English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, May 2, 2014

PEMILU DAN KEPEMIMPINAN

Oleh : Abd. Razak Muhidin


Dalam satu minggu lebih ke depan kita akan melaksanakan pesta demokrasi yang disebut dengan PEMILU (Pemilihan Umum). Selain sebagai ajang seleksi kepemimpinan oleh rakyat untuk masa lima tahun berikutnya, PEMILU juga sebagai perwujudan keadilan kepada masyarakat untuk menyuarakan hak azasinya secara bebas tanpa ada intimidasi dari siapapun. Kebebasan menyuarakan kehendak itu tersalur secara sendiri-sendiri, tidak diketahui oleh siapapun dan kehendak itu hendaklah dilanjutkan oleh pengemban amanah suara itu secara jujur dan adil, apakah oleh orang-orang yang menyelenggarakan PEMILU maupun orang-orang yang terpilih sebagai wakil rakyat atau sebagai pemimpin pada masa mendatang. Dari sini bisa dilihat dari slogan PEMILU yaitu LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil). Artinya tekad untuk menyelenggarakan PEMILU yang bersih dari segala kecurangan itu menjadi konsensus bersama, tinggal saja bagaimana pelaksanaannya di lapangan.

Namun demikian sebagai manusia yang tidak pernah luput dari dosa dan kesalahan terkadang apa yang dicita-citakan itu menjadi tidak tercapai akibat ulah dari oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab, berikut disadari bahwa manusia dalam urusannya pasti saja ada kelemahannya. Hanya Allah yang sempurna dalam segala urusan-Nya, maka siapa saja dari manusia yang berpandu kepada apa yang digariskan oleh Allah, niscaya langgenglah segala urusannya. Nah, dalam memilih pemimpin ini, Islam memberi panduan kepada manusia sehingga mereka tidak menjadi orang yang salah pilih. Diantara panduan itu adalah : memilih orang yang beriman, mempunyai keluasan ilmu dan sehat fisiknya, dan orang yang kuat dan dipercaya. Tiga panduan ini dapatlah diuraikan dibawah ini walaupun masih belum sempurna tetapi paling tidak ada beriman landasan yang menjadi pegangan kita,

Yang pertama ; hendaklah memilih orang yang beriman.

Hal ini tercantum dalam QS. At-Taubah : 23 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memilih bapak-bapak kamu, saudara-saudara kamu menjadi pemimpin-mu apabila mereka lebih mencintai (mengutamakan) kekafiran daripada keimanan. Barang siapa yang memilih mereka menjadi pemimpin maka mereka itu adalah orang-orang zhalim”. Dalam ayat ini sangat jelas Allah melarang kita memilih orang-orang yang lebih mementingkan kekafiran dari pada keimanan. Mementingkan kekafiran dalam arti yang umum yaitu mementingkan hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan, mendurhakai Allah atau hal-hal yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya. Seleksi yang paling mendasar yaitu perbedaan agama sudah termasuk didalamnya adalah kafir. Demikian Allah menyebut dalam Alquran bahwa orang-orang yang bukan beragama Islam adalah kafir. Maka seleksi ini hendaklah menjadi parameter utama dalam memilih pemimpin, bahwa apabila sudah berbeda agama dengan kita maka kita dilarang untuk memilihnya menjadi pemimpin.

Setelah seleksi yang paling mendasar seperti diatas, maka seleksi selanjutnya adalah seleksi pemimpin yang seiman dengan kita (sesama muslim). Bahwa sesama muslim juga hendaklah diseleksi akan keimanannya, apakah dalam kesehariannya dia cendrung pada keimanan atau cendrung pada hal-hal yang menjurus pada kekafiran. Misalkan saja dua orang muslim yang akan dipilih menjadi pemimpin, katakan si A dan si B. Dalam kesehariannya si A adalah orang yang selalu taat kepada Allah, selalu beribadah di masjid (shalat berjama’ah). Sementara si B juga orang yang selalu taat yaitu selalu mendirikan shalat tetapi jarang berjama’ah di masjid. Dalam ukuran ini sangat jelas bahwa yang layak dijadikan pemimpin adalah si A, sementara si B tidak sesuai dengan kriteria wahyu. Mengapa demikian ? Tidak lain karena Rasulullah saw dalam sabdanya menyebut bahwa “Apabila engkau melihat seseorang yang bolak-balik dari rumah menuju masjid, maka persaksikan akan keimanannya”. Termasuk dalam hal-hal lain misalnya kalau kita melihat seorang muslim (misal Ahmad namanya) yang selalu bergiat dalam dakwah, membangun masjid, mendirikan pesantren, menghadiri majelis ta’lim, dll. Sementara seorang lagi yang bakal akan dipilih menjadi pemimpin adalah seorang muslim juga (Yamin namanya) tetapi kegiatan sehariannya adalah selalu berjudi, dia selalu “membeking” dunia hiburan malam, mendatangkan wanita WTS, punya Bar dll. Dalam kondisi seperti ini maka yang layak dipilih adalah Ahmad. Bahkan bila menyimpang dari keimanan maka keluarga sendiri, bapak kita, keluarga kita dilarang untuk dipilih. Artinya Islam melarang politik primordial (kesukuan, kedaerahan, kekeluargaan dll). Bila kita memilih juga orang-orang seperti itu maka dosa yang mereka lakukan kita juga terlibat didalamnya. Naudzubillah.

Yang kedua ; hendaklah memilih orang yang luas ilmu pengetahuannya dan sehat fisiknya. Hal ini tercantum dalam QS. Al-Baqarah : 247 “…. Nabi mereka berkata bahwa orang yang diutus oleh Allah sebagai pemimpin kamu adalah dia yang berilmu pengetahuan luas dan sehat fisiknya…”.

Pemimpin adalah orang yang akan mengurus orang banyak karenanya dituntut untuk memiliki ilmu dan sehat fisiknya. Adapun ilmu dalam hal ini adalah ilmu agama yang paling utama, karena masalah yang akan terjadi dalam masyarakat entah ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dll, semuanya akan diselesaikan oleh agama. Mengapa demikian? Ya…karena Allah telah memberikan panduan tentang semua ihwal kehidupan di dalam Alqur’an. Seorang pemimpin dia tidak mengerti ekonomi secara terperinci tetapi apabila ada permasalahan yang menyangkut dengan ekonomi dia bisa memecahkannya dengan neraca wahyu. Misalnya permasalahan Riba’ dalam hal ini dianut oleh system ekonomi kapitalis dan sosialis. Bila masalah ini diperhadapkan pada pemimpin Islam maka dia tidak mengakui kedua system tersebut karena bertentangan dengan Islam, dia justru menghendaki penerapan ekonomi secara Islam. Kalaupun dia tidak tau seluk beluk ekonomi Islam tetapi dasar pegangan tetap dia pakai, sedangkan teknis penerapan ekonomi Islam dia bisa dibantu oleh menteri yang punya kepakaran tentang ekonomi Islam. Demikian juga dalam urusannya dengan kesehatan dll, dia tidak punya kepakaran tentang kesehatan tetapi hal-hal yang bertentangan dengan Islam dalam kesehatan dia tahu, sehingga kalau ada masalah dia akan memberikan keputusan yang mendasar. Adapun teknikalnya dia hendaklah dibantu oleh menteri yang punya kepakaran tentang itu. Kolektifitas job dan bidang keahlian seperti ini juga hendaklah ada pada pemimpin yang menjadi subordinasi dibawahnya seperti gubernur, bupati, wali kota dll, karena masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Apalagi berpegang bahwa manusia tidak mungkin bisa mengetahui semua ilmu, karena kerumitan ilmu tersebut dan bidang kajian yang cukup luas dan mendalam tentu tidak mungkin seseorang bisa menguasai semua ilmu, maka ilmu agama hendaklah menjadi dasarnya.

Yang ketiga ; hendaklah memilih orang yang kuat dan jujur.

Hal ini tercantum dalam QS. Al-Qashash : 26 yang artinya “Wahai ayah…ambillah dia menjadi pekerja kita, sesungguhnya orang yang diambil jadi pekerja kita adalah orang yang kuat lagi dipercaya”. Orang yang kuat masuk dalam isyarat wahyu sebagai pemimpin. Berbeda dengan orang yang sehat fisik belum tentu kuat, tetapi orang yang kuat tentu sehat fisiknya. Dalam ayat ini lebih cendrung pada criteria seorang pekerja, yang apabila dikaitkan dengan pemimpin juga tidak lain bahwa pemimpin adalah orang yang bekerja untuk rakyat. Nah orang yang kuat fisik dalam qaul imam Ahmad bin Hambal bahwa orang kuat itu bisa menghadapi situasi yang sifatnya kombat (duel/ lawan tanding) dia bisa menang karena kuat fisiknya. Maka Nabi Muhammad saw ada ciri-ciri seperti ini sehingga ada riwayat menyebutkan bahwa dalam situasi yang genting Nabi saw adalah orang yang paling depan untuk menentang kejahatan. Kemudian orang yang dipercaya (jujur) juga menjadi ciri-ciri seorang pemimpin dan ciri-ciri ini sudah semakin langka pada zaman sekarang, sehingga disebutkan bahwa banyak orang pandai, banyak orang pakar (ahli), tetapi yang jujur susah didapat. Pemimpin yang jujur akan memberikan kenyamanan kepada rakyatnya, sebagaimana Nabi saw adalah orang jujur yang digelar “al-Amin”. Beliau telah memberikan kenyamanan pada masyarakat pada waktu itu dengan kejujurannya, terlebih lagi ketika huru hara yang hampir terjadi pada waktu peletakkan hajar aswad bisa dihindari. Semua itu menjadi I’tibar bagi kita bagaimana seharusnya memilih pemimpin apalagi menjelang PEMILU. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment