Abd. Razak Muhidin |
Yang salahnya kecil bukan diingatkan untuk bertobat, berhenti dari kecurangan tetapi digalakkan untuk semakin melakukan yang lebih besar. Inilah yang kita sebut sebagai penilaian yang cukup miris dalam pandangan agama. Mengapa ? … Karena dalam ajaran agama lewat sabda Nabi bahwa tanda kebahagiaan seseorang adalah dia memandang urusan dunianya dengan pandangan ke bawah dan melihat urusan akhiratnya dengan pandangan keatas. Yang punya mobil dan rumah mewah akan memandang ke bawah dan bersyukur, alhamdulillah, saya punya mobil dan rumah, sementara masih banyak orang yang tidak punya mobil dan rumah. Yang punya mobil tetapi tidak punya rumah akan bersyukur, alhamdulillah, saya masih punya mobil, sementara masih banyak yang hanya pakai motor. Yang punya motor akan bersyukur, alhamdulillah, saya masih punya motor semenara banyak orang yang hanya bersepeda. Yang bersepeda akan bersyukur, alhamdilillah saya masih punya sepeda sementara banyak orang yang masih jalan kaki. Yang berjalan kaki akan bersyukur, alhamdulillah, saya bisa berjalan sementara masih banyak yang tidak bisa berjalan. Yang tidak punya kaki bisa bersyukur alhamdulillah, saya masih punya tangan, sementara masih banyak yang tidak punya kaki dan tangan. Dan seterusnya ke bawah sehingga semakin tertanam rasa syukur dan tidak menjadi tamak atau berlebih-lebihan.
Justru sebaliknya memandang urusan akhirat dengan pandangan ke atas, sehingga kita menjadi orang yang selalu merasa kurang dalam beramal dan terus berusaha untuk meningkatkannya. Para sahabat akan melihat para Nabi adalah orang yang paling unggul dalam beribadah, sehingga terus berusaha beramal seperti Nabi. Para tabi’in akan melihat keunggulan para sahabat dalam beramal, sehingga terus berusaha beramal seperti para sahabat. Para tabi’it tabi’in terus melihat keunggulan para tabi’in sehingga beramal seperti para tabi’in. Sederhananya orang yang hanya bisa menjaga shalat lima waktu bisa melihat keatas bahwa ada tetangga disebelah bisa shalat lima waktu dan berpuasa yang dengan itu dia berusaha seperti tetangganya itu. Yang shalat dan puasa akan melihat keatas bahwa ada tetangga disebelahnya lagi selain shala dan puasa juga konsisten dalam membaca qur’an. Yang konsisten dengan tiga amalan ini akan melihat keaatas bahwa ada lagi orang yang bisa shalat, puasa, baca qur’an dan konsisten dalam besedeqah setiap hari jumat, dan seterusnya keatas pandangan dalam urusan akhirat sehingga timbul rasa kekurangan dan berusaha untuk meningkatkannya.
Penilaian yang keliru sebagaimana tercantum diawal tulisan ini juga bisa tersumbul dari pandangan yang menjanjikan kesuksesan dimasa depan, dan sangat cemas dengan dugaan yang bukan-bukan. Padahal apa yang disebut dengan masa depan adalah sesuatu yang masih misteri. Jangankan masa depan bak seribu tahun lagi, hari besok setelah hari ini saja semua penduduk bumi tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Percakapan tentang orang sukses sebagaimana dipaparkan diatas saja bila dirunut kembali juga masih menjadi misteri. Mengapa ?...Ya sudah tentu, karena kesuksesan yang diraih dalam urusan duniawi seperti tersebut diatas, tidak bisa dipastikan oleh orang yang bersangkutan yang memulainya sejak awal. Hanya saja pada waktu tertentu orang memperkatakan apa yang dilakukannya itu sebagai yang sukses. Pandangan seperti ini tidak berarti mengajak orang duduk berpangku tangan bermalas-malasan, tetapi ini adalah suatu upaya meluruskan pandangan yang keliru seakan masa depan adalah sesautu yang bisa dipastikan.
Lalu apa yang harus dilakukan dengan masa depan ? Islam menganjurkan persiapan menghadapi masa depan, tetapi tidak boleh memastikan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah kesuksesan dimasa depan, dan hendaklah diformatkan bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah ikhtirar menuju masa depan. Bila sesuatu yang diusahakan telah diformatkan dalam ikhtiar maka disana ada takdir yang menentukan kesuksesan. Untuk mencapai takdir kesuksesan ada bebarapa factor pendukung, yaitu ilmu, cara kerja ( metode ) yang benar, dan menejerial yang baik. Setelah melakukan ikhtiar seperti itu hendaklah dilengkapi dengan tawakkal kepada Allah, artinya mengembalikan semua urusan kerjaan kepada Allah bahwa ilmu untuk mengendalikan kerjaan yang ada hanya seperti itu, mudah-mudahan Allah yang lebih sempurna mengendalikan usaha itu dengan ilmu-Nya yang teramat luas. Tawakkal dalam arti bahwa Metode atau cara kerja telah dioptimalkan, semoga Allah yang maha perekayasa yang akan menyempurnakan cara kerja yang masih kurang. Dan tawakkal dalam arti menyerahkan segala kepengurusan kepada Allah yang mengurus sesutu lebih sempurna.
Tawakkal dalam kapasitas seperti diatas akan membawa seseorang ridha dengan takdir yang akan terjadi, tidak bangga bila sukses, tidak stress bila rugi, dan tidak tertimbun penyakit iri dengki dalam hati, tetapi dimenejkan dalam bingkai syukur dan sabar kepada Allah. Bila kerjaan yang dimenej dalam syukur dan sabar maka andaikan kerjaan itu rugi ada pahalanya disisi Allah, dan bila beruntung juga ada pahalanya, apalagi kalau dibelanjakan ke jalan yang benar. Tawakkal dalam bingkai seperti itu juga membebaskan seseorang dari bayangan masa depan yang penuh dengan kecemasan, karena Allah berfirman yang artinya “ Syetan menjanjikan ( menakut-nakuti kamu ) dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan ( kikir ) sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia dari pada-NYA “ ( QS. al-Baqarah : 268 ). Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment