Sejenak mengamati hidangan berita yang tersaji dalam media cetak dan elektronik dalam beberapa minggu belakangan ini, kita temui beberapa diantara berita hangat dan sensasi yaitu kasus Bank Century, gebrakan yang dilakukan oleh KPK dalam memberantas korupsi, dan larangan nikah siri yang digodok di DPR. Untuk berita pertama dan kedua wilayahnya hanya terbatas pada orang-orang yang terlibat didalamnya, sedangkan berita hangat dan sensasi yang ketiga yaitu nikah siri adalah sebuah topic yang menjangkau semua lapisan masyarakat yang sudah pasti, telah, sedang dan akan terjadi dalam keseharian kita. Karena pernikahan adalah tabi’at ( naluri ) alamiah yang pasti ada pada setiap manusia.
Dalam
tutur seharian, masyarakat difahamkan bahwa nikah siri adalah pernikahan yang
dilakukan dengan tanpa mendaftar pada Kantor Urusan Agama ( KUA ). Nikah siri
selain identik dengan nikah tanpa ada proses administrasi, tanpa ada keterangan
tertulis yang diakui oleh pemerintah, juga nikah siri sering disebut sebagai
nikah dibawah tangan. Namun demikian, bila ditinjau dari hukum syar’i ( hukum
menurut ajaran Islam ) nikah siri apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya,
maka nikah siri tetap dipandang sah adanya. Nikah siri yang dipandang sah menurut
ajaran Islam disini, bisa disimpulkan bahwa pernikahan dalam keadaan demikian
adalah diakui oleh Allah dan rasul-Nya. Arti- nya bahwa nikah siri telah
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, maka
sah adanya.
Islam
menetapkan rukun nikah sebagai berikut 1. Ada
mempelai laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim 2. Adanya wali dengan
syarat-syaratnya 3. Adanya dua orang saksi dengan syarat-syaratnya 4. Aqad ( ijab qabul ) antara mempelai laki-laki dengan wali ( orang
tua mempelai perempuan ), menurut susunan nasab atau garis keturunan dari
mempelai perempuan. Kita tidak bermaksud menguraikan rukun nikah diatas satu
persatu karena terbatasnya rubric ini, karenanya perlu ditela’ah kembali fiqhul
Munakahat ( fiqh yang membahas tentang masalah pernikahan ) yang didalamnya
terdapat pembahasan yang cukup komleks, sacral ( suci ) dan tidaklah diberatkan
urusannya. Hal ini sesuai dengan perinsip ajaran Islam yang menerapkan metode taisir
( meringankan ) bukan ta’sir ( memberatkan ).
Pernikahan
yang memenuhi syarat dan rukun diatas sah adanya hanya saja terdapat
kekurangannya yaitu tidak diperkuat dengan keterangan ( administrasi ) semisal surat nikah dll, yang
berkaitan dengan mempelai laki-laki dan perempuan yang telah diikat dengan aqad
( ijab qabul ) sebagai suami istri. Kepentingan akan administrasi dalam masalah
pernikahan ini penting adanya karena yang demikian itu bukan hanya tuntutan
perkembangan sosio cultural pada dunia hari ini yang semakin global tetapi
Allah telah menetapkan dalam firmannya bahwa segala aqad ( transaksi ) apakah
jual beli, atau hubungan yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak yang
dihawatirkan terjadi penipuan, kecurangan, dan kedzaliman dibelakang hari
semisal hak-hak warisan, kepemilikan anak dan keteraturan nasab keturunan.
Bahkan dikhawatirkan jangan sampai adanya sabotase dari pihak-pihak tertentu
yang ingin memisahkan antara suami istri itu.
Firman
Allah tentang ketentuan administrasi dalam segala transaksi social misalnya “
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan perjanjian dalam waktu
tertentu maka hendaklah yang demikian itu ditulis “. Firman Allah ini
sangat jelas menghendaki keterangan tertulis yang bukan hanya menyangkut
masalah jual beli ( bisnis ) tetapi sangat luas mafhum mukhalafahnya bahwa
konteks ayat ini adalah segala yang menunjukkan perjanjian maka dalam hal ini
nikah juga adalah perjanjian, yaitu perjanjian antara laki-laki dan perempuan
yang manjadi suami istri itu, maka nikah justru lebih penting lagi untuk ditulis.
Bandingkan saja masalah perjanjian yang menyangkut jual beli saja diperintahkan
oleh Allah untuk ditulis apalagi masalah yang menyangkut dengan kepentingan
manusia dan kemanusiaan.
Sebagaimana
disebutkan diatas bahwa zaman kini yang ditandai dengan globalisasi yang
menghilangkan segala batas dan sekatan telah memudahkan hubungan antara satu
bangsa dengan bangsa yang lain, sehingga kawin mawin ( nikah ) antara suku
bangsa yang berbeda, juga perbedaan lainnya yang menyangkut cultural
masyarakat, adat dan budaya, ini sangat rentan menimbulkan masalah kalau tidak
ada keterangan resmi tentang nikah yang dilatari oleh perbedaan diatas. Belum
lagi aturan masuk dan keluar ke suatu Negara dengan administrasi yang cukup
ketat, maka kepentingan akan keterangan tertulis dalam suatu hal, sangat-sangat
diperlukan.
Disatu
sisi kita membicarakan tentang kepentingan nikah dengan segala administrasinya
pada sisi lain nikah siri juga sebuah tuntutan yang harus diselesaikan dengan
cara yang saksama dan bijaksana. Masyarakat yang seharian hidupnya penuh dengan
kemiskinan dan kekurangan pasti saja merasa berat dengan urusan nikah dengan
segala administrasi yang menghabiskan
biaya yang cukup besar. Kendala demikianlah yang menyebabkan mereka menempuh
pernikahan dengan tanpa mendaftar ke KUA, lalu disebut pernikahan demikian
sebagai nikah siri atau nikah dibawah tangan. Sungguhpun ketika nikah bawah
tangan itu dilakukan diatas tangan yaitu berjabat tangan antara yang satu
dengan yang lain, tetapi sudah terlanjur disebut sebagai nikah bawah tangan.
Maaf,
sedikit teringat akan pertanyaan anak-anak di Sekolah “ Pak nikah bawah
tangan itu apa sih, …apa tangan dari kedua mempelai itu diletakkan dibawah
tangannya wali nikah, atau apa sih ?”. Setelah menjawab segala tetek bengek
yang menyangkut nikah bawah tangan kepada anak-anak saya berkesimpulan bahwa
nikah bawah tangan itu sah secara syar’i, tetapi factor suasana dan keadaan
saja yang menyebabkan kekuatannya disangsikan. Lalu apakah masalah ini tidak
ada solusinya ? Ketika masyarakat terbentur dengan biaya dan keadaan social
yang membuat pernikahan mereka disangsikan, apakah tidak ada jalan keluar bagi
masyarakat Islam untuk mengatasinya ?
Ditengah
kerumitan ini rasa kepemilikan agama bahwa Islam adalah nilai hidup bagi masyarakat
yang menganutnya adalah masyarakat yang mengedepankan ketaatan dan
ketertundukkan kepada Allah, jujur, tulus dan adil pada diri dan sesamanya,
maka kerumitan itu terasa kecil bila diperhadapkan kepada orang-orang dengan
cirri-ciri tersebut. Artinya bagi orang yang beriman dan bertaqwa nikah siri (
nikah bawah tanagn ) itu tidak ada masalah karena kehawatiran dari manusia
dapat diatasinya dengan cirri-ciri ketaatan dan ketertundukannya itu. Orang
boleh khawatir dengan masalah warisan, tetapi bagi dia justru ditunaikannya
hak-hak warisan itu dengan jujur dan adil kepada istri dan anak-anaknya,
walaupun tanpa keterangan atau surat-surat. Karena kalau dia tidak
menunaikannya maka dosalah keatasnya yang menyebabkan murka Allah kepadanya.
Mihrab
kita terasa tidak cukup dengan pembahasan yang kompleks dan panjang ini,
karenanya insya Allah….bersambung pada edisi berikutnya. Wallahu a’lam.
@...raz.*
0 comments:
Post a Comment