Abdul Razak Muhidin |
Firman Allah diatas juga menunjukkan bahwa Islam menghendaki pemeluknya untuk selalu berkerja, bergiat, bersungguh-sungguh. Artinya Islam melarang pemeluknya menjadi pengangguran, duduk berpangku tangan mengharapkan keajaiban yang datang. Hal ini kita dapati dalam sebuah riwayat dimana Sayyidina Umar RA menegur seorang pemuda yang seharian duduk dalam masjid dan berdo’a. Lalu ditegur oleh khalifah Umar “ Mengapa engkau berlama-lama disini ? "Jawab pemuda itu sedang berdo’a. "Umar bertanya lagi sudah dapat apa yang engkau minta ?" Pemuda itu menjawab belum. Lalu Umar RA berkata kepada pemuda itu ; Bagaimana engkau bisa mendapatkannya kalau engkau terus disini. Tidak mungkin hujan bisa menjatuhkan emas dari langit.
Firman Allah dan riwayat diatas telah dijalani oleh saudara kita yang bergiat keseharian dengan aktifitasnya masing-masing. Permasalahannya sekarang, buruh sering menghadapi perlakuan yang tidak adil atau mempunyai nilai tawar yang lemah dalam masalah keadilan dan kesejahteraan, juga persaingan ankatan kerja yang terus bertambah setiap tahun. Pada sisi lain majikan atau pengusaha juga menghadapi problema dalam masalah finansial dan lonjakan tenaga kerja yang terus bertambah setiap waktu juga tuntutan kwalitas dan prokduktifitas yang semakin tertantang. Dua kutub yang berbeda problema ini perlu kebijaksanaan dan penanganan yang saksama sehingga semua pihak mendapat pembelaan yang adil. Islam dalam hal ini tidak hanya membela para buruh sehingga para majikan / pengusaha menjadi kecewa dan sebaliknya tidak hanya membela para majikan sehingga buruh dirugikan. Tetapi Islam mengakomodir semuanya.
Sayyid Ahmad al-Hasyimi dalam “Mukhtarul Ahaditsin Nabawy” menukilkan Hadits Nabi SAW “ Jika engkau meringankan suatu pekerjaan atas pembantu (buruhmu) maka hal tersebut merupakan pahala kebaikan dalam timbangan amalmu kelak dihari kiamat” HR. Baihaqi. Demikian juga Abu Lait as-Samarqandi dalam “Tanbihul Ghafilin” mengutip hadits Nabi SAW “ Hai sekalian umat manusia bertakwalah kepada Allah ketika menggunakan pelayan, berilah mereka makan seperti yang kamu makan dan pakaian seperti yang kamu pakai. Janganlah kau paksakan melakukan pekerjaan yang diluar kemampuannya, karena mereka berdaging dan berdarah seperti kamu. Berhati-hatilah barang siapa yang menganiaya mereka maka akulah musuhnya kelak dihari kiamat dan Allah adalah hakimnya."
Buruh dan majikan mendapat prioritas yang layak disisi Islam bahwa majikan yang baik yang berlaku adil kepada pembantu (buruh) nya maka itu adalah pahala kebajikan. Kedzaliman keatas para buruh dikutuk oleh Islam, bahwa orang tersebut akan menjadi musuh kepada Nabi SAW dan Allah sebagai hakimnya. Nah bagaimana dengan sikap seorang pekerja (buruh) kepada majikannya ? Dalam hal ini kita temui sabda Nabi SAW “Ada tiga orang yang pahalanya dilipatgandakan yaitu : 1. Orang yang mempunyai pelayan wanita dan mendidiknya dengan baik, lalu dibebaskan dan dikawinkannya 2. Orang ahli kitab yang taat melaksanakan ajaran Nabinya 3. Seorang pelayan yang melakukan kewajibannya terhadap Allah dan majikannya”.
Seorang pekerja dalam hadits Nabi diatas mempunyai pahala yang berlipat ganda bisa dianalisa bahwa sebagai hamba Allah maka seorang pekerja tertuntut untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah. Secara kasat mata kewajiban kepada Allah adalah sesuatu yang teramat berat untuk dilaksanakan. Tetapi andaikan dilaksanakan dengan konsekwen maka yang berat itu terasa ringan. Ini terbukti berapa banyak orang yang merasa sholat lima waktu belum cukup sehingga dia lalu menambah dengan sholat-sholat sunnat. Itupun belum cukup sehingga dia bangun ditengah malam ketika orang lagi lelap tidur, dia terus beribadah sepanjang malam. Tugas yang cukup menantang sebagai hamba Allah ini dibarengi tugas yang lain sebagai pekerja ( buruh/pembantu ) kepada majikan juga tidak ringan, belum lagi tugas dan tanggung jawabnya kepada anak dan istrinya. Dalam kondisi seperti ini maka seorang buruh bila melaksankan satu tugas bisa saja dihitung sebagai tiga tugas yang ditunaikannya sekaligus. Bandingkan saja menafkahkan anak istri pahalanya seperti 70 orang mati syahid, apalagi tiga tugas yang bersamaan terhitung kepadanya. Maka seyogianya buruh termasuk orang yang digandakan pahalanya.
Buruh dalam hadits diatas dikehendaki agar menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tidak menyalahi aturan, apalagi melakukan sabotase dan manipulasi lainnya, maka dia mendapat pahala yang ganda dari Allah SWT. Pahala yang pertama karena telah menunaikan tugas sebagai hamba Allah. Pahala yang kedua karena menunaikan tugas sebagai buruh kepada majikannya dan pahala yang ketiga adalah menunaikan kewajiban pada dirinya dan keluarganya. Disini Islam memenej dunia perburuhan sebagai asset untuk melipatgandakan pahala disisi Allah, baik oleh majikan maupun pekerja itu sendiri. Tetapi kesalahan persepsi yang biasa terjadi dimana orang memisahkan antara satu bidang pekerjaan dengan bidang yang lain sehingga ketika sedang bekerja tinggalkan dulu keterikatan kepada Allah, dalam hal ini sholat. Apalagi beralasan bahwa bila menunaikan sholat justru menghambat pekerjaan. Ini adalah persepsi yang salah disisi Islam. Yang paling celaka para buruh yang tekun menunaikan sholat disalahkan oleh majikan. Persepsi yang salah ini semakin hilang ketika orang telah semakin memahami aturan dan pantang larang dari suku dan golongan tertentu, sedang UU perburuhan juga mengakomodir urusan peribadatan sehingga sholat semakin mendapat tempat dalam dunia perburuhan.
Dalam kitab “Nailul Authar” jilid IV : 1889-1890 dinukil hadits “ Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang kelak dihari kiamat, Akulah ( Allah ) pembelanya. Sedang siapa yang Aku sebagai pembelanya pasti akan Aku bela yaitu 1. Seorang yang memberi sesuatu karena aku tetapi kemudian ia khianat 2. Seorang yang menjual orang merdeka dan dia memakan harganya 3. Seorang yang mengangkat seorang buruh dan buruh itu sudah melaksanakan kewajibannya tetapi ia tidak membayar upahnya.” HR. Ahmad dan Bukhari. Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairah RA “ Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah akan mengampuni umatnya diakhir malam ramadhan. Rasulullah SAW ditanya ; apakah malam itu adalah malam lailatul qadar ? Rasuluallah menjawab tidak. Tetapi sebab nya ialah karena seorang buruh yang bekerja akan dipenuhi upahnya apabila ia telah menyelesaikan pekerjaaannya.” HR. Ahmad
Sehubungan dengan aturan Islam yang menjamin hak-hak buruh dan majikan maka Islam dengan misinya adalah keselamatan dan rahmat bagi alam semesta menghendaki keadilan kepada semua. Oleh karenanya segala aturan, hukum perundangan yang diundangkan hendaklah memperhatikan keadilan ini. Maka sebagai tanggung jawab pada kepentingan bersama kita mencoba melihat fenomena dunia perburuhan pada akhir-akhir ini yang dikenal dengan “Outsorching”.
Outsorching hanya baru dikenal pada dekade1980an, sebelum dari itu outsorching belum dikenal atau belum diterapkan. Jika dilihat kebutuhan akan penerapan outsorching ini adalah dalam rangka meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja dan biaya yang dilatari oleh persaingan antara perusahaan dan persaingan dari para pekerja, dimana setiap tahun terus terjadi lonjakan jumlah angkatan kerja. Walau demikian outsorching diadakan bukan untuk mengakomodir nilai komersial semata terutama para majikan tetapi juga menjamin hak-hak para buruh. Hal ini bisa dilihat dari UU no. 13 tahun 2003 tentang perburuhan terutama pasal 64,65 dan 66. Dalam pasal-pasal ini bisa dilihat bahwa outsorching dilakukan secara terpisah dari kegitan utama, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, tidak menghambat proses produksi secara langsung, para buruh atau pekerja outsorching tidak boleh digunakan untuk pekerjaan pokok/utama atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Poin-poin penting dalam UU no.13 diatas menjadi rumit dan bermasalah apabila kegiatan outsorching itu telah dilibatkan dalam kegiatan utama yang berhubungan langsung dengan proses produksi, berikut para pekerja yang semulanya hanya diprioritaskan pada kegiatan penunjang justru dilibatkan dalam kegiatan pokok atau kegiatan utama. Permaslahan inilah yang menimbulkan gejolak dalam dunia perburuhan dengan berbagai protes dari para pekerja yang tidak setuju ketika terjadi eksploitasi keatas UU tersebut, yang hanya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang ingin mengaut keuntungan. Sebab hal tersebut bisa dianalisa dengan asumsi sementara bahwa seorang pekerja tetap yang menyelesaikan kegiatan utama dibayar Rp. 25.000/jam apabila dialihkan pada pihak ketiga, dimana pihak ketiga yang memberikan outsorching kepada pekerja binaannya hanya Rp. 15.000/jam. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp.10,000. Maka bagainakah jumlah tersebut dikalikan dengan 5000an atau 10.000an pekerja ? dan bagainakah pula bila dikalikan dengan jumlah jam dalam satu tahun ? Padahal keuntungan yang diambil oleh pihak ketiga ini adalah haknya para buruh (pekerja tetap) untuk mendapatkannya ?
Berbalik dari itu majikan juga tidak ingin kalau para pekerja menjadi malas yang berakibat menurunnya hasil poduksi berikut anggaran pesangon yang cukup besar yang harus dipersiapkan untuk pakerja yang diPHKkan yang sangat boleh jadi para buruh bisa memperalat UU tersebut dengan ulahnya, malas dan lain-lain agar dia bisa mendapatkan pesangon, setelah mendapatkan pesangon dia (buruh) tersebut bisa mencari pekerjaan dan majikan baru. Demi menghindari ketimpangan seperti ini maka outsorching menjadi sebuah alternative yang paling pas. Alasan yang lain outsorching sebagai sebuah kebijakan dalam pemerataan kerja kepada para buruh yang terus melonjak jumlahnya dari tahun ke tahun. Untuk alasan pemerataan kerja kepada angkatan kerja yang jumlahnya terus bertambah, justru pekerja outsorching sering diberhentikan lalu dibuat akal-akalan dengan melamar sebagai pekerja baru, adalah bukan solutif tetapi berbalik menjadi desolutif.
Dua kutub yang bertentangan antara pekerja dan majikan dalam penerapan outsorching ini bisa dicarikan solusinya andaikan kedua-duanya ( pekerja dan majikan ) bisa saling toleransi. Para pekerja bisa dipekerjakan sebagai pekerja tetap dengan bayaran yang selayaknya, tidaklah dibayar sebagaimana pekerja outsorching, dengan ketentuan pekerja yang tidak terikat dengan aturan outsoching tersebut tidak malas dan membuat ulah dalam menjalankan tugasnya dan ketika majikan mendapati pekerja tersebut tidak disiplin dan lain-lain maka majikan bisa memPHKkan pekerja tersebut tanpa mendapat pesangon. Disamping itu majikan dalam menberikan PHK juga hendaklah tidaklah sebagai tindakan dzalim keatas buruh, tetapi PHK dijatuhkan pada hal-hal yang sangat prinsipil sebab buruh juga manusia pasti diliputi oleh segala kelemahan termasuk didalamnya ada saatnya buruh merasa letih yang menyebabkan malas dll.
Maka majulah dunia perburuhan kita dengan sikap simbiose mutualisme antara buruh dan majikan bukan seperti simbiose parasitisme. Yang paling penting dari semua itu adalah apabila buruh dan majikan menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai penengah permasalahan diantara keduanya. Allah telah memberikan jalan terang dengan firman-Nya begitu juga dengan Rasul lewat sabdanya, adakah kita mengambilnya menjadi suri tauladan ? Wallahu a’lam. @...raz.
0 comments:
Post a Comment