Oleh : Abd.Razak Muhidin
Alhamdulillah…. renchana puja bangkit memboyong titah sabda Duli baginda sanjungan… yang menetes di rekahan nurani insan yang bungkam merenung anugerah ilahi. Sebuah hirup canggung mambasah haus kerongkongan…sekujur kehambaan waktu pawana… menggila… menggila menyentuh asmah. Getar bibir membisik wirama wingit kesadaran dan insaf kehambaan dalam kodrat kebesaran takdir-Nya… bisik insaf menggenangi pelosok atma, kuntum iman mulai mekar dikejernihan embun Ramadhan…. indah…. pasrah.
Ya Allah…Tuhan ku yang maha pengasih lagi maha penyayang…aku tinggalkan Ramadhan pada tahun lalu dalam penyesalan yang sangat dalam, mengapa aku tidak menunaikan kewajiban Ramadhan dengan semestinya, sebab sangat boleh jadi… Ramadhan tahun lalu adalah Ramadhan yang terakhir dalam hidup KU. Betapa itu Ku maknai dengan kenyataan dan pengalaman yang terjadi, sehari saja setelah perginya Ramadhan… aku kehilangan sahabatku yang paling aku sayangi… dia telah pergi meninggalkan aku… meninggalkan dunia yang fana ini. Ya Allah… adalah hak MU jua memanggil sahabatku itu berangkat menuju ke alam Barzah tempat perhentian sementara menunggu nafiri (Sangkakala) malaikat Israfil… sebagai tanda berakhirnya kehidupan di dunia ini.
Ya Allah… sadar akan kepergian, kehilangan sahabatku itu adalah hak MU maka aku tidak terlalu larut dalam kesedihan yang panjang… tetapi yang aku sedihkan dan sangat- sangat aku sesalkan…. kepergian sahabat ku itu tanpa membawa bekal yang cukup untuk sebuah perjalanan yang jauh…tiada berpeghujung. Memang demikian ya Allah… perjalalan menuju alam Barzah tidak lama…bagaikan secepat kilat atau lebih cepat dari itu…karena sebentar ini aku hidup…sebentar ini sahabatku itu hidup… sebentar ini kawan dan saudara-saudara ku hidup, tetapi sedetik lagi dia akan mati… dia sendiri tidak tahu dan aku sendiripun tidak tahu. Itulah yang aku hamba-MU ini membatin…bahwa kematian, kepergian menuju alam Barzah sangat cepat.... lebih cepat dari cahaya kilat yang berpijar. Namun…. perjalanan yang cepat itu tidak dapat dipastikan kapan sampainya ke penghujung…yaitu menunggu sampai malaikat Israfil meniupkan terompetnya. Entah…entah besok terompet itu akan berbunyi ? Entah anak ku yang kini sedang merangkak menjadi dewasa? Atau ketika anak ku ini melahirkan tujuh generasi lagi? Atau kapan lagi, tidak bisa ku pastikan Inilah yang hamba-MU sesalkan bahwa sahabat ku itu pergi tanpa bekal yang cukup, untuk perjalanan yang panjang itu.
Ya Allah…mengapa tidak hamba-Mu ini bergumam demikian ? Yah …begitulah kami hamba-MU yang selalu cuai dan lalai, yang selalu lengah dan pongah dengan kesempatan yang terhidang…. waktu yang datang berlalu pergi begitu saja, aku dan sahabat ku itu masih dibodohi oleh bisikan syetan, apakah syetan yang biasa bersembuyi pada dunianya yang ghaib… atau dari syetan yang berwujud manusia…apalagi syetan yang merasuk, menimbun dan bertahta dalam diri ku yang disebut hawa nafsu. Betapa bisikan itu kini ku sadari…ketika orang sedang berlapar dan dahaga di Bulan Ramadhan…justru aku dan sahabat ku itu terus dan terus menjamu selera… mengikuti hawa nafsu bejat dan jahat…menyantapi hidangan yang enak dan lezat…yang tersedia di warung-warung, di restoran dan dimana saja yang kami berdua inginkan. Semua itu aku lakukan bersama sahabat ku itu, karena berpikir bahwa waktu kita masih panjang…masa muda puas-puaskan dulu…nanti sudah tua baru bertobat. Padahal semua itu keliru bahkan salah besar.
Kini aku sadari…rupanya Ramadhan tahun kemarin itu adalah Ramadhan yang terakhir dalam hidupnya sahabat ku itu, dan memang kenyataannya dia telah pergi sehari setelah Ramadhan pada tahun lalu. Atas kesadaran yang demikian itu… maka ketika itu aku meratapi kepergiannya dalam kesedihan yang besar, duka yang mendalam.... lalu aku merapatkan wajahku ke telinga sahabat ku yang telah terbujur kaku itu. Di dekat telinga-nya aku berbisik “ Oh sahabat… aku tidak mengatakan kepadamu selamat berpisah… selamat jalan… aku juga tidak bertanya kepada mu mengapa engkau terlalu cepat pergi meninggalkan aku. Tetapi aku bisikkan bahwa aku dan engkau telah melewati hari-hari yang tiada tersadarkan… aku dan engkau telah menghabiskan waktu yang tiada tersangka, sedangkan detik cemas itu baru datang menampar kealpaan dan membisik wirama wingit kesadaran…. hanya terjadi ketika engkau telah tiada di sisi ku”.
Betapa sangat aku mencintai mu sehingga aku terus berbisik ke telingamu “Oh wahai sahabat… bangun…bangunlah bersama ku…kita hidup bersama lagi seperti dulu… bangunlah wahai sahabat ku… kita berjanji dan berikrar bersama untuk sebuah hidup yang baru… hidup yang jauh dari degil dan bandelnya kita selama ini…kita rubah cara hidup kita yang selama ini jauh dari pancaran nur hidayah dan cahaya taufik… canda dan tawa kita yang selama ini di meja-meja judi, bangga dan ponghnya kita selama ini dengan tabung-tabung narkoba, aroma bir, wisky, brendy…perempuan lacur. Naudzu billah… bangunlah wahai sahabat ku… kita berubah sama…menukar cara hidup kita seperti itu… canda da tawa yang selama ini di dunia glamour itu akan tukar di majlis-majlis ilmu, wirid, dzikir, baca qur’an, tahajjud sepanjang malam. Oh sahabat… betapa cinta ku kepada mu sehingga aku mohon kepada Allah…. kiranya engkau dibangkitkan untuk hidup kembali dengan garansi kebajikan yang akan kita persembahkan di hadapan Allah jalla jalaaluh”.
Ternyata semua yang aku bisikkan kepadamu itu tidak akan terjadi…bahwa hidup hanya sekali…mustahil engkau bisa hidup kembali… dan betapa aku sadari bahwa dari dunia mu yang telah di jauhkan oleh Allah dari ku…engkau mendengar semua itu…tetapi engkau tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Walau demikian…dari batin mu yang paling dalam engkau sangat menginginkan untuk hidup kembali…dan berbakti sebagai mana yang aku bisikkan. Itu pasti…bahwa engkau menghendaki untuk hidup kembali… hal itu bisa ku mengerti dari setetes demi setetes air bening yang mengalir dari sudut kelopak matamu. Oh kasih ku pada mu tiada terperi…sehingga aku beranikan diri untuk menyeka air mata mu itu walaupun aku selama ini selalu takut mendekati orang yang telah mati. Air mata mu itu membuat aku semakin tertegun…bahwa engkau dalam ingatan yang sama… dan kesadaran itu hanya akan datang diakhir dan kesadaran yang datang terakhir itu tiadalah berarti.
Oh sahabat… aku masih jauh menafsirkan air mata mu itu… seakan engkau berkata kepada ku… sebagai kata pamitan…kata pelepasan dari dari seorang sahabat kepada sahabatnya. Betul dan pasti…bahwa berita yang pasti itu adalah berita tentang kematian, janji yang pasti itu adalah janji dari Allah Tuhan semesta alam…bahwa dibalik dari kehidupan ini ada lagi kehidupan sesudahnya… nasehat yang berharga adalah nasehat agama, lewat lisan Nabi yang mulai Rasulullah saw, diteruskan oleh para sahabat, orang-orang sjaleh dan guru-guru alim. Jangan wahai sahabat ku… jangan sia-siakan hidup sebagai mana aku yang mendahului mu ini. Jadikan Ramadhan ini sebagai Ramadhan yang terakhir dalam hidup mu, maka engkau akan beruntung…bukan seperti aku. Dan andaikan ada keberkatan dari amal mu pada Ramadhan ini tolong do’akan aku semoga diampuni segala dosa dan kesalahan ku. Amin.
Wallaahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment