Pada Jum’at sebelumnya kita telah membahas
masalah sebagaimana tercantum dalam judul diatas. Tema yang menjadi garapan
kita adalah kekeliruan yang membuat shalat berjama’ah menjadi tidak tertib atau
amburadul. Kekeliruan tentang wudhu telah selesai pada jum’at sebelumnya. Maka
pembahasan berikut ini berkisar pada Shaf, Imam dan Makmum, juga Masbuk. Sebagaimana
dimaklumi bahwa setelah berwudhu maka kita akan masuk ke dalam Masjid. Nah di
dalam Masjid kita disunnahkan untuk melaksanakan shalat sunat Tahiyyatul Masjid
2 raka’at. Shalat sunat Tahiyyatul Masjid dikerjakan lebih dahulu dari pada
shalat sunat yang lain, misalnya shalat sunat Dhuha, sunat Wudhu, sunat Mutlak
dll. Karena shalat Tahiyyatul Masjid lebih afdhal dikerjakan sebelum duduk,
sehingga kalau ada yang mengerjakan shalat sunat yang lain lebih dahulu baru
shalat Tahiyyatul Masjid berarti kurang afdhal (utama). Lalu shalat Tahiyyatul
yang dikerjakan terkadang dikerjakan dengan tanpa mempertimbangkan jama’ah yang
lain sehingga terlihat ada yang datang belakangan lalu mengerjakannya pada
waktu akan diserukan iqamat sehingga banyak jama’ah yang tertunggu-tunggu
dengannya. Kalau terus ditoleransi maka yang datang lebih belakangpun begitu
juga, lalu orang yang berikutnya lagi maka waktu shalat wajib terus
diulur-ulur. Perlu disadari bahwa dalam berjama’ah harus ada rasa peduli pada
yang lain, sehingga kalau yang datang belakangan sebaiknya tunggu saja iqamat
dan shalatlah bersama-sama (berjama’ah) pada shalat wajib.
Setelah itu apabila telah diserukan azan
lalu setelah azan itu diseruka lagi iqamat maka berbarislah kita untuk shalat
berjama’ah yang disebut dengan Shaf. Perlu diingati bahwa ketika iqamat itu
kita berdiri mengatur shaf pada waktu muazin mengucapkan kalimat “Qad qaamatish
shalaatu 2x “. Ini didasari dengan sunnah Nabi SAW bahwa Beliau baru berdiri
memimpin shalat berjama’ah ketika diserukan kalimat di atas. Nah bagaimana
dengan mereka-mereka yang lebih dahulu mengatur shaf sebelum kalimat diatas ? Tidak
mengapa tetapi kalau dilihat dari tertibnya, maka akan terkesan seragam apabila
semua baru berdiri bersama-sama pada seruan diatas. Barangkali ada hujjah
tentang keutamaan shaf pertama sehingga berebut-rebut berdiri lebih dahulu bisa
terima, tetapi hendaklah tidak melangkahi pundak-pundak jama’ah yang ada
didepan apalagi lewat dihadapan orang yang sedang shalat. Lalu mulailah
mengatur shaf dengan tertibnya sebagaimana yang diatur oleh Nabi SAW, yaitu
shaf pertama adalah laki-laki dewasa, shaf
ke dua anak-anak dan di belakang anak-anak adalah shafnya anak-anak
perempuan, lalu perempuan tua dan di belakang perempuan tua adalah perempuan
remaja (gadis).
Aturan shaf seperti ini adalah ketika
shalat jama’ah itu hendak dimulai. Sehingga tidaklah kita menjadi kaku ketika
mendapati jama’ah yang tidak mengikuti tertib shaf seperti ini. Misalnya shalat
jama’ah yang terjadi antara seoraang imam dengan seorang makmum anak-anak
lelaki. Tentunya anak lelaki itu berdiri disamping kanan imam. Ini jangan
menjadi kaku ketika kita datang sebagai masbuk maka kita hendaklah mengambil
posisi di belakang imam sementara anak lelaki itu mundur sejajar dengan orang
dewasa yang masbuk tadi. Kita katakan jangan kaku berpatok pada tertib shaf
diatas sehingga kita tarik anak itu dan kita yang berposisi disamping kanan
imam menggantikan posisi anak lelaki itu. Ada lagi jama’ah yang protes ketika
imam menyuruh anak-anak bershaf di belakang orang dewasa, katanya Nabi pernah
shalat bersama Abdullah bin Abbas ra (Ibnu Abbas), ketika Ibnu Abbas masih
kecil. Peristiwa ini bisa dimaknai bahwa bisa saja Nabi hanya berdua dengan
Ibnu Abbas ra sehingga shalat seperti itu. Sedangkan tertib shaf sebagaimana
diatur oleh Nabi diatas adalah ketika anggota jama’ahnya komplit, dari orang
dewasa lelaki dan seterusnya sampai yang paling belakang remaja perempuan.
Demikian juga jangan menjadi kaku bagi perempuan remaja ketika anak-anak
perempuan dan orang tua perempuan tidak ada sehingga remaja perempuan tidak mau
berjama’ah, tetapi bisa diatur jarak dalam menghindari fitnah. Singkatnya dalam
urusan shaf ini hendaklah saling teloransi jangan hanya menang sendiri, karena
kita dapatkan riwayat yang berfariasi. (Hasbi Ash-Shiddieqy : 337).
Setelah tertib shaf seperti ini maka yang perlu
diperhatikan lagi adalah rapat dan lurusnya shaf. Rapat dan lurusnya shaf
adalah salah satu dari kesempurnaan shalat berjama’ah yang kita dilarang oleh
Nabi merenggangkan shaf karena syaitan berada ditengah shaf yang renggang itu. Adapun
diantara jama’ah yang merapatkan shaf dengan merapatkan jari kelingking kaki ke
jama’ah yang lain kami (penulis) belum menemukan referensinya tetapi bila
dianalisa sabda Nabi bahwa syaitan berada ditengah shaf yang renggang bisa
dimaknai bahwa ketika berdiri berjejer (shaf) maka bagian-bagian dari tubuh
kita pasti bersinggungan yaitu bahu, (Hasbi Ash-Shiddieqy : 334), kedua
siku-siku kita kanan dan kiri sudah bisa dipastikan sebagai memenuhi kehendak
merapatkan shaf itu. Demikian juga dengan meluruskan shaf sangat ditekankan
dalam shalat berjama’ah dan ini kelihatannya remeh temeh tetapi bila
diperhatikan ternyata sangat berpengaruh dalam shalat berjama’ah. Dalam sebuah
hadits riwayat Abu Daud dan Abu Umar bahwa siapa yang menyambung shaf maka
Allah akan menyambungnya dan siapa yang memotong (memutuskan shaf) maka Allah
akan memotongnya. Dalam riwayat yang
lain disebutkan bahwa pada masa Umar ra kaum muslimin tengah menghadapi sariyah
(perang yang dipimpin/ pada masa sahabat).. Ketika itu musuh belum bisa
ditaklukkan padahal perang sudah hampir sebulaln berjalan. Lalu Umar ra
mengoreksi kembali keadaan kaum muslimin apa penyebabnya. Ternyata kaum
muslimin tidak lurus dalam shaf dan tidak bersiwak ketika shalat. Maka Umar ra
memerintahkan untuk bersiwak dan beliau sendiri yang meluruskan shaf kaum
muslimin dengan pedangnya. Setelah itu kaum muslimin dapat menaklukkan musuh.
Peristiwa ini bisa menjadi bahan renungan bagaimana seharusnya kita dalam
shalat berjama’ah.
Yang berikut tentang masbuk yaitu orang
(jama’ah) yang datang terlambat mengikuti imam. Dalam pada ini bisa dipastikan
bahwa kapan jama’ah tersebut terhitung mendapatkan satu raka’at dan tidak
mendapatkan raka’at itu. Bagi jama’ah yang datang dan mendapati imam sedang
ruku’ maka dia terhitung mendapatkan satu rakat. Dia tidak perlu mengulang
lagi. Tetapi bagi jama’ah yang mendapati imam sedang I’tidal maka dia sudah
tidak dihitung mendapatkan rakaat itu, sehingga dia (jama’ah) yang terlambat
itu hendaklah mengulangi lagi raka’at yang tertinggal itu. Lalu disana-sini
masih saja kelihatan cara masuk masbuk yang keliru. Ada jama’ah yang masuk
ketika dua orang sedang berjama’ah (imam dan makmum). Maka jama’ah yang baru
datang itu hendaklah mengambil posisi di belakang imam. Sedangkan makmum yang
shalat bersama imam tadi hendaklah mundur mengambil posisi sejajar dengan
makmum yang baru datang itu. Tetapi lantaran tidak mengerti sehingga jama’ah
yang baru datang itu bukan berdiri di belakang imam, malah berdiri disamping
kanan makmum. Akhirnya yang datang belakangan juga seperti itu dan shaf menjadi
tidak seimbang bahkan lucu. Imam hanya berdiri sendiri di kiri sementara makmum
berjejer memanjang ke kanan semua. Ada lagi yang datang masbuk begitu melihat
satu jama’ah ada di sebelah kanan imam, dia malah berdiri disebelah kiri imam. Maka berjejerlah
shaf ke kiri sepanjang-panjangnya dan berjejerlah ke kanan juga
sepanjang-panjangnya mengikuti posisi dua makmum tadi. Ada lagi yang masbuk
mengambil posisi di belakang imam tetapi makmum yang pertama tadi tidak mau
mundur-mundur sampai selesai shalat, sehingga terlihat ada makmum yang rapat ke
imam dan ada makmum yang berdiri sendiri di belakang. Semua ini menunjukkan
kekeliruan umat Islam bahkan karena kurang paham tentang tata cara shalat
berjamaah.
Bahkan kurang mengerti atau keliru ini
juga terjadi pada jama’ah yang membawa anak kecil masuk Masjid mengikuti shalat
berjama’ah. Dari awal memang dikawal anak kecil itu oleh orang tuanya, tetapi
lama-lama anak itu tidak tahan diam ditempat dan berkelana lah ia kemana-mana. Hal ini
menganggu kekhusyu’an orang berjama’ah. Maka setelah selesai shalat ada jama’ah
yang ngomel pada orang tua dari anak itu, sementara orang tua dari anak itu
tidak terima. Hampir saja Masjid menjadi arena (ring) tinju karena
masing-masing pihak tidak bisa menahan diri. Yang ngomel berdalih mengganggu
orang shalat dan tidak khusyu,’ semantara yang empunya anak juga berdalih “Yah
namanya juga anak-anak biasalah... kalau kamu mau khusyu’ carilah diakhir malam
saja, karena berjama’ah di Masjid lebih ditekankan untuk kebersamaan”.
Padahal kalau dibedah, permasalahannya menjadi mudah bila memahami aturan
berjama’ah, berikut memahami cara amaliyah dari masing-masing mazhab. Mengapa
tidak saja orang yang mempunyai anak mencari posisi yang lebih aman yaitu jauh dibelakang
jama’ah yang lain sehingga tidak mengganggu jama’ah dan dia bisa mengawal
anaknya ? Terkadang kita ingin mendapatkan yang afdhal untuk diri kita
sedangkan orang lain terganggu. Kasus seperti
juga perlu saling peduli. Berikut bahwa shalat berjama’ah memang
ditekankan untuk memupuk kebersamaan, tetapi tidak mengabaikan khusyu’. Memang
Allah menjamin khusyu’ itu ada di tengah atau di akhir malam (QS. al-Muzzammil
: 20). Tetapi shalat dalam waktu yang lainpun dikehendaki khusyu’ sehingga
tidaklah kita berdalih menguta-makan kebersamaan dari pada khusyu’ sebagaimana
kasus diatas.
Kemudian, hal yang perlu diperhatikan
adalah imam dan makmum. Ada keluhan dari jama’ah bahwa ada jama’ah yang shalat
berjama’ah semaunya dia, ketika ruku’, sujud dll tidak memperhatikan
(mendengarkan) aba-aba imam sehingga kadang mendahului imam dan kadang sangat
lambat beralih dari satu rukun ke rukun yang lain sehingga kelihatan jama’ah
menjadi amburadul (tidak tertib). Terhadap masalah ini perlu diperhatikan sabda
Nabi SAW bahwa dijadikan imam itu untuk di ikuti, maka apabila imam bertakbir
bertakbirlah kamu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah kamu, begitu juga sujud
dll. Para imam fiqh sepakat bahwa mengikuti imam adalah wajib bagi makmum dan
dilarang makmum mendahului imam. Terkemudian dari imam boleh tetapi tidak boleh
melampaui satu rukun. Misalnya ada jama’ah yang kelamaan ruku’ sementara iman
sudah beralih ke sujud. Bila imam sudah beralih ke sujud tetapi makmum masih
ruku’, maka cara makmum seperti ini dianggap tidak mengikuti imam karena dia
terlalu berlama-lama dalam ruku’ sehingga imam sudah beralih ke sujud. Makmum boleh
berlama-lama dalam ruku’ tetapi sekadar ketika imam masih I’tidal dan makmum
bisa dihitung mendapatkan I’tidal imam dalam kadar tuma’ninah (tenang) tidak
seperti ayam mematuk makanan. Bila tidak ada tuma’ninah dalam mendapati imam
sudah dianggap tidak tertib mengikuti imam apalagi ketika imam sudah sujud
makmum masih ruku’. Secara fiqh makmum
yang mendahului imam atau terlalu terlambat sampai melebihi satu rukun dianggap
tidak berjama’ah.
Cara berjama’ah yang terlalu cepat
(mendahului imam) atau terlambat sampai melampaui satu rukun akan membuat
jama’ah menjadi amburadul (tidak tertib) dan merugikan diri sendiri. Oleh
karena itu makmum dikehendaki untuk bergerak pada akhir takbir imam di setiap
rukun. Misalnya imam takbiratul ihram “Allahu akbar”. Maka makmum mulai
bergerak diakhir suku kata “bar” sehingga kelihatan tertib. Begitu juga pada
rukun-rukun yang lain. Amat buruk perangai makmum yang mendahului imam itu
sehingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim bahwa Allah akan
merobah wajah makmum yang bangun dari sujud lebih dahulu dari imam, kelak akan
dibangkitkan dengan wajah menyerupai himar. ( Lihat Kitab Riyadus shalihin :
815 ). Hadits Nabi ini secara tekstualnya disebutkan mendahului imam bangun
dari sujud, bukan berarti pada rukun-rukun yang lain kita boleh mendahului
imam. Bisa dimaknai kembali bagaimana Allah murka kepada orang yang tidak
meluruskan dan tidak menyambung shaf diatas, padahal sering kita anggap sebagai
remeh temah, maka bagaimana pula dengan mendahului imam ? Berhati-hatilah wahai
kaum muslimin !... Mari tertib berjama’ah. Wallahu a’lam.
(MIHRAB EDISI : 361/Rabiul Akhir 1434 H/ 8 Pebruari 2013)
0 comments:
Post a Comment