English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

EVALUASI PEMILU LEGISLATIF 2014

Oleh : Abd. Razak Muhidin


Masih terlalu dini membuat penilaian tentang pelaksanaan Pemilu Legislatif (PILEG) 2014 yang baru kita laksanakan pada dua hari yang lalu, 09 April 2014, sebab perhitungan suara dll masih berjalan, tetapi paling tidak sudah ada perbandingan yang kita lakukan apakah sudah fair pelaksanaannya hingga saat ini, sampai akhirnya keputusan resmi KPU yang menetapkan siapa-siapakah yang menduduki jabatan legislatif itu. Tidak ada keributan besar sepanjang pelaksanaan PILEG kali ini tetapi masih saja ada kendala-kendala kecil sebagaimana dalam berita ada diantara daerah yang tertukar kotak suara dan harus dilaksanakan pemilu ulang dan kasus-kasus kecil yang bisa kita katakan sebaiknya dilupakan saja. Karena proses itu masih berjalan, maka tulisan ini lebih mengarah pada kenyataan-kenyataan yang kita saksikan bahwa disana ada beberapa catatan yang perlu kita ambil untuk dijadikan penilaian (evaluasi) kita, bahwa andaikan semua itu tidak dihilangkan atau apabila dibiarkan terjadi begitu saja maka kehendak kita semua yang ingin menyaksikan sebuah pemilu yang dicita-citakan bersama ternyata hanya jargon belaka. Bahkan kalau semua yang kita sebut sebagai catatan bersama itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu justru itu lebih memilukan impian dari kebanyakan orang. Yah begitulah Pemilu barangkali yang bisa diartikan sebagai “Pillu” apabila dimasuki awalan “Pe” tidaklah dia disebut sebagai “Pepilu” tetapi akan berubah menjadi “Pemilu” yang artinya orang yang pilu. Ada beberapa catatan yang bisa kita sebutkan sebagai bahan pantauan kita bersama, apakah Pemilu yang baru kita laksanakan ini telah berjalan dengan baik ataukah masih ada pemenfaatan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Yang paling menonjol adalah Perangkap-perangkap maut yang bertopeng kemanusiaan atau bantuan sosial. Setiap setiap orang yang berkehendak (ingin maju) sebagai calon legislative dari jauh-jauh hari dia telah menebarkan perangkap-perangkapnya kepada masyarakat dengan pendekatan sebagaimana yang kita sebutkan diatas. Dia menjadi seorang yang santun, yang sensitif, yang selalu berbaur bersama masyarakat dengan tampilan yang simpatik dan memberikan bantuan-bantuan baik berupa uang, busana (pakaian), pengobatan, pembangunan fasilitas umum dan pelayanan lainnya. Upaya yang dijalankan seperti ini berjalan setiap waktu sampai memasuki Pemilu. Masyarakat tidak menaruh curiga kepadanya karena selama ini tidak ada atribut partai yang ditonjolkannya, hanya saja baru diketahui belakangan ketika dia oknum yang bersangkutan telah mendaftarkan diri sebagai calon legislative atau diperkenalkan oleh orang-orang yang menjadi tukang suruhnya. Nah ketika sudah terjadi seperti itu, masyarakat menjadi salah tingkah, apakah mau pilih dia atau tidak?. Bahkan ada yang mengeluh dengan nada sesal “Waduh…dia sudah benyak berbuat untuk kita, mau bagaimana lagi”.

Keluhan seperti ini menunjukkan sebuah keterpaksaan yang hendaknya diambil pada waktu itu yang tidak obahnya dengan hewan yang telah masuk perangkap. Artinya bahwa, telah sekian lama trik seperti itu yang dilakukan dan masyarakat telah termakan oleh caranya terpaksa paham-paham saja. Bahkan kalau jauh sebelum Pemilu intensitas itu masih perlahan bila dekat Pemilu justru semakin dikebut. Mulai dari pembentukan tim suksesi sampai saksi suara dll, semuanya sudah ada aturan mainnya yang sama-sama paham. Setiap oknum yang maju pileg hendaklah menyediakan duit, dari uang saku, uang bensin, uang makan dll, dengan jaminan siapa saja yang mendapatkan fasilitas itu semua harus memilih oknum yang bersangkutan. Tidak ketinggalan trik seperti itu juga terjadi pada orang-orang yang akan memilih atau selama ini yang sudah masuk perangkap juga ada anu-anunya, maka ada-ada saja duit dll yang didapat dari caleg jagoannya semuanya tidak lain untuk memilih dan dipilih. Tidak hanya melibatkan perorangan, tetapi juga kelompok dan bukan hanya dalam tataran kemanusiaan dan kemasyarakatan bahkan kecendrungan pada agama. Maka tidak jarang kita saksikan dari bantuan Alqur’an, surat Yasin, busana qasidahan, tabungan perwiridan dll semua ujung-ujungnya adalah memilih dan dipilih. Maaf kalau semua ini tidak kita sebut sebagai perangkap maka laiknya disebut sebagai apa? Sementara kalau kita maknai dari pandangan Islam kecendrungan politik seperti itu sangat dekat dengan kepentingan duniawi yang sudah kita paparkan pada Jumat lalu dengan judul “Politik Primordial adalah dosa”. Maaf sekalian memperbaiki judul MIHRAB yang lalu bukan “Promordial” tetapi “Primordial”. Kalau diumpamakan dengan anak-anak yang diperintah oleh ayahnya untuk menunaikan suatu urusan lalau anak itu dijanjikan dengan permen dll, maka sudah tentu bisa dipastikan bahwa sang anak hanya menunaikan tugas karena ada permen, maka bila ada permen semuanya beres tetapi tidak demikian kalau tidak ada permen. Analogi ini bila dikaitkan dengan kecendrungan memilih dan dipilih maka Pemilu kita belum sampai pada esensi politik menurut Islam, yang telah kita paparkan pada Jumat yang lalu. Apalagi parameter seseorang yang dipilih tidak mengacu pada petunjuk taufiqiyah (Alqur’an dan hadits) maka semakin membuyarkan kehendak politik menurut Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana telah kita paparkan pada dua Jumat yang lalu dengan judul “Pemilu dan Kepemimpinan”.

Hendaklah dimaknai kembali bahwa Allah dan Rasul-Nya campur tangan dalam urusan ini (Politik), sebab manusia yang menjadi pemimpin pada hakikatnya adalah meneruskan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya. Rasul telah tiada, sementara ajarannya senantiasa hidup dan menyertai kita, kemudian Allah senantiasa hidup dengan terus memimpin kita, yaitu mengatur dan memimpin kita dan alam semesta ini, sedangkan urusan kepemimpinan dalam arti untuk kebajikan agama diserahkan kepada mereka-mereka yang menjadi pemimpin. Allah tidak mungkin turun ke dunia untuk memerintahkan orang-orang untuk memenuhi jama’ah di Masjid-masjid, Allah juga tidak turun ke dunia untuk mencegah mereka-mereka yang berbuat maksiat, maka kewajiban itu dipikulkan atas para pemimpin. Tetapi realitasnya, cara kepemimpinan seperti ini belum ada, yang ada hanya untuk kepentingan duniawi belaka apakah dari orang-orang yang memilih atau yang terpilih. Kalaupun ada itu tidak lebih dari kebijakan umum bukan kebijakan yang berpaksi pada kebijakan Allah dan Rasul-Nya.

Nah, cara pemilihan kepemimpinan seperti ini apabila dikembalikan pada Allah dan Rasul-Nya maka para pemilih adalah palsu dan yang dipilih juga palsu belaka. Karena Nabi saw bersabda bahwa “Orang yang taat kepada Allah akan ditaati oleh manusia walaupun dia adalah seorang hamba sahaya”. Artinya bahwa manusia itu cendrung mentaati orang yang taat kepada Allah, sementara kalau ketaatan kepada para pemimpin karena pamrih duniawi sebagaimana dipaparkan diatas, semuanya hanyalah ketaatan palsu, baik dari orang yang memilih atau yang terpilih. Sudah sangat jelas sebagaimana contoh ketaatan anak kepada orang tua yang dipagut dengan permen-permenan diatas.

Bila ditarik kesimpulannya selama lima tahun berjalannya sebuah kepemimpinan yang dipilih dengan cara seperti itu maka apabila pemimpin itu ditaati, maka ketaatan seperti itu adalah ketaatan palsu, ketaatan karena mengharapkan permen-permenan dan lebih nahas lagi pemimpin yang naik dengan cara seperti itu juga tidak lain adalah pemimpin palsu. Naudzubillah. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment