English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, March 15, 2013

KHILAFAH – 2

Abd.Razak Muhidin
  Pada Jum’at lalu telah dipaparkan tentang khilafah dalam strukturisasi kepemerintahan dari tingkat bawah sampai atas yang secara normatifnya bisa difahami sebagai sebuah bentuk kepemerintahan yang ideal yang memadukan semua kompetensi dan seleksi figur yang terpercaya ( amanah ). Demikianlah adanya, karena seleksi kepemerintahan khilafah adalah seleksi yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi SAW dan leadership kepemerintahannya juga dijalankan mengacu pada kedua sumber rujukan diatas. Permasalahannya sekarang adalah, masih aktualkah bentuk pemerintahan khilafah sebagaimana paparan jumat lalu, dalam kemajemukan masyarakat yang berbeda agama, adat istiadat dan perbedaan lainnya ? Sementara zaman dengan tata dunia baru ( Globalisasi ) yang ditandai oleh tingginya ketergantungan antara yang satu dengan yang lain dan terhapusnya sekatan primordial sehingga kaum dan bangsa manapun jua akan disatukan dalam satu system yang bukan system khilafah. Masih aktualkah system khilafah dalam kondisi seperti itu ?

Pertanyaan yang dilatari oleh skeptisme idealis terhadap Islam yang seakan mereduksi Islam sebagai system yang tidak universal dan global, bahwa Islam seakan hanya untuk golongan tertentu dengan batas wilayah tertentu, juga bisa dilatari oleh peristiwa sejarah masa lalu bahwa system khilafah juga meninggalkan konflik internal dalam tubuh umat Islam yang apabila ditelusuri tidak obahnya dengan system-system lain yang pernah hadir dalam sejarah kepemerintahan bangsa manusia. Dari pertanyaan seperti ini kita ingin menarik garis lurus diantara penyimpangan yang pernah terjadi, tanpa dilatari oleh kepentingan politik dan golongan, tanpa kecendrungan pada ketidakadilan. Sebab system khilafah baik secara struktural maupun acuan normatifnya bila ditawarkan kepada masyarakat sosialis tentu tidak difahami oleh mereka, tetapi bila dikorelasikan dengan system yang berlaku keatas mereka justru ada persamaannya walaupun sedikit. Bukankah system sosialis dengan doktrin pemerataan umum yang menghapus hak perorangan, tidakkah ini ada sedikit kesamaannya dengan Islam ? ( Prof. Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, 3.1 – 3.15 ). Bahwa Allah adalah pemilik semua yang ada di alam semesta, sehingga umat Islam dan manusia umunya tidak menjadi kikir, bakhil, rakus dan monopoli seorang diri ? ( Abul A’laa al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, 46 – 49 ). Kalau sosialis berfahaman kebebasan tanpa batas yang mengarah pada penghalalan cara, maka Islam justru memberikan kebebasan yang fleksibilitas, yaitu kebebasan yang mengikat. Kapan kebebasan diserahkan kepada manusia dan kapan kebebasan yang diikat dengan aturan Allah SWT. Perbedaan mendasar bagi masyarakat sosialis barangkali hanya terletak pada masalah teologi ( ketuhanan ), tetapi dalam masalah sosial sedikitnya ada persamaan dengan Islam.

Sistem khilafah ini juga apabila ditawarkan pada masyarakat kapitalis, maka mereka juga merasa asing, tetapi apabila dikorelasikan dengan system Islam justru ada sedikit persamaannya. Bukankah doktrin kapitalis yang menghendaki optimalisasi kinerja dalam kalkulasi materialistik, ada persamaannya dengan system Islam yang menghendaki kesungguhan dalam melakukan sesuatu ? Kalau kapitalis hanya menghitung, memformu- lasikan sesuatu dalam kalkulasi materialistik, bahwa kehidupan ini berakhir di dunia saja tidak ada lagi apa yang disebut akhirat, maka Islam justru lebih kompleks karena Islam menghitung dan memformulasikan sesuatu bukan hanya dalam perhitungan material tetapi juga yang metafisik ( Ghaib ). Kalau kapitalis mengorganisir ( menggerakkan ) sesuatu dengan kekuatan materi ( Harta benda, keuangan dll ), yang cendrung berfoya-foya dan mendewakannya, maka Islam justru memenej semua ini dalam bingkai wahyu bahwa dakwah juga memerlukan finansial, jiwa raga, harta benda, yang diaktualkan dalam zakat, infaq, shadaqah, waqaf dll ( Drs. Abdul Kadir Jailani, Islam Versus Sekularis ). Dari korelasi system Islam dan kapitalis seperti ini, maka system Islam justru lebih universal dan global adanya dan system Islam berfungsi sebagai sterilisasi dari firus-firus ideologi yang ada.

Bila system Islam ditawarkan kepada masyarakat Atheis ( Tidak bertuhan / kafir ) justru ditemukan ketauhidan ( ke-Esa-an ) secara alami. Hal ini bisa di lihat dari keberadaan masyarakat Atheis yang walaupun disebut sebagai yang tidak bertuhan, tetapi kecendrungan-kecendrungan tertentu bisa membawa mereka mempertuhankan sesuatu. Sebagai umat manusia, maka Allah meletakkan potensi ketuhanan dalam diri manusia, tidak terkecuali kaum Atheis, sehingga ternampak dalam keadaan tertentu manusia menjadi takut pada sesuatu objek maupun takut pada sesuatu hal ( takut miskin, takut gagal dalam ujian dan usaha, bahkan takut jatuh dari tempat yang tinggai ). Ketika rasa takut itu menghantui seseorang, maka dari sini ada sinyal ketuhanan sebab hanya tuhan yang patut ditakuti. Masyarakat Atheis juga cendrung mendewakan hawa nafsu, sehingga hawa nafsu menyeret pada kesalahan, bahwa hanya Allah yang patut ditakuti, hanya Allah yang patut manusia berserah diri, mengadukan segala masalah dll ( Imaduddin Abd.Rahim, Kulaih Tauhid : 37 - 42 ). Potensi ketuhanan yang pada sesuatu yang digandrungi atau ditakuti tetapi salah alamat seperti ini dalam masyarakat Atheis perlu diluruskan dengan konsep ketuhanan menurut Islam.

Sistem Islam yang bisa diadopsi oleh system-sistem lain diatas menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada kekuarangan, bahwa Islam merangkumi semua system yang ada sekaligus berfungsi sebagai sterilisasi dari segala firus ideologi yang ada. Karenanya secara normatif maupun kemanusiaan, system Islam tidak perlu diragukan kebenarannya dan hendaklah diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun keraguan yang berimbas pada perjalanan sejarah suram umat Islam tempo dulu pasca wafat Rasulullah SAW, bahwa system khlilafah juga bermasalah, semua ini bukan karena salah system Islam, tetapi karena umat Islam meninggalkan system khilafah. Mu’awiyah utamanya, telah menjadikan jabatan khalifah menjadi dinasti yang diwariskan kepada anak cucunya yang seterusnya corak dinasti seperti itu diambil alih oleh klan Abbasiah, padahal khilafah tidak seperti itu. Bila diseleksi secara Islam, Mu’awiyah juga tidak layak memangku jabatan khalifah, tetapi semua itu terjadi lantaran kediktatoran yang ditonjolkan, yang apabila dirunut kembali, banyak kepala kaum muslimin yang dipatuk oleh Mu’awiyah. Mengapa ? Ya…itulah gaya kepemimpinan tutup mulut, siapa yang berani buka mulut ( protes ) silakan meninggalkan dunia yang indah permai ini.

System khilafah dengan seleksi wahyu bagi pemangku jabatan mulai dari tingkat atas sampai bawah dan penerapan syari’at Islam dalam segala sektor dan bidang, adalah bentuk pemerintahan yang ideal. Hanya Allah yang berhak memimpin manusia menurut aturan wahyu-Nya, tetapi Allah tidak mungkin datang ke dunia untuk tujuan itu, oleh karenanya pemimpin hendaklah ada dalam umat Islam untuk menggerakkan roda pemerintahan menurut wahyu. Dari sudut pandang ini maka pemimpin dalam Islam hanyalah mandataris Allah. Karenanya salah apabila hanya sebagai mandataris tetapi berlagak lebih, mendabik dada sebagai penguasa di muka bumi, melebihi Allah yang maha kuasa, apalagi mengatur manusia dengan undang-undang ( UU ) buatan manusia, maka ketika UU itu diterapkan dalam masyarakat, disini telah terjadi syirik dalam hal undang-undang. Naudzubillah….wallahu a’lam, insya Allah… bersambung.

0 comments:

Post a Comment