English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

AKIBAT POLITIK UANG


 Abd. Razak Muhidin

Setelah melewati pemilihan umum Legislatif yang untuk sementara sudah diketahui siapa-siapa sajakah yang duduk di kursi DPRD Batam (Batam Pos, Rabu/30/04/2014). Demikian juga menurut perhitungan cepat yang telah kita ketahui bersama, sudah dipastikan partai-partai yang unggul yang akan menjadi lokomotif percaturan dalam pemilihan Presiden (Pilpres 2014), berikut partai-partai yang menjadi koalisinya. Judul sebagaimana tercantum diatas kiranya menjadi bahan perenungan bersama bagi kita, menjadi bahan kajian kita, bahkan sekurang-kurangnya menjadi penghibur bagi kita sekalian, bahwa sudah menjadi memori umum ketika system pemilu terbuka diterapkan maka tidak dinafikan disana ada-ada saja permainan yang mengarah pada UUD (Ujung-ujungnya Duit). Permasalahan ini telah kita singgung pada MIHRAB edisi sebelumnya dengan menyisipkan beberapa harian di tanah air yang mengungkapkan tentang politik uang, maka pada edisi ini tendensi pembahasan kita lebih menjurus pada efek atau akibat yang terjadi dari praktek politik uang itu.

Ada segelintir orang yang tidak khawatir dengan fenomena politik uang ini, bahkan berdalih bahwa politik uang pada alam demokrasi (pelihan terbuka) ini wajar saja, sebab kalau tidak begitu semua tidak akan berjalan karena masing-masing sudah punya posisi, berikut kesibukannya sendiri-sendiri, sementara kalau yang satu saja yang mau diselesaikan urusannya, maka yang lain justru kehilangan urusan. Agar semuanya bisa berjalan yah…harus TST (Tau sama Tau) yang Ujung-ujungnya UUD (Ujung-Ujungnya Diut. Sepintas mendengar ada benarnya juga, bahwa kalau hanya kepentingannya Caleg yang diurus, maka urusan yang lain termasuk urusan pribadi terbengkalai. Jadi kompensasinya harus UUD itu sehingga Caleg dan pendukung ada belensnya. Kalau ini yang dijadikan dalih bukan sebagai politik uang niscaya bisa diterima, karena masih berada dalam tataran procedural, berikut sosialisasi, inventarisasi dll semua itu memerlukan biaya. Tetapi apabila dalam pencoblosan pun harus ada TST-nya itu yang menjadi masalah. Saudara coblos partai ini, atau coblos Caleg nomor ini saudara akan diganjari dengan uang Rp. 100.000 atau sesuatu yang bisa dikomersilkan, inilah yang menjadi masalah dan inilah tendensi dari tulisan kita.

Sungguh sangat ironis apabila memilih seseorang yang bakal menjadi pemimpin masyarakat (wakil rakyat dll), dengan iming-iming seperti itu. Semuanya juga telah kita paparkan pada edisi-edisi sebelumnya yang kita sebut bahwa cara pemilihan kita tidak obahnya dengan permen yang diberikan kepada anak-anak. Artinya cara seperti itu menunjukkan bahwa cara pemilihan kita masih anak-anak, maka pemimpin yang terpilih juga akan menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Apakah itu?. Yah tidak lain karena cara atau metodenya adalah metode permen, maka ketika menjadi pemimpin juga pemimpin permen. Dia sudah menghabiskan banyak permen maka ketika naik dia berusaha untuk mendapatkan permen itu kembali bahkan permen yang lebih banyak lagi. Dari sinilah yang kita sebut pemilih permen dan pemimpin permen.

Sementara cara atau metode permen itu identik dengan bujuk rayu kepada anak-anak, maka yang dipilih juga akan menunjukkan sikap anak-anak yaitu mencari permen kalau sudah duduk diatas. Ada pemimpin kita yang pernah menyuarakan ada lembaga-lembaga tertentu seperti Taman Kanak-Kanak, barangkali menjadi renungan kita bersama, bahkan bukan hanya pada lembaga, toh dalam masyarakat pun taman kanak-kanak juga sudah ada. Apa itu?. Yah…seperti dalam paparan diatas.

Masyarakat yang cendrung pada politik uang, seharusnya lebih didewasakan oleh situasi bahwa kita telah digoncangkan dengan krisis kepercayaan yang menimpah bangsa kita, krisis kejujuran dan keadilan yang semua itu menjadi alat cambuk kepada siapa saja yang maju menjadi calon pemimpin. Sekurang-kurangnya para calon hendaklah diuji sejauh mana komitmennya pada masyarakat, pada bangsa dan Negara. Dan lebih perlu lagi hendaklah ada komitmen dalam urusannya dengan Tuhan (agama). Untuk tujuan seperti ini barangkali para calon hendaklah dibuat semacam kontrak politik, bahwa kami warga masyarakat (pemilih) tidak ingin diberi ini dan itu tetapi apabila ada calon yang berhasil nanti hendaklah, tidak membuat onar bagi masyarakat, bangsa dan Negara ini, seperti korupsi dll. selanjutnya calon yang selama ini lalai dalam urusan atau dalam hubungannya dengan Tuahn hendaklah dipress lebih kuat lagi agar lebih menunjukkan perubahan diri dalam ketaatan. Begitu juga calon yang selama ini selalu terlibat dalam mabuk, selalu datang ke diskotik, hendaklah dipress juga agar meninggalkan tabiat buruk seperti itu. Dan komitmen seperti itu sudah bisa dimulai sejak proses sosialisasi sampai terpilih nanti juga hendaklah menunjukkan komitmen yang taat. Dengan demikian masyarakat yang tadinya adalah pemegang kedaulatan terasa ada powernya dimata calon. Tetapi apabila sebaliknya, maka telah kita sebutkan diatas, semuanya permen-permenan namanya.

Dalam sudut pandang yang lain politik uang juga membuat masyarakat hilang kemandirian dan harga diri. Masyarakat yang sudah cendrung pada politik uang, hanya bergantung pada jagoannya yang lolos bahwa mereka pasti akan mendapatkan imbuhan dari jagoannya itu. Kalau ada proyek tolong kasi tau kami pak atau permintaan-permintaan yang senada dengan itu. Dari sini hilangnya harga diri karena uang, padahal semua harga itu murah bila dibandingkan dengan harga diri, sehingga ditanyakan orang “Manakah harga yang paling mahal”?. Sibuk orang menjawab ini dan itu semuanya tidak kena, lalu disebutkan bahwa harga yang paling mahal adalah harga diri. Bila sudah hilang harga diri maka yang lain tidak ada gunanya lagi, karena yang paling mahal saja sudah tergadai. Maka demikianlah juga kalau pemimpin yang diangkat juga sudah hilang harga diri maka nahaslah bangsa dan negaranya. Konon dalam hubungan internasional memang demikian yang terjadi kalau pemimpin juga sudah hilang harga diri maka bangsa dan negaranya juga akan dijualnya untuk kepentingan naik keatas. Dalam kaitan ini tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja seorang pemimpin menjual bangsa dan negaranya, dimana pihak asing yang menyediakan permen untuk kepentingan permen-permenan di negerinya sudah memegang kendali, bahwa bila sukses naik keatas hendaklah melaksanakan ini dan itu. Bila pemimpin sudah begitu maka nahaslah bangsa dan negaranya. Pemimpin seperti itu juga sering disebut dengan boneka, artinya bisa dipermain-mainkan oleh pihak lain.

Corak dan gaya politik uang juga akan bermuara pada kecendrungan politk Robinhood yaitu politik yang diselenggarakan untuk memenangkan kaum borjuis (golongan berada), sedangkan golongan proletar (rakyat jelata) tidak obahnya dengan budak belian. Bila tidak diantisipasi dari sekarang maka sangat boleh jadi ada perbudakan politk dan politik perbudakan di abad modern ini. Masyarakat menjadi hilang hak-hak politiknya karena yang berkuasa golongan berada, masyarakat hanya punya satu pilihan yaitu dibayar dan pilih sesuai dengan perjanjian. Politik uang juga akan menyeret masyarakat tidak selektif pada gagasan dan ideologi dari sebuah partai. Katakanlah partai yang berhaluan sekuler dengan partai yang berhaluan Islam, masing-masing mempunyai sasaran tujuan yang hendak dicapai. Partai sekuler tentu berusaha menjauhi pelaksanaan syari’at Islam secara utuh (Kaffah), sementara partai Islam bercita-cita menegakkan syari’at Islam. Walaupun cita-cita menegakkan syari’at Islam itu lebih prinsipil tetapi karena tidak ada uang, maka yang dipilih adalah partai sekuler yang memberikan uang. Bila ditinjau dari sudut pandang Islam mengabaikan partai politik yang berazas Islam termasuk jenis kufur yaitu kufur dalam bidang politk (QS.5/al-Maidah : 44). Dari sudut pandang Islam juga Politik uang sangat dicegah oleh Islam, pelakunya akan dihukum di neraka. “Penyuap dan yang disuap kedua-duanya di dalam neraka“, demikian menurut sabda Nabi saw. Dalam sabda yang lain “Allah tidak akan memandang seorang hamba di akhirat yang memilih pemimpin karena pamrih pada duniawi”. Demikian… wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment