Abdul Razak Muhidin |
Sungguhpun ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi dan berdaya guna dalam menyingkap segala misteri dan mempermudah gerak usaha manusia, tetapi semua itu masih besifat sementara yang akan diseleksi oleh manusia melalui pengalaman empiris yang dilalui dan manusia akan mengambil kesimpulan seberapa manfaatkah semuanya ini dan sebaliknya seberapa besarkah dampak-dampak yang perlu ditanggulangi. Sejauh ini kesimpulan yang diambil oleh para pakar bahwa manusia dalam merumuskan sesuatu, meneliti, mengkaji dan menemukannya adalah sesautu yang masih dalam terka-terka dan sementara, sebab hakikat atau kebenaran dari sesuatu itu berada dalam genggaman Allah yang lebih mengetahui dibalik dari yang diketahui oleh manusia. Bila berpijak dari asumsi manusia maka akan semakin rumitlah sesuatu masalah yang diajukan kepada orang seorang dan seterusnya. Dua orang yang membahas satu masalah maka masalah itupun akan berbeda dalam dua paksi, sepuluh orang yang membahas satu masalah maka masalah itupun akan berbeda menurut sepuluh orang itu dan seterusnya.
Stigma perbedaan persepsi yang bermula sebagaimana tersebut diatas, akan semakin rumit dan kompleks dengan kehadiran manusia yang semakin banyak jumlahnya maka semakin banyak pula tingkah pola dalam memahami dan menyikapi sesuatu. Bersamaan dengan itu teknologi memainkan perannya dalam mengkapling masyarakat manusia pada level, kasta, dan perbedaan yang semisal dengannya sehingga terkenallah sebutan masyarakat agraris dengan cara pandangnya, masyarakat industrialis dengan cara pandangnya. Kemuadian daripada itu terbentuklah masyarakat baru sebagai subordinasi nya yaitu masyarakat ekonomi, masyarakat intelektual, masyarakat awam, masyarakat perkotaan, masyayrakat pedesaan dll, dengan krakteristik yang berbeda-beda sehingga apabila berbaurlah masyarakat tersebut dalam satu lingkungan, maka sudah tentu berkumpullah berbagai perbedaanpun akan terjadi. ( Benyamin Maftuh, M.Pd,MA, Ilmu Sosiologi ).
Berkumpul atau berbaurnya perbedaan itu juga akan menimbulkan gesekan dan konflik, baik yang menyangkut konflik ( konflik horizontal maupun fertikal ) konflik intelektual maupun konflik social dan konflik moral. Kadang bisa di selesaikan dalam persefahaman dan toleransi tetapi kadang terus terkapling dalam perbedaan, sehingga manusia semakin sulit dan rumit menemukan kembali jati dirinya. Dalam hal ini Slamaet Rahman dkk dalam Islam Pluralis menulis antara lain “ Bahwa perkara yang dihadapi oleh manusia modern adalah kebingungan ( dilematis ) dalam menentukan eksistensinya yang hilang, apakah dia akan memilih eksistensi kemanusiaan atau eksistensi kebinatangan “. Demikian juga Dr. Ali Syari’ati dalam karyanya “ HAJI “ yang dikutip oleh Ginanjar AGT dalam ESQ menulis bahwa “Perkakra baru yang dihadapi oleh manusia modern bukanlah bom atom yang akan menghancurkan seluruh kehidupan, tetapi hilangnya nilai dan kemanusiaannya telah tergadai dan manusialah yang akan membayarnya dengan harga yang mahal “.
Dalam suasana yang skeptis itu para pakar juga berkesimpulan bahwa sesuatu yang datang dari Allah berupa wahyu adalah sesuatu yang dijamin kebenarannya dan dijamin kelanggengannya sepanjang masa. Wahyu Allah itu lalu disebut sebagai syari’at atau ajaran yang datang dari Allah SWT yang keseluruhannya disebut Agama atau Ad-Diin. Namun dalam hal agama juga timbullah kerumitan yang diakibatkan oleh penafsiran dari firman Allah oleh ahli-ahli agama ( ulama dan intelektual ), tanpa berpandu pada sunnah yang datang dari Nabi SAW. Maka jawaban atas kerumitan yang terjadi dalam hal agama ini adalah kembali kepada manusia agung yang mempunyai hak paten untuk menafsir dan mejelaskan kepada manusia akan ajaran Allah. Manusia yang mempunyai hak paten untuk menafsir dan menjelaskan ajaran Allah adalah para Rasul. Selain para Rasul adalah manusia cerdas, mereka juga adalah manusia yang maksum yang dijamin oleh Allah tidak akan melakukan dosa dan kesalahan. Maka Allah dan Rasul-Nya adalah rujukan utama juga rujukan awal dan akhir dalam segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia sehingga terjawablah segala kerumitan yang dialami.
Maka pertanyaan yang tersumbul dari rasa skeptis akankah kebenaran itu bisa ditemui ditengah kerumitan ini ? Pertanyaan seperti itu seharusnya sudah tidak ada lagi ketika ajaran Allah dan rasul-Nya telah dijadikan rujukan. Dan ajaran Allah dan Rasul-Nya itu tidak harus menunggu kesepakatan atau persetujuan dari manusia untuk diberlakukan, karena manusia dan seluruh makhluk telah dititahkan oleh Allah harus tunduk pada ajaran Allah baik secara suka rela atau terpaksa. Pengalaman yang kita lalui seakan menunjukkan bahwa pemberlakuan hukum Allah harus melalui persetujuan manusia sehingga sampai kapanpun juga hukum Allah itu tidak diberlakukan, karena terjebak pada mekanisme dan system yang salah yaitu system yang diada-adakan oleh manusia. Kendala seperti ini semakin diperparah lagi ketika institusi ini dan itu didirikan untuk melindungi dan meletakan hak azasi manusia, sehingga bangkitlah kelompok-kelompok tertentu yang menghalangi diberlakukannya hukum Allah, lalu syetan besar yang ada dibalik institusi itu terus membekingi keberadaan mereka, maka semakin mengharubiru kan harapan semua orang yang ingin menggapai kebenaran hakiki dari Allah itu.
Ditengah problematika dan kerumitan yang kita hadapi ini, kita maklumi kesadaran akan kelemahan dan kekurangan manusia sebagaimana tertera diatas bahwa hanya ajaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya yang benar dan langgeng maka walaupun manusia selalu membangkang tetapi hukum Allah akan berlaku secara alami, menjawab problematika yang dihadapi manusia. Semakin manusia itu mengambil doktrin, falsafah dan ajaran lain maka semakin bingung dan linglunglah manusia dengan problematika yang datang sehingga secara alami manusia akan kembali pada kodrat atau fitrah kemanusiaannya. Bila orang sudah kembali mencari fitrah kemanusiaannya, maka fitrah manusia itu pasti sesuai dengan ajaran Allah, maka selamatlah manusia itu. Namun keselamatan yang didapat dan dirasakan manusia seperti ini hanya dalam masalah dunia, sebab fitrah yang tanpa berpandukan pada ajaran Islam adalah salah disisi Allah maka rugilah ia di akhirat. Sungguhpun manusia dapat berbuat baik, berbakti untuk kepentingan orang banyak, memberikan sumbangsih untuk kemaslahatan umum, tenggang rasa, peduli pada sesame, menjaga hak-hak orang lain, tidak curang dan tidak dzalim tetapi bila tidak mengakui kebenaran Islam, maka semua itu difrimankan oleh Allah sebagai fatamorgana.
Islam tidak menghendaki keselamatan hanya sebatas di dunia tetapi keselamatan juga di akhirat. Karenanya apabila manusia ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat hendaklah kembali pada ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya bahwa tidaklah seorang itu disebut sebagai orang yang berakhlak melainkan berakhlak dengan agama ini ( Islam ). Demikian juga Allah dalam firman-Nya yang artinya “ Barang siapa mencari ( mengambil ) agama ( ajaran, anutan, doktrin, falsafah ) selain Islam maka sekali-kali tidak diterima agama ( ajaran, anutan, doktrin, falsafahnya ) itu, dan di akhirat nanti dia termasuk orang-orang yang rugi “. QS. 3/ Ali Imran : 85. Demikian… Insya Allah, jumpa lagi dalam sambungannya pada edisi jum’at yang akan datang. Wallahu a’lam. @...raz.
0 comments:
Post a Comment