Baitul Atiq” rumah tua yang disana orang-orang yang datang hendaklah berthawaf mengelilinginya. Betapa kesadaran akan semua itu, bahwa semua yang datang menunaikan ibadah haji tidak lain adalah orang yang pulang kampung atau pulang melihat rumah tuanya itu, bahwa rumah tersebut pernah diperintahkan oleh Allah kepada nenek moyang manusia (Adam as) untuk membangunnya. Bila Adam yang disuruh membangun, maka itu tidak lain adalah untuk anak cucunya yang akan tinggal di sana dan beranak pinak. Tetapi perjalanan waktu telah memisahkan mereka, berpencar ke negeri yang jauh, termasuk juga ketika air bah Nabi Nuh yang menghanyutkan mereka ke negeri yang berbeda-beda.
Demikian itu adalah isyarat tentang rumah tua yang menjadi rumah bagi semua orang yang tahu diri berasal dari nenek moyang yang satu. Tangisan pun tidak bisa tertahankan ketika sampai di Makkah/Bakkah sembari menghayati seperti kembali ke kampung halaman sendiri. Maka semakin termakna betapa Makkah adalah tempat yang membuat orang mencucurkan air mata, apakah ketika datang ataupun ketika akan pergi. Tidak hanya sampai disitu bahkan di setiap destinasi ibadah haji, di maqam Nabi saw, di Raudhah, di Bukit Uhud, di Bukit Shafa dan Marwah, di Multazam, di Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, di Jamrah, dan wuquf di Arafah semuanya akan membuat pengunjungnya kerdil dan meneteskan air mata. Jangan lupa dalam riwayat disebutkan bahwa tempat berhimpunnya manusia di padang mahsyar itu tidak lain adalah tanah haram yang ada di Bakkah/ Makkah itu. Bila berkumpul ketika kiamat nanti maka sudah pasti tangisan juga akan lebih dahsyat lagi ketika hati menjadi takut karena dosa dan kesalahan yang diperbuat selama ini. Dari ituah wahai hamba Allah lebih baik tangismu untuk harimu yang sekarang…daripada tangismu pada hari yang terakhir. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment