English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

HUJAN

Dalam Perspektif IPTEK dan Wahyu

Oleh : Abd. Razak Muhidin


Sudah hampir dua bulan berlalu kita warga Batam tidak kedatangan hujan, hal mana menjadi sebuah keanehan tersendiri bagi kita semua, baik sebagai warga pendatang maupun orang tempatan (Melayu). Mengapa kita katakan aneh karena negeri melayu ini boleh disebut sebagai negeri penghujan, karena di negeri ini selalu saja turun hujan sepanjang musim. Tidak kira kapan hujan akan turun yang penting dalam sehari, seminggu, paling lama dua atau tiga minggu hujan pasti turun. Maka ketika hujan tidak pernah turun hampir dua bulan lebih ini bisa kita sebut sebagai keanehan. Apalagi rantau melayu dalam hal ini meliputi seluruh Sumatra dan semenanjung Malaysia, sudah diidentikkan sebutan “Sumatra” itu tidak lain adalah bahasa Arab dari kata “Dzu dan Mathra”.

dzu artinya “Mempunyai/ Milik” sedangkan “Mathra” artinya hujan. Asimilasi bahasa Arab yang terus berevolusi sekian lama maka bisa saja berubah sebutan itu menjadi “Sumatra” yang sudah tentu artinya pulau atau daerah yang mempunyai hujan. Konon sebutan itu diidhafatkan kepada pengembara muslim yang berasal dari Maghribi (Maroko) yaitu Ibnu Batutah, karena dia melihat di Sumatra itu sendiri adalah daerah yang banyak hujan lalu disebutlah nama pulau ini dengan sebutan demikian. Wallahu a’lam.

Kembali pada substansi masalah bahwa kita ingin menakar hujan melalui sudut pandang ilmu eksakta (IPTEK) dan dari sudut pandang wahyu Allah. Hujan menurut teori ilmu eksakta bahwa hujan turun karena panas matahari, lalu terjadilah penguapan air laut, yang seterusnya berubah menjadi awan, kemudian terjadi kondensasi lalu turunlah hujan. Lalu dari sudut pandang ilmu ma’rifatullah bahwa hujan terjadi karena kehendak Allah bahwa Allah telah mentitahkan malaikat Mikail untuk membagi hujan ke bumi atau daerah mana yang dikehendaki oleh Allah. Bila tidak cermatnya kita menilai kedua sudut pandang diatas atau fanatic pada salah satunya dan menafikan yang satunya lagi, tentu tinjauan kita tidak akomodatif bahkan cendrung menjadi beku, jumud dan kaku, sedangkan pandangan yang kaku justru tidak diakui oleh Islam. Justru Islam menghendaki pemecahan masalah dengan dalil yang bernas, dari hati nurani yang bersih dan akal sehat (rasional).

Bagi mereka yang mendalami ilmu ma’rifatullah mereka meyakini bahwa tidak akan terjadi sesuatu di alam semesta melainkan ada campur tangan Allah atau ada kehendak Allah di dalamnya, termasuk dalam hal ini, hujan. Sementara mereka yang tidak percaya kepada Allah dari orang-orang ateis, komunis, para ilmuwan yang sekuler dll, mereka tidak yakin dengan teori dari ilmu ma’rifatullah seperti dipaparkan diatas. Mereka justru lebih cendrung pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka punyai, yang sudah tentu teori kondensasi turunnya hujan, itulah yang mereka pegang. Maka terjadilah dualisme pertentangan pendapat dari orang yang melihat masalah hujan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bila tidak arif melihat kedua teori ini seorang Islam bisa menjadi seorang muslim yang sekuler dan bisa menjadi seorang muslim yang gagap IPTEK, lalu saling menyalahkan dan mengklaim teorinya sendiri yang paling benar.

MIHRAB kita pada edisi ini ingin mengangkat masalah ini ketika hujan tidak pernah turun dalam dua bulan lebih di kota pulau kalajengking ini. Kita tidak menolak teori yang datang melalui IPTEK tetapi kita juga tidak hanya menerima informasi wahyu Allah secara buta tuli, tetapi hendaklah diusul periksa, karena alam semesta ini adalah buku besar yang dibentangkan oleh Allah bagi kita untuk kita Iqra’ (baca) dalam setiap fenomena yang terjadi di dalamnya. Dan kita juga tidak setuju dengan teori IPTEK yang menjauhkan segala kejadian di alam semesta dari campur tangan Allah. Pertanyaannya sekarang salahkah kedua teori diatas ataukah kedua-duanya benar ?. Sikap ilmiah hendaklah ada pada setiap muslim yang nantinya akan menjadi insan paripurna menjawab segala problema bukan hanya dari sudut pandang Transendental tetapi juga secara realita ilmiah.

Untuk sementara bisa kita katakan bahwa turunnya hujan sebagaimana teori ilmu eksakta adalah benar adanya sementara turunnya hujan dari teori ilmu ma’rifatullah juga benar adanya. Nah…bila kedua-duanya benar, maka sikap selektif selanjutnya hendaklah ada pada orang-orang yang beriman, untuk menguji manakah diantara dua teori itu yang lebih benar dan lebih kuat hujjahnya. Perbandingan dari kedua teori itu bisa kita mulai bahwa kalau hujan turun karena fenomena alam yang bermula dari panas matahari, lalu penguapan air laut, menjadi awan, lalu terjadi kondensasi dan turunlah hujan. Maka seharusnya disetiap tempat yang apabila matahari semakin panas justru hujan semakin lancar. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Matahari boleh bersinar terik sepanjang tahun tetapi hujan tidak turun-turun juga? Apalagi di Afrika pada beberapa dekade lalu panas sepanjang tahun sampai-sampai pohon yang besar mati, sungai dan danau menjadi kering. Seharusnya justru panas yang semakin terik hujan juga semakin lancar.

Kembali lagi pada teori ilmu ma’rifatullah, mungkin lebih kuat hujjahnya bahwa kalau hujan turun atas kekuasaan Allah maka kapan dan dimanapun dan bagaimanapun keadaannya kalau Allah menentukan turun maka turunlah ia. Sebab dalam pandangan orang-orang beriman yang percaya akan Allah bahwa Allah benar melalui wahyunya bahwa hujan turun bukan hanya dari fenomena alam, bahkan diluar dari itu semua bisa saja terjadi. Bila kita simak informasi wahyu, maka demikianlah yang terjadi. Coba lihat QS. 2/ al-Baqarah : 21-22 “Hai manusia…sembahlah Tuhanmu yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang taqwa. Yaitu Tuhan yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap bagimu, dan DIA menurunkan hujan dari langit yang daripadanya dikeluarkanlah berbagai macam tanaman yang menjadi rezeki bagi kamu. Maka janganlah kamu menjadikan tandingan kepada Allah, sedang kamu mengetahui”.

Masih banyak ayat lain dalam al-Quran yang menceritrakan tentang hujan dengan berbagai macam redaksi. Bahkan dalam QS. Hud 52 disebutkan bahwa Nabi Hud as berkata kepada kaumnya agar mereka beristighfar memohon ampun dari dosa-dosa mereka kepada Allah, niscaya Allah akan menurunkan hujan dari langit. Demikian juga dalam QS. Nuh, dimana Nabi Nuh as menyeru kepada kaumnya agar mereka selalu beristighfar, memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada mereka, subur tanaman, ternak akan berkembang biak dan mereka akan dikurniai anak keturunan. Semua informasi wahyu ini menunjukkan bahwa hujan bukan hanya karena fenomena alam semata tetapi ada klausul antara hamba dan Tuhannya. Ada kaitan antara do’a dan istighfar dari hamba-hamba Allah, untuk sebuah urusan yang bernama hujan itu. Bahkan dalam hal anak keturunan juga ada isyarat yang tercantum disana. Tinggal saja apakah Allah mengabulkan do’a mereka, tetapi yang jelas harus ada usaha dari jalan seperti ini. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment