English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, February 8, 2013

SHALAT BERJAMA’AH Yang Amburadul – 2 (Habis)

Pada Jum’at sebelumnya kita telah membahas masalah sebagaimana tercantum dalam judul diatas. Tema yang menjadi garapan kita adalah kekeliruan yang membuat shalat berjama’ah menjadi tidak tertib atau amburadul. Kekeliruan tentang wudhu telah selesai pada jum’at sebelumnya. Maka pembahasan berikut ini berkisar pada Shaf, Imam dan Makmum, juga Masbuk. Sebagaimana dimaklumi bahwa setelah berwudhu maka kita akan masuk ke dalam Masjid. Nah di dalam Masjid kita disunnahkan untuk melaksanakan shalat sunat Tahiyyatul Masjid 2 raka’at. Shalat sunat Tahiyyatul Masjid dikerjakan lebih dahulu dari pada shalat sunat yang lain, misalnya shalat sunat Dhuha, sunat Wudhu, sunat Mutlak dll. Karena shalat Tahiyyatul Masjid lebih afdhal dikerjakan sebelum duduk, sehingga kalau ada yang mengerjakan shalat sunat yang lain lebih dahulu baru shalat Tahiyyatul Masjid berarti kurang afdhal (utama). Lalu shalat Tahiyyatul yang dikerjakan terkadang dikerjakan dengan tanpa mempertimbangkan jama’ah yang lain sehingga terlihat ada yang datang belakangan lalu mengerjakannya pada waktu akan diserukan iqamat sehingga banyak jama’ah yang tertunggu-tunggu dengannya. Kalau terus ditoleransi maka yang datang lebih belakangpun begitu juga, lalu orang yang berikutnya lagi maka waktu shalat wajib terus diulur-ulur. Perlu disadari bahwa dalam berjama’ah harus ada rasa peduli pada yang lain, sehingga kalau yang datang belakangan sebaiknya tunggu saja iqamat dan shalatlah bersama-sama (berjama’ah) pada shalat wajib.
Abd.Razak Muhidin
Setelah itu apabila telah diserukan azan lalu setelah azan itu diseruka lagi iqamat maka berbarislah kita untuk shalat berjama’ah yang disebut dengan Shaf. Perlu diingati bahwa ketika iqamat itu kita berdiri mengatur shaf pada waktu muazin mengucapkan kalimat “Qad qaamatish shalaatu 2x “. Ini didasari dengan sunnah Nabi SAW bahwa Beliau baru berdiri memimpin shalat berjama’ah ketika diserukan kalimat di atas. Nah bagaimana dengan mereka-mereka yang lebih dahulu mengatur shaf sebelum kalimat diatas ? Tidak mengapa tetapi kalau dilihat dari tertibnya, maka akan terkesan seragam apabila semua baru berdiri bersama-sama pada seruan diatas. Barangkali ada hujjah tentang keutamaan shaf pertama sehingga berebut-rebut berdiri lebih dahulu bisa terima, tetapi hendaklah tidak melangkahi pundak-pundak jama’ah yang ada didepan apalagi lewat dihadapan orang yang sedang shalat. Lalu mulailah mengatur shaf dengan tertibnya sebagaimana yang diatur oleh Nabi SAW, yaitu shaf pertama adalah laki-laki dewasa, shaf  ke dua anak-anak dan di belakang anak-anak adalah shafnya anak-anak perempuan, lalu perempuan tua dan di belakang perempuan tua adalah perempuan remaja (gadis).

Aturan shaf seperti ini adalah ketika shalat jama’ah itu hendak dimulai. Sehingga tidaklah kita menjadi kaku ketika mendapati jama’ah yang tidak mengikuti tertib shaf seperti ini. Misalnya shalat jama’ah yang terjadi antara seoraang imam dengan seorang makmum anak-anak lelaki. Tentunya anak lelaki itu berdiri disamping kanan imam. Ini jangan menjadi kaku ketika kita datang sebagai masbuk maka kita hendaklah mengambil posisi di belakang imam sementara anak lelaki itu mundur sejajar dengan orang dewasa yang masbuk tadi. Kita katakan jangan kaku berpatok pada tertib shaf diatas sehingga kita tarik anak itu dan kita yang berposisi disamping kanan imam menggantikan posisi anak lelaki itu. Ada lagi jama’ah yang protes ketika imam menyuruh anak-anak bershaf di belakang orang dewasa, katanya Nabi pernah shalat bersama Abdullah bin Abbas ra (Ibnu Abbas), ketika Ibnu Abbas masih kecil. Peristiwa ini bisa dimaknai bahwa bisa saja Nabi hanya berdua dengan Ibnu Abbas ra sehingga shalat seperti itu. Sedangkan tertib shaf sebagaimana diatur oleh Nabi diatas adalah ketika anggota jama’ahnya komplit, dari orang dewasa lelaki dan seterusnya sampai yang paling belakang remaja perempuan. Demikian juga jangan menjadi kaku bagi perempuan remaja ketika anak-anak perempuan dan orang tua perempuan tidak ada sehingga remaja perempuan tidak mau berjama’ah, tetapi bisa diatur jarak dalam menghindari fitnah. Singkatnya dalam urusan shaf ini hendaklah saling teloransi jangan hanya menang sendiri, karena kita dapatkan riwayat yang berfariasi. (Hasbi Ash-Shiddieqy : 337).

Setelah tertib shaf seperti ini maka yang perlu diperhatikan lagi adalah rapat dan lurusnya shaf. Rapat dan lurusnya shaf adalah salah satu dari kesempurnaan shalat berjama’ah yang kita dilarang oleh Nabi merenggangkan shaf karena syaitan berada ditengah shaf yang renggang itu. Adapun diantara jama’ah yang merapatkan shaf dengan merapatkan jari kelingking kaki ke jama’ah yang lain kami (penulis) belum menemukan referensinya tetapi bila dianalisa sabda Nabi bahwa syaitan berada ditengah shaf yang renggang bisa dimaknai bahwa ketika berdiri berjejer (shaf) maka bagian-bagian dari tubuh kita pasti bersinggungan yaitu bahu, (Hasbi Ash-Shiddieqy : 334), kedua siku-siku kita kanan dan kiri sudah bisa dipastikan sebagai memenuhi kehendak merapatkan shaf itu. Demikian juga dengan meluruskan shaf sangat ditekankan dalam shalat berjama’ah dan ini kelihatannya remeh temeh tetapi bila diperhatikan ternyata sangat berpengaruh dalam shalat berjama’ah. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud dan Abu Umar bahwa siapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memotong (memutuskan shaf) maka Allah akan memotongnya. Dalam  riwayat yang lain disebutkan bahwa pada masa Umar ra kaum muslimin tengah menghadapi sariyah (perang yang dipimpin/ pada masa sahabat).. Ketika itu musuh belum bisa ditaklukkan padahal perang sudah hampir sebulaln berjalan. Lalu Umar ra mengoreksi kembali keadaan kaum muslimin apa penyebabnya. Ternyata kaum muslimin tidak lurus dalam shaf dan tidak bersiwak ketika shalat. Maka Umar ra memerintahkan untuk bersiwak dan beliau sendiri yang meluruskan shaf kaum muslimin dengan pedangnya. Setelah itu kaum muslimin dapat menaklukkan musuh. Peristiwa ini bisa menjadi bahan renungan bagaimana seharusnya kita dalam shalat berjama’ah.

Yang berikut tentang masbuk yaitu orang (jama’ah) yang datang terlambat mengikuti imam. Dalam pada ini bisa dipastikan bahwa kapan jama’ah tersebut terhitung mendapatkan satu raka’at dan tidak mendapatkan raka’at itu. Bagi jama’ah yang datang dan mendapati imam sedang ruku’ maka dia terhitung mendapatkan satu rakat. Dia tidak perlu mengulang lagi. Tetapi bagi jama’ah yang mendapati imam sedang I’tidal maka dia sudah tidak dihitung mendapatkan rakaat itu, sehingga dia (jama’ah) yang terlambat itu hendaklah mengulangi lagi raka’at yang tertinggal itu. Lalu disana-sini masih saja kelihatan cara masuk masbuk yang keliru. Ada jama’ah yang masuk ketika dua orang sedang berjama’ah (imam dan makmum). Maka jama’ah yang baru datang itu hendaklah mengambil posisi di belakang imam. Sedangkan makmum yang shalat bersama imam tadi hendaklah mundur mengambil posisi sejajar dengan makmum yang baru datang itu. Tetapi lantaran tidak mengerti sehingga jama’ah yang baru datang itu bukan berdiri di belakang imam, malah berdiri disamping kanan makmum. Akhirnya yang datang belakangan juga seperti itu dan shaf menjadi tidak seimbang bahkan lucu. Imam hanya berdiri sendiri di kiri sementara makmum berjejer memanjang ke kanan semua. Ada lagi yang datang masbuk begitu melihat satu jama’ah ada di sebelah kanan imam,  dia malah  berdiri disebelah kiri imam. Maka berjejerlah shaf ke kiri sepanjang-panjangnya dan berjejerlah ke kanan juga sepanjang-panjangnya mengikuti posisi dua makmum tadi. Ada lagi yang masbuk mengambil posisi di belakang imam tetapi makmum yang pertama tadi tidak mau mundur-mundur sampai selesai shalat, sehingga terlihat ada makmum yang rapat ke imam dan ada makmum yang berdiri sendiri di belakang. Semua ini menunjukkan kekeliruan umat Islam bahkan karena kurang paham tentang tata cara shalat berjamaah.

Bahkan kurang mengerti atau keliru ini juga terjadi pada jama’ah yang membawa anak kecil masuk Masjid mengikuti shalat berjama’ah. Dari awal memang dikawal anak kecil itu oleh orang tuanya, tetapi lama-lama anak itu tidak tahan diam ditempat dan  berkelana lah ia kemana-mana. Hal ini menganggu kekhusyu’an orang berjama’ah. Maka setelah selesai shalat ada jama’ah yang ngomel pada orang tua dari anak itu, sementara orang tua dari anak itu tidak terima. Hampir saja Masjid menjadi arena (ring) tinju karena masing-masing pihak tidak bisa menahan diri. Yang ngomel berdalih mengganggu orang shalat dan tidak khusyu,’ semantara yang empunya anak juga berdalih “Yah namanya juga anak-anak biasalah... kalau kamu mau khusyu’ carilah diakhir malam saja, karena berjama’ah di Masjid lebih ditekankan untuk kebersamaan”. Padahal kalau dibedah, permasalahannya menjadi mudah bila memahami aturan berjama’ah, berikut memahami cara amaliyah dari masing-masing mazhab. Mengapa tidak saja orang yang mempunyai anak mencari posisi yang lebih aman yaitu jauh dibelakang jama’ah yang lain sehingga tidak mengganggu jama’ah dan dia bisa mengawal anaknya ? Terkadang kita ingin mendapatkan yang afdhal untuk diri kita sedangkan orang lain terganggu. Kasus seperti  juga perlu saling peduli. Berikut bahwa shalat berjama’ah memang ditekankan untuk memupuk kebersamaan, tetapi tidak mengabaikan khusyu’. Memang Allah menjamin khusyu’ itu ada di tengah atau di akhir malam (QS. al-Muzzammil : 20). Tetapi shalat dalam waktu yang lainpun dikehendaki khusyu’ sehingga tidaklah kita berdalih menguta-makan kebersamaan dari pada khusyu’ sebagaimana kasus diatas.    

Kemudian, hal yang perlu diperhatikan adalah imam dan makmum. Ada keluhan dari jama’ah bahwa ada jama’ah yang shalat berjama’ah semaunya dia, ketika ruku’, sujud dll tidak memperhatikan (mendengarkan) aba-aba imam sehingga kadang mendahului imam dan kadang sangat lambat beralih dari satu rukun ke rukun yang lain sehingga kelihatan jama’ah menjadi amburadul (tidak tertib). Terhadap masalah ini perlu diperhatikan sabda Nabi SAW bahwa dijadikan imam itu untuk di ikuti, maka apabila imam bertakbir bertakbirlah kamu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah kamu, begitu juga sujud dll. Para imam fiqh sepakat bahwa mengikuti imam adalah wajib bagi makmum dan dilarang makmum mendahului imam. Terkemudian dari imam boleh tetapi tidak boleh melampaui satu rukun. Misalnya ada jama’ah yang kelamaan ruku’ sementara iman sudah beralih ke sujud. Bila imam sudah beralih ke sujud tetapi makmum masih ruku’, maka cara makmum seperti ini dianggap tidak mengikuti imam karena dia terlalu berlama-lama dalam ruku’ sehingga imam sudah beralih ke sujud. Makmum boleh berlama-lama dalam ruku’ tetapi sekadar ketika imam masih I’tidal dan makmum bisa dihitung mendapatkan I’tidal imam dalam kadar tuma’ninah (tenang) tidak seperti ayam mematuk makanan. Bila tidak ada tuma’ninah dalam mendapati imam sudah dianggap tidak tertib mengikuti imam apalagi ketika imam sudah sujud makmum  masih ruku’. Secara fiqh makmum yang mendahului imam atau terlalu terlambat sampai melebihi satu rukun dianggap tidak berjama’ah.

Cara berjama’ah yang terlalu cepat (mendahului imam) atau terlambat sampai melampaui satu rukun akan membuat jama’ah menjadi amburadul (tidak tertib) dan merugikan diri sendiri. Oleh karena itu makmum dikehendaki untuk bergerak pada akhir takbir imam di setiap rukun. Misalnya imam takbiratul ihram “Allahu akbar”. Maka makmum mulai bergerak diakhir suku kata “bar” sehingga kelihatan tertib. Begitu juga pada rukun-rukun yang lain. Amat buruk perangai makmum yang mendahului imam itu sehingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim bahwa Allah akan merobah wajah makmum yang bangun dari sujud lebih dahulu dari imam, kelak akan dibangkitkan dengan wajah menyerupai himar. ( Lihat Kitab Riyadus shalihin : 815 ). Hadits Nabi ini secara tekstualnya disebutkan mendahului imam bangun dari sujud, bukan berarti pada rukun-rukun yang lain kita boleh mendahului imam. Bisa dimaknai kembali bagaimana Allah murka kepada orang yang tidak meluruskan dan tidak menyambung shaf diatas, padahal sering kita anggap sebagai remeh temah, maka bagaimana pula dengan mendahului imam ? Berhati-hatilah wahai kaum muslimin !... Mari tertib berjama’ah. Wallahu a’lam.
(MIHRAB EDISI : 361/Rabiul Akhir 1434 H/ 8 Pebruari 2013)

0 comments:

Post a Comment