English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, February 22, 2013

TAUHID Dalam Berbagai Dimensi – 2

Oleh : Abd. Razak Muhidin

Pembahasan pada Jum’at lalu dapat disambung pada MIHRAB kali ini dengan judul yang sama, bahwa demikianlah sejarah ketuhanan yang pernah hadir pada bangsa manusia. Ada yang menjadikan sungai sebagai tuhan, ada yang menjadikan batu besar, pohon besar, hewan, gunung, matahari, bahkan manusia juga ada yang mengangkat dirinya menjadi tuhan atau diangkat oleh orang-orang menjadi tuhan. Para teolog lalu membagi kepercayaan manusia pada Tuhan sebagaimana tersebut diatas dalam kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Nah… sebagaimana kisah ketuhanan pada Jum’at yang lalu bahwa ketika orang-orang yang menjadikan hewan tertentu menjadi tuhan itu mencari tuhannya yang hilang itu mendaki gunung, menuruni lembah, mengharungi lautan, sampailah mereka di suatu tempat mereka mendapati orang-orang di tempat itu menjadikan hewan yang dipertuhankan oleh mereka sebagai hidangan istimewa. Menyaksikan kejadian itu mereka amat tersinggung mengapa tuhan mereka dijadikan santapan istimewa. Sementara orang-orang di tempat itu tidak tahu bahwa hewan itu adalah tuhan bagi orang-orang di wilayah sebelahnya. Hampir terjadi keributan besar bahkan perangpun bisa terjadi, tetapi kepala suku dari kedua belah pihak dapat menenangkan kelompoknya masing-masing sehingga bahaya peperangan dapat diatasi. Kisah ini dapat difahami bahwa demikianlah jaminan Allah dalam firman-Nya bahwa kalau saja di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah maka dunia akan hancur. Hal ini bisa dibuktikan dengan dua kelompok manusia yang bisa saling bunuh membunuh karena berbeda keyakinan. Yang satu menghormati benda tertentu sebagai tuhan tetapi yang lain justru dijadikan santapan, orang-orang disebelah sini mengagungkan objek tertentu tetapi bagi orang-orang disebelah sana menganggap tidak ada apa-apanya.

Pada zaman primitif, orang bertuhan kepada matahari, lalu mataharipun disanjung dipuja dan disembah. Alangkah gembiranya orang-orang yang bertuhankan matahari itu apabila melihat tuhannya muncul dari balik lautan, atau dicelah gunung, begitu juga ketika akan terbenam dengan meninggalkan rona yang indah disenja hari. Pemandangan yang indah itu lalu dituangkan dalam syair lagu, menjadi dendangan wajib dialtar persembahan sebagai menghormati tuhan yang bernama matahari itu. Sanjungan dan pujaan demikian tinggi kepada matahari demikian itu dibalut dengan dalih bahwa memang matahari berada ditempat yang teramat tinggi tidak siapapun yang bisa mencapainya untuk menodai kesuciannya, maka layaklah matahari itu sebagai Tuhan, dan dalil-dalil lain untuk mempertuhankan matahari itu masih banyak lagi. Dalil seperti ini tentu berbeda dengan tuhan-tuhan yang diambil dari benda-benda yang dapat dijangkau, maka matahari diakui sebagai tuhan yang terbaik.

Dalil yang memperkuat hujjah ketuhanan matahari diatas bila dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim as mencari tuhan tentu lemah adanya sehingga Ibrahim as meninggalkan tuhan matahari itu, tetapi tidak bisa dipungkiri ketika manusia masih berada dalam lingkup kehidupan yang primitive dengan segala keterbatasannya, maka mataari diakui sebagai tuhan terbaik. Namun ketika manusia semakin didewasakan oleh kedigdayaan akalnya sehingga terhasillah ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi yang memper- mudah segala urusannya, maka tuhan matahari yang dihujjahkan sebagai tidak ternoda kesuciannya sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Teknologi telah membawa tuhan matahari yang jauh itu semakin dekat, pada lensa kamera, pada surat kabar dll. Maka termuatlah berita tentang tuhan matahari di koran-koran, pada gambar fotografi dan semua orang menyaksikannya. Tetapi begitulah nasibnya tuhan yang sama dengan makhluk, ketika koran-koran itu telah habis dibaca lalu buang, maka tuhanpun terbuang, setelah tuhan terbuang, lalu dipijak oleh orang yang lalu lalang disana, maka tuhanpun dipijak-pijak. Semua ini tentu kacau.

Allah SWT pasti telah mengetahui nasib tuhan-tuhan yang demikian itu, sehingga DIA telah berfirman bahwa zat-Nya tidak sama dengan semua makhluk, karena bila Allah itu zat-Nya sama dengan makhluk maka akan mengalami nasib sebagaimana tuhan-tuhan yang tersebut diatas, bukan lagi menjadi mulia tetapi malah menjadi hina dina. Permasalahannya sekarang tuhan dalam keyakinan orang beriman (Allah) yang tidak sama dengan semua makhluk, maka Allah itu seperti apa? Jawabannya Allah tidak seperti apapun jua. Allah tidak seperti matahari, tidak seperti bulan, bintang, gunung, sungai dan sebagainya. Pertanyaan selanjutnya kalau Allah dalam zat-Nya tidak seperti semua makhluk maka untuk menetapkan bahwa Allah itu ada seperti apa? Sebab kalau Allah tidak bisa dipastikan seperti apa-apa, maka Allah itu seperti hayalan?

Untuk pertanyaan seperti ini perlu diwanti-wanti bahwa jangan sampai kita melanggar batas yang telah di patok oleh Nabi SAW, bahwa “Berpikirlah tentang segala yang diciptakan oleh Allah tetapi jaganlan berpikir tentang zatnya Allah karena kamu tidak akan bisa menjangkau- Nya”. Nah dari sini bisa dijawab pertanyaan diatas bahwa untuk memastikan adanya Allah, kembalikan pada firman Allah bahwa DIA (Allah) itu ada bisa dibuktikan dengan adanya alam semesta ini. Yang kedua, bahwa Allah itu bisa terlintas dalam hayalan yang berpangkal dari keyakinan yang teguh bahwa Allah itu ada, tetapi adanya Allah itu tidak bisa dipastikan di tempat ini atau di tempat itu, dan jua tidak boleh dihayalkan bahwa Allah seperti ini dan seperti itu. Para ahli ilmu Tauhid merumuskan keyakinan seperti ini disebut Nafi dan Isbat. Nafi ialah meniadakan segala yang ada di alam semesta ini dan meyakini bahwa dibalik dari semuanya itu ada Allah. Sedangkan Isbat ialah memandang adanya segala yang ada di alam semesta ini bahwa semua itu tidak seperti Allah.

Secara sederhana bisa dicontohkan sebagai berikut : Ketika seorang memandang lautan, karena demikian seriusnya dia memandang lautan itu, lalu timbul keyakinannya bahwa dibalik dari lautan yang nyata itu ada zat yang menciptakannya, itulah Allah. Cara seperti ini disebut Isbat. Lalu suatu saat dia memandang lautan, begitu seriusnya dia sehingga dia membayangkan bahwa Allah itu seperti lautan, tetapi dia segera menafikan “Tidak …. Allah bukan seperti lautan seperti yang kubayangkan … tetapi dibalik dari lautan ini ada Allah”. Cara seperti ini disebut Nafi. Orang beriman tidak akan bertuhan kepada makhluk, sebab pada makhluk itu banyak kelemahannya. Orang beriman akan memandang alam semesta ini bahwa dibalik dari alam semesta ini ada yang menciptakannya, itulah Allah. Orang beriman akan meniadakan segala yang ada di alam semesta ini, tetapi dibalik dari yang tiada itu, Allah ada sana. Orang beriman juga tidak akan mempersamakan Allah seperti makhluk-Nya. Wallahu a’lam. @...raz*.

0 comments:

Post a Comment