English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, October 4, 2013

IMAM


Oleh : Abd. Razak Muhidin

Imam dalam pengertiannya secara lughah (bahasa) artinya di depan, di muka atau bisa berarti pemimpin atau komando. Dalam pengertiannya menurut syari’ah (ajaran Islam) imam yaitu orang yang berdiri di depan atau dimuka untuk memimpin jama’ah dalam shalat berjama’ah. Imam dalam pengertian seperti ini terasa sempit maknanya karena imam memegang fungsinya bukan hanya pemimpin shalat, tetapi imam juga bisa memimpin masyarakat pada umumnya, dari struktur yang paling rendah sampai yang paling tinggi, dari wilayah yang kecil dan sempit sampai wilayah yang paling besar dan luas. Dari fungsi imam seperti ini maka dalam sejarahnya umat Islam bisa menyebut imam dengan khalifah dan imam juga bisa disebut sebagai amiril mu’minin. Dua sebutan yang terakhir ini, telah ada dalam perjalanan sejarah umat Islam dimana seorang khalifah atau seorang amiril mu’minin menjadi imam di Masjid Negara. Adapun jabatan dibawahnya yaitu amir (gubernur) menjadi imam di Masjid provinsi, wali (bupati/ walikota) menjadi imam di Masjid daerah, qadhi (camat) menjadi imam di Masjid kecamatan. Adapun pada masa pemerintahan Ali Karramallaahu Wajhah, khalifah/ amiril mu’minin diganti dengan sebutan “Imam”.

Fungsi imam yang cukup penting dan peran yang dijalankannya cukup strategis sebagaimana tersebut diatas maka seorang imam hendaklah memiliki kapasitas keilmuan yang luas, baik menyangkut urusan ukhrawi maupun duniawi. Selain dari itu imam juga hendaklah memiliki sikap mental yang baik (akhlakul karimah) karena dia adalah orang yang terdepan, ketika memimpin shalat. Dialah yang mendahului para makmum sehingga gerakannya itu lalu ditiru atau diikuti oleh makmum. Nah gerakan imam dalam shalat juga akan di transformasikan dalam tingkah laku di luar shalat yang semua itu menjadi ikutan bagi masyarakat atau jama’ah kaum muslimin. Begitulah yang terjadi dengan para khalifah tempo dulu, mereka adalah ikon dalam masyarakat yang sangat berpengaruh pada keberadaan umat Islam, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalah maupun dalam bidang politik dan pertahanan keamanan. Dari sini kita bisa menelusuri literatur bahwa umat Islam menjadi sangat bersahaja, ketika melihat pemimpinnya (khalifah) sangat bersahaja. Hanya saja ketika fungsi imam itu dipersempit hanya sebatas pemimpin shalat, sementara pemimpin dalam pengertian konvensional yaitu yang memimpin masyarakat pada umumnya, maka imamlah yang lebih dituntut untuk berakhlak yang baik, sementara pemimpin dalam makna konvensional tidak terlalu dituntut. Hal ini bisa dilihat dengan imam yang tampilannya lebih Islami bila dibanding dengan pemimmpin dalam arti konvensional yang agak flamboyan.

Adapun tulisan ini lebih cendrung mengupas tentang imam dalam makna pemimpin shalat, yang kita semua telah mengerti tentang itu. Bagaimana syarat-syarat seorang menjadi imam jama’ah, bagaimana akhlak kesehariannya, bagaimana bacaannya dll yang berhubungan dengan shalat itu sendiri. Hal ini menjajdi lebih penting lagi bagi salah seorang dua dari para jama’ah Masjid Raya Batam yang selalu meminta kepada kami untuk menulis tentang imam. Walaupun tuisan ini belum mendetail mungkin tetapi setidaknya menjadi makluman bagi kita semua tentang standar umum yang hendaklah ada pada seseorang yang menjadi imam.

Sifat-sifat Imam.

Yang pertama tentang sifat atau kepribadian imam, bahwa seorang imam hendaklah memiliki sifat-sifat sebagai berikut yaitu hendaklah imam-imam jama’ah menunaikan amanah-amanah Allah, dalam hal ini memelihara diri dari tingkah laku fasik. Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi dalam “Pedoman Shalat” menulis tentang fasik bahwa seorang imam hendaklah menjaga diri dari dosa besar dan dari berkekalan atas dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar ada 7 (tujuh) yaitu syirik, berzinah, durhaka kepada kedua orang tua, makan riba’, membunuh, minum arak, dan berjudi. Bila seseorang yang akan diangkat menjadi imam tetapi dia telah diketahui melakukan salah satu dari tujuh dosa besar diatas, maka dia tidak layak menjadi imam. Begitu juga seorang imam yang telah diangkat jama’ah untuk menjadi imam, tetapi selang beberapa lama dia melakukan salah satu dari tujuh dosa besar ini, maka jama’ah berhak menurunkan dia dari jabatan imam. Adapun dosa kecil adalah dosa selain dari tujuh diatas, bahkan sesuatu yang makruh yang dikerjakan berterusan bisa meningkat menjadi dosa kecil. Hendaklah imam menjauhi semua ini.

Yang kedua; hendaklah imam menjaga diri dari ujub yaitu merasa paling bersih dari dosa dan kesalahan dan dari takabur (sombong). Janganlah imam-imam memandang dirinya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari jama’ahnya karena dikhawatirkan ujubnya itu akan menghilangkan pahala dari amalnya bahkan mendatangkan dosa. Ujub dan takabur bisa terjadi ketika imam sedang membaca ayat Al Qur’an ketika shalat lalu dia teringat bahwa bacaan dialah yang paling baik, tidak ada lagi selain dia. Bahkan dalam hal keilmuan bisa saja terjadi apabila imam mengatakan ilmunya lebih tinggi dari yang lain.

Yang ketiga; hendaklah imam-imam jama’ah memperoleh ridha orang-orang yang ia imami. Jika ia mengetahui bahwa para makmum tidak ridha kepadanya, maka hendaklah ia menarik diri. Sifat yang ketiga ini hendaklah ada pada seorang imam karena bila ia mengimami suatu jama’ah tetapi mereka benci kepadanya, maka shalat imam tersebut tidak diterima oleh Allah swt. Begitulah Hasbi ash-Shiddiqi menulis dalam kitab yang sama.

Yang Lebih Utama Menjadi Imam.

Setelah sifat-sifat diatas dimiliki oleh beberapa orang, maka hendaklah diseleksi siapakah diantara mereka yang lebih utama menjadi imam. Dinukilkan dari kitab “Jami’ Shaghir” I : 8, bahwa Nabi saw dalam sabdanya menyebut “Jadikanlah olehmu buat imam-imam, orang yang terpilih diantara kamu, karena mereka adalah orang-orang perantara antara kamu dengan Tuhanmu”. (HR. Daruqutni dari Ibnu Umar). Dalam kebanyakan fiqh kita temui keutamaan seseorang dengan yang lain yang akan diseleksi menjadi imam. Yang pertama; Qari’ yaitu orang yang paling baik bacaannya tentang Alqur’an. Yang kedua; Faqih yaitu orang yang memahami masalah fiqh Islam. Yang ketiga; orang yang ikut berjihad (berperang) bersama Nabi saw.

Dari tiga keutamaan diatas bila diseleksi memang demikianlah susunannya bahwa qari’ menempati posisi pertama. Yang disebut qari’ disini bukan berarti orang yang pandai melagukan Alqur’an, tetapi orang yang walaupun tidak pandai melagukan Alqur’an dia bisa membaca Alqur’an dengan baik. (bacaannya tartil). Keutamaan dari qari’ ini melebihi ahli fiqh yang kurang baik bacaannya. Sehingga seorang yang ahli fiqh tetapi kurang baik bacaannya tidak boleh melangkahi seorang qari’, karena qari’ bacaannya bersentuhan langsung dengan jama’ah, sedangkan faqih hanya dikedepankan ketika ada masalah yang menyangkut fiqhiyah. Misalnya seorang faqih yang menjadi imam, sedangkan pada waktu dia membaca fatihah dan surat lainnya, bacaannya mengganggu ketenangan jama’ah lantaran tidak sesuai dengan tajwidnya. Tetapi ketika qari’ yang menjadi imam bacaannya justru menyejukkan dan menyamankan jama’ah. Dia kurang dalam masalah fiqh tentang masalah-masalah lainnya tetapi tentang shalat dia faham kedudukan fiqhnya. Perbandingan ini menunjukkan bahwa qari lebih utama dari faqih.

Bila dua orang atau lebih yang sama dalam qari’ dan faqih, maka seleksi berikutnya adalah orang yang ikut berjihad (perang) bersama Nabi saw. Dalam hal ini zaman Nabi dan para sahabat sedangkan kita sudah jauh dari zaman tersebut. Ternyata seleksi yang ketiga ini juga masih sama dari dua orang atau lebih maka seleksi yang berikutnya adalah orang yang hafiz yaitu penghafal Alqur’an. Nah bagaimana pula antara qari dengan hafiz? Adalah jelas bila hafiz tidak fasih maka qari’ lebih utama, sebab tidak semua yang hafiz itu fasih tapi kalau qari’ pasti fasih. Bila masih sama dalam seleksi ini maka yang berikutnya adalah terkenal kedudukannya di masyarakat, yaitu orang-orang besar yang mempunyai keahlian tentang hal-hal diatas. Bila sama dalam hal ini maka orang yang lebih tua yang menjadi imam. Bila seleksi inipun masih sama dari beberapa orang itu maka yang berwajah lebih tampan diantara mereka itu yang lebih utama menjadi imam. Seleksi seperti ini adalah dalam rangka mengambil fadhilat dari hadits Nabi saw “Apabila seseorang menjadi imam bagi orang-orang yang kurang dari padanya, padahal di belakangnya ada orang yang lebih utama daripadanya maka semua mereka itu dalam kerendahan terus-menerus”. (HR. Ahmad). Demikian…. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment