English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

POLITIK UANG MEMANG KEHENDAK SISTEM

Oleh : Abd. Razak Muhidin


Sejak Pemilu tahun 2004 telah bermulanya sistem Pemilu langsung dalam era Reformasi, dimana peserta pemilu langsung memilih wakil-wakil rakyat dalam legislatif DPR RI, DPRD 1, DPRD 2, dan DPD. Demikian juga dengan pemilihan presiden yang tidak serentak dengan pemilihan legislatif tetapi caranya juga sama yaitu pemilihan langsung. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, sehingga sejak Pemilu 2004 itu semua merasa ada nuansa baru, bahwa Pemilu-pemilu sebelumnya peserta pemilih seperti membeli kucing dalam karung sehingga tidak diketahui hal ihwalnya orang yang bakal menjadi wakil mereka di legislatif, apalagi masyarakat yang selama ini dibiasakan dengan cara kepemimpinan ORBA (Pemerintahan alm. Suharto) dengan gaya Pemilihan Umum tendensius, semakin memberikan daya tarik Pemilu terbuka pada tahun 2004.

Selanjutnya pada Pemilu 2009 masih dengan cara yang sama yaitu Pemilu terbuka, tetapi masyarakat dan Caleg sudah mengevaluasi jalannya Pemilu 2004, sehingga walaupun caranya sama tetapi trik-trik baru mulai dipakai dalam Pemilu 2009. Kalau Pemilu 2004 masyarakat dan Caleg masih baru diperkenalkan sistem terbuka, tetapi Pemilu 2009 sudah ada pengalaman dari dua kutub yang saling tarik menarik yaitu antara Caleg dan masyarakat pemilih. Pemilih mulai mengatur cara bagaimana mendapatkan sesuatu dari Caleg apakah berupa bantuan fasum, busana persatuan, uang saku atau sesuatu yang bernilai komersil. Tidak ketinggalan juga Caleg, kalau masyarakat pemilih tidak terpikir sampai kesitu maka para Caleg justru memulai trik yang boleh kita katakan “Membuang umpan menangkap udang di kali”. Maka urusan antara Caleg dan masyarakat pemilihpun mulai melahirkan masyarakat pemilih yang baru yaitu Golput (Golongan Pemungut Uang Tunai) yaitu tim sukses yang selalu mondar mandir ke hulu ke hilir untuk meng”gol”kan jagoannya yang harus mengerti akan Golput. Bukan Golput dalam arti Glongan Putih yang tidak mau ikut memilih tetapi golput sebagaimana tertera diatas. Maka dari Pemilu 2009 ini sudah semakin nyata urusan yang berhubungan dengan uang itu.

Berlanjut lagi pada Pemilu 2014 yang baru kita lewati fase pertama yaitu fase Pemilu Legislatif juga tidak obahnya trik-trik yang dijalankan pada 2009. Masyarakat pemilih semakin jual mahal ketika melihat banyak Caleg yang apabila telah duduk di dewan lupa daratan, cuek atau buang muka apabila bertemu, apalagi banyak kasus yang melibatkan para anggota dewan yang terlibat korupsi dll. Maka trik jual mahalpun mulai dipakai oleh masyarakat “Ah…sekarang TST (Tau Sama Tau) ajalah, besok-besok mereka naik diatas mereka tidak hiraukan kita, maka sekarang saja aturan mainnya dijalankan”. Demikian diantara lentingan suara yang kita dengar dari masyarakat pemilih. Semakin anggota dewan tersandung kasus, semakin membuat masyarakat tawar hati dan untuk penawar hati mereka itu semakin tinggi pula nilai jualnya bagi seorang Caleg yang berhubungan dengan mereka. Maka jangankan sampai pada urusan pilih memilih, dalam soal menjadi peserta pemilih saja sudah harus digerakkan oleh Caleg atau orang-orang yang bakal menjadi Caleg didaerah pemilihannya. Agar jangan sampai di daerah tersebut tidak ada DPT nya, maka dari sini sudah dikonsentraikan agar DPT nya harus ada, lalu urusan tersebut sudah dimulai dari bahasa TST. (Tau Sama Tau). Dan siapa diantara Caleg yang lebih tinggi TST nya atau dia yang mau unggul di daerah pemilihan tersebut juga sudah harus pasang kaki dari jauh-jauh hari. (Simak KOMPAS, 15/04/’14 dan REPUBLIKA, 17/04/’14).

Bayangkan saja dalam urusan pendaftaran pemilih saja sudah ada hukum TST maka bagaimana lagi dengan yang lain? Padahal urusan pendaftaran Pemilu itu sendiri sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih) yang mereka itu dibiayai oleh Negara agar urusan tersebut tidak menjadi masalah besar dikemudian hari. Bahkan urusan yang demikian penting itu perlu diatur UU yang tegas bahwa kalau mereka menyalahgunakan tanggung jawab tersebut akan dikenai sanksi hukuman yang berat. Sebab kalalaian dari segi ini akan menimbulkan caos dalam masyarakat bahkan Negara. Tetapi demikianlah hukum TST juga bisa saja berlaku pada Pantarlih, sehingga ada peserta Pemilu siluman, peserta bokingan dll, dan kalau ini bukan salahnya Pantarlih, maka sudah tentu ada oknum yang bergerak disana, dan untuk tujuan itu pasti ada hukum TSTnya. Singkat kata segala permainan, TST dll, semuanya ada UUD (Ujung-ujungnya Duit), mulai dari pembagian kartu Caleg, tempel menempel poster, pertemuan Caleg dengan masyarakat pemilih, sampai coblos harus ada TST nya dooong !...

Naudzubillah… Fenomena seperti ini kalau dicermati dengan saksama bagaimanakah proses Pemilihan Umum kita selanjutnya ?. Akankah Pemilihan Umum kita hendaknya mencapai klimaksnya sebagai sebuah perwujudan kehendak murni masyarakat, yang dari sana potret masyarakat itu akan terpantul kembali bahwa mereka adalah masyarakat yang tinggi nilai peradaban, masyarakat yang kewibawaan-nya tidak bisa dikangkangi oleh amis dan busuknya pengaruh duniawi?. Sebab kita semua sadar bahwa masyarakat yang baik itu tercermin dari pemerintahan yang baik sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri, tetapi bagaimanakah pola dan cara memelih wakil dan pemerintahan dengan cara yang busuk pula? Tentu busuklah yang bakal akan terjadi. Lalu Pemilu yang tendensius pada jual beli suara atau politik uang, apakah ia menjadi parameter kesuksesan Pemilu berikut menjadi parameter nilai yang selektif?. Padahal kita sadari bahwa sebab politik uang itu justru akan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan kita apalagi agama sudah tentu sangat bercanggah sekali.

Bayangkan orang yang rusak moralnya menurut agama tetapi dia mempunyai kekuatan finasial lalu urusan pelih memilih dengan uang itu justru, maka mudahlah baginya naik ke atas, sementara orang yang dalam pandangan agama dia adalah orang yang baik moralnya tetapi tidak ada dukungan financial, maka dengan sendirinya dia akan tergusur. Lalu karena kecendrungan yang demikian itu telah membudaya sehingga yang naik ke atas kenyataannya adalah orang-orang yang latar belakangnya adalah orang-orang bejat. Tentu nahaslah masyarakat dan bangsa. Kita tidak akan bersatu selama masih dalam paradigma yang berbeda tentang criteria yang datang dari manusia, tetapi sangat boleh jadi kita akan bersatu kalau ada zat yang lebih dari kita yang menentukan criteria itu. Maka untuk urusan politik sendiri sudah ada criteria yang ditetapkan oleh Tuhan (Allah), lalu Tuahan mengatakan bahwa urusan politik hendaklah terjauh dari praktek-praktek curang seperti itu, tetapi apabila kita tidak berpegang dengannya maka tunggulah kehancuran itu.

Pada sisi lain hadirnya permasalahan juga bisa memberikan pengalaman dan kesadaran bahwa apakah tendensi politik uang itu murni dari masyarakat ataukah sistem yang dibangun praktis menjadi penyebabnya? Secara manusiawi semua orang menghendaki keamanan, keadilan, kejujuran, kebajikan, kesentosaan, dan kesejahteraan tidak suka pada hal-hal yang merusak dan merugikan, maka apabila hal-hal yang merusak dan merugikan masih dianut oleh masyarakat itu bisa dipastikan karena sistem yang tidak becus. Sekarang orang terpengalaman dengan zaman Orde Baru yang sepi dari semua ini atau frekwensinya lebih kecil, hal ini bisa dikatakan karena sistem yang berjalan pada waktu itu. Dan kalau ada yang masih berdalih bahwa zaman Orde Barupun banyak kebobrokannya, maka sistem ORBA pun tidak becus. Kalau begitu dimanakah sistem yang paling baik ?. Sebagai muslim penulis menjawab bahwa sistem yang terbaik adalah sistem Islam. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment