English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM


 Abd. Razak Muhidin

D emokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demo dan kratio”. Demo diartikan dengan pemerintahan sedangkan kratio diartikan dengan rakyat. Jadi demokrasi artinya pemerintahan rakyat. Maksudnya pemerintahan yang mendapat mandate dari rakyat atau pemerintahan yang dipilih oleh rakyat atau bisa juga pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat. Sesuai dengan makna yang demikian maka sebuah pemerintahan yang dipilih atau dimandat oleh rakyat hendaklah melaksanakan segala yang diamanatkan atau segala yang dikehendaki oleh rakyat. Apabila pemerintahan tersebut tidak menjalankan kehendak rakyat maka rakyat akan menurunkan pemerintahan tersebut. Dari sini juga bisa dimaknai bahwa demokrasi meletakkan kedaulatan ditangan rakyat. Berbeda dengan rumusan Islam bahwa kedaulatan adalah milik Allah, sedangkan pemerintah adalah orang-orang yang menjalankan kedaulatan Allah dan rakyat adalah pengawas dari pemerintahan tersebut.

MIHRAB kita pada kesempatan ini ingin mencari titik temu antara demokrasi menurut acuan Barat dan Islam. Walaupun perbedaan diantara keduanya sangat prinsipil tetapi ada sedikit kesamaan diantara keduanya. Dari sedikit itulah kita ingin melihatnya dari sudut pandang Islam tentang demokrasi itu. Perlu diketahui bersama bahwa dalam demokrasi menurut acuan Barat, bahwa kedaulatan ditangan rakyat maka segala ihwal kepemerintahan bergantung pada kehendak rakyat. Apakah dalam hal-hal yang berhubungan dengan politik, ekonomi, pertahanan keamanan dll. Bahkan dalam hukum perundangan juga ada ditangan rakyat. Wakil-wakil rakyatlah yang menggubah UU. Sementara dalam pandangan Islam kedaulatan adalah milik Allah, maka dalam segala hal ihwal kepemerintahan hendaklah merujuk pada kehendak Allah dan Rasul-Nya. Apakah dalam masalah politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, HANKAM dll, semuanya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Permasalahannya sekarang ada diantara ummat Islam yang menolak demokrasi karena perbedaan yang prinsipil dengan tatanan Islam. Sementara ada diantara ummat Islam yang berdalih bahwa demokrasi bisa dianut oleh ummat Islam dengan catatan hal-hal yang bercanggah dengan ajaran Islam hendaklah ditiadakan, dan hendaklah dibangun sebuah demokrasi yang bersesuaian dengan prinsip Islam. Karena menurut mereka walaupun banyak perbedaan dengan Islam tetapi ada sedikit persamaan demokrasi dengan Islam. Misalnya demokrasi menghendaki pemilihan orang-orang yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Ternyata dalam Islam juga telah diwajibkan untuk memilih pemimpin, bahwa tidak halal bagi tiga orang yang bepergian melainkan mengangkat salah seorangnya menjadi pemimpin, demikian menurut sabda Nabi. Oleh karena itu diantara ummat Islam menghendaki demokrasi hendaklah dipolakan menurut ajaran Islam, sedangkan hal-hal yang bercanggah hendaklah dieliminir. Maka Islam mampu mengatur demokrasi bukan demokrasi yang mengatur Islam, demikian analogi yang cukup filosofis. Nah untuk kehendak demokrasi Islam inilah tulisan kita pada kesempatan ini diarahkan, walaupun belum menjawab keseluruhan permasalahan demokrasi itu.

Bila dipahami bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat maka apabila dikaitkan dengan Islam lalu disebut demokrasi Islam hal tersebut tidak menjadi masalah, bahkan akan mengerucut pada perkara esensial dari tujuan politik dalam Islam. Mari terlebih dahulu kita bahas tentang Islam. Dalam Alqur’an dan hadits Islam diartikan dalam tiga pengertian yang terambil dari kata aslama, yuslimu, islaaman, yang selanjutnya menjadi muslimun. Kata tersebut mengandung arti tunduk patuh, taat setia, berserah diri kepada Allah. (QS. 3/ Ali Imran : 83). Yang kedua Islam juga berarti selamat, menyelamatkan, keselamatan. (QS. 25/ al-Furqan : 63). Dan yang ketiga Islam juga bisa berarti rahmat begi alam semesta. (QS. 21/ al-Ambiya’ : 107). Dari tiga pengertian Islam ini bila dikaitkan dengan segala kegiatan dan bidang hidup yang dijalani oleh ummat Islam, maka bidang hidup tersebut hendaklah dijalankan untuk tunduk patuh, taat setia dan berserah diri kepada Allah. Bidang hidup tersebut juga dijalankan hendaklah mengandung selamat, menyelamatkan dan keselamatan. Dan selanjut bidang hidup tersebut juga hendaklah dijalankan dalam misinya sebagai rahmat bagi alam semesta.

Lebih spesifik kalau segala bidang kehidupan itu dikaitkan dengan Islam, misalnya eknomi Islam, maka ekonomi yang dijalankan hendaklah mengacu pada tiga arti Islam diatas, yaitu ekonomi yang tunduk patuh, taat setia, berserah diri kepada Allah. Ekonomi yang dijalankan hendaklah memberikan kesela-matan dan ekonomi yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Nah bagaimana kalau dikaitkan dengan demokrasi, yang disebut dengan demokrasi Islam?. Juga tidak lain demokrasi artinya pemerintahan rakyat, maka pemerintahan rakyat dalam hal ini juga adalah pemerintahan rakyat yang tunduk patuh taat setia, berserah diri kepada Allah, pemerintahan rakyat yang memberikan keselamatan dan pemerintahan rakyat yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Pemerintahan rakyat yang bercirikan demikian juga terorganisir dalam segala strukturalnya. Apakah bagian dari pemerintahan itu sebagai legislatif, yudikatif dan eksekutif semuanya ada nuansa Islam didalamnya dalam rangka tunduk patuh, taat setia, berserah diri kepada Allah secara totaslitasnya.

Dalam urusannya dengan memilih pemimpin walaupun berbeda teknikalnya tetapi bisa diadopsi cara pemilihan menurut acuan demokrasi, tinggal saja procedural dan criteria yang harus dipolakan mengi-kuti cara Islam. Dari sini Islam meletakkan kriteri pemimpin sebagai berikut : a. Orang beriman bukan kafir (selain Islam), QS. 9/ at-Taubah : 23.- b. Luas ilmu dan sehat fisik, QS. 2/ al-Baqarah : 247 c. Kuat dan jujur, QS. 28/ al-Qashash : 26. Begitulah criteria pemimpin menurut Islam yang selama ini tidak ada dalam demokrasi, sehingga sangat praktis menimbulkan kerisauan dalam masyarakat. Mengapa?. Itu tidak lain karena dalam demokrasi yang tidak beriman (kafir), berakhlak bejat tidak masalah yang penting dia mempunyai kapasitas selain dari itu ada. Maka yang unggul dalam hal ini adalah siapa-siapa yang banyak duitnya dll. Kerisauan lainnya bisa saja karena asalnya orang yang berakhlak bejat maka ketika dia naik justru yang diurus ialah bagaimana menghidupkan judi, mendirikan gedung kasino, pabrik arak dll. bahkan kalau perlu korupsi. Tentu tidak demikian kalau pemerintahan rakyat yang tunduk patuh pada Allah, maka segala kebobrokan diatas justru tidak terjadi sebab apabila ada kejadiannya maka orang itu akan diturunkan oleh rakyat.

Dari paparan diatas sangat jelas bahwa tidak ada satu masalahpun yang luput dari aturan Islam, sebab Islam telah dipatenkan oleh Allah sebagai penyelesai masalah, termasuk dalam hal ini Islam mampu menyelesaikan kebobrokan demokrasi. Dari pandangan seperti ini juga menjadi dalil bagi kita bahwa system pemerintahan dalam bentuk apa saja tidak masalah, asalkan mengerucut pada penerapan undang-undang syari’at Islam. Oleh karena itu kelompok-kelompok dalam Islam yang menghendaki system khilafah, atau Republik Islam, Mamlukah dll, tidak menjadi masalah, yang penting system-sistem seperti itu mengerucut pada penerapan syari’at Islam. Dalam Alqur’an juga disebutkan system pemerintahan mamlukah (Kerajaan) bahkan para Nabi sendiri adalah raja. Nabi Yasuf pejabat dalam kerajaan, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, sampai pada orang shaleh Iskandar Zulkarnain semuanya berada dalam system pemerintahan beraja. Bila disimak dalam Alqur’an system tersebut semuanya mengerucut pada penerapan undang-undang syari’at Islam. Disebutkan bahwa Yusuf as ketika mengadili adiknya yang dituduh mencuri, dia tidak berhukum dengan hukum raja tetapi dengan hukum dari Allah. Begitu juga Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Iskandar Dzulqarnain. Demikian…wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment