English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Thursday, May 9, 2013

GAUL

G AUL sebagaimana judul diatas masih berkaitan dengan pembahasan pada Jum’at sebelumnya. Bahwa banyak bergaul termasuk diantara penyebab keracunan pada hati yang apabila tidak segera diobati maka hati justru akan mati. Sebuah petuah yang apabila dikaitkan dengan keberadaan kita dizaman sekarang, bisa menjadi sesuatu yang kontra produktif, ketika orang begitu ngetrend dengan slogan “Gaul” sebagaimana judul diatas. Dimana-mana orang menyuarakan gaul, yang artinya sesuatu yang menuntut pembauran bersama, bersama-sama dalam mode, gaya, cara, kebiasaan dll yang semakna dengan itu. Bila diamati “Gaul” yang dimaksudkan seperti ini terkadang tanpa ada sekatan dan batasan, tidak ada penyaringan dan perbedaan dan tidak ada yang tidak bisa, pokoknya semua bisa kalau disebut “Gaul” itu..

Betapa “Gaul” yang dimaknakan demikian telah membudaya dalam keseharian, mengi-kuti selera dimanakah kata “Gul” itu disandingkan. Bila seseorang yang tidak mengikuti pernik-pernik baru dan terkini dari HP (Hand Phone) dll, masih menggunakan gaya lama disebut sebagai “Tak gaul”. Lalu yang mendengar sindiran seperti itu menjadi tak tahan, terpen-dam di dalam hati perasaan tersisihkan oleh pergaulan, kalah bersaing, ketinggalan zaman, kolot, kuno, kampungan, maka pemulihannya adalah dengan berbagai macam cara dilakukan untuk kembali disebut sebagai “Yang Gaul”. Bila sudah berprinsip demikian, maka tidak perduli dari mana datangnya tuntutan “gaul” itu, asalkan bisa terpenuhi yang di inginkan. Untung-untungan bagi yang bisa bersabar, menjalani hidup sebagaimana apa adanya, tetapi hanya sedikit yang bisa memegang prinsip demikian, sehingga pasti saja “Gaul” akan menenggelamkan “Yang tidak gaul”.

Pada tingkat elit “Gaul” itu juga ngetrend pada struktur organisasi, jajaran birokrasi, jaringan relasi, kelompok bisnis, praktisi dan politisi, tidak ketinggalan pada para komite (para pelaksana) dan para penggembira, “Gaul” terslogan dalam pembauran bersama, bersama-sama dalam gaya, mode, cara, kebiasaan dan yang semakna dengan itu. Bila ada diantara kelompok ini yang tidak mengikuti cara dan kebiasaan yang berlaku, maka dia (mereka) dikatakan sebagai “Tak Gaul”. Kelompok yang dikatakan sebagai “Tak Gaul” ini lalu mendapatkan perlakuan yang tidak wajar, dipersempit ruang geraknya, dipersulit kans dan kesempatannya, dihalang-halangi perjalanan kakrirnya, semuanya dilakukan lantaran “Mesti gaul”, kalau “Tak gaul” mampus. Maka segala konspirasipun dilakukan demi “Gaul” yang artinya sama-sama mengikuti cara dan kebiasaan yang telah diTSTkan (Tau Sama Taukan) itu. Walaupun melanggar aturan dan norma, walaupun mengambil hak orang lain, walaupun mengabaikan tanggung jawab dan amanah. Maka terjadilah korupsi, kolusi, nepotisme, komersialisasi jabatan dalam kelompok ini.

Bahkan dalam urusan agama yang berhubungan dengan Tuhanpun “Gaul” dipertautkan dalam pengertian tersebut, sehingga ada sebutan “Ustadz Gaul, Kiyai Gaul, Ajengan Gaul, Haji Gaul, Santri gaul, yang artinya mereka yang menyandang predikat tersebut bisa ikut bersama, bersama-sama dalam mode, gaya, kebiasaan dan yang semakna dengan itu. Dari itulah maka ketika ada ustadz yang bisa tampil di Televisi bergandengan tangan dengan para artis perempuan disebut sebagai “Ustadz Gaul”. Ada kiyai yang bisa hadir diacara muzik yang dikehendaki dalam tampilan itu bahwa kiyai itu hendaklah bertepuk tangan mengikuti rentak muzik tersebut sebagai yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang hadir disana. Kiyai seperti ini juga disebut sebagai “Kiyai Gaul”. Juga kalau ada santri yang bisa memakai anting-antingan, pakai celana sobek-sobekan disana sini, maka santri seperti ini disebut sebagai “Santri Gaul”.

Selain santri, anak-anak muda yang lain juga punya trend dalam “Gaul” yaitu berbaur bersama berhura-hura dalam konser musik, pergaulan bebas (campur baur) laki-laki dan perempuan, hisap rokok, narkoba, ugal-ugalan di jalan, balap liar, tatwuran, semuanya dikaitkan dengan mereka-mereka yang berbaur bersama, ikut serta menghiruk pikukkan suasana, adalah yang demikian itu sebagai “Gaul”. Kalau dia yang remaja putri maka harus “Gaul” dalam arti ikut mode dan gaya pakaian yang membuka aurat, bergaya rambut flamboyan, memakai jilbab, menutup aurat itu “Tak Gaul”, ketinggalan zaman, kampungan, sebaliknya bergaul aja dengan nenek-nenek tua. Semuanya tidak lain bermula dari cara pandang dan pergaulan, “Gaul” yang disalahartikan.

Dan kalau pada tingkat elit akan terjadi konspirasi untuk menjahanamkan orang-orang yang “Tak Gaul”, maka demikian juga dengan mereka-mereka di tingkat bawah, para pemuda remaja, para buruh, para pekerja dan para kakryawan juga demikian. Pekerja putri yang memakai jilbab tidak diperkenankan bekerja pada perusahaan tertentu, para karyawan yang tidak terikut-ikut dengan cara kebanyakan karyawan yang salah akan dibenci oleh mereka yang telah terbiasa dengan cara “Gaul” seperti itu. Wanita yang menjaga tradisi, adat istiadat, dan berpegang teguh pada agama akan kurang pendapatan-nya dan tidak laku dipasaran, bila dibanding dengan wanita yang menganut pahaman liberal, diidentikkan dengan kemajuan dan sukses, menjadi ikon dalam iklan dan reklame.

Alangkah beratnya memikul tanggung jawab kebenaran, memilah-milah manakah per-gaulan yang seharusnya terjadi dan manakah yang harus disingkirkan. Sementara yang teguh memegang janji itu hanya sedikit, sedangkan yang terkena erosi itu banyak dan lama kelamaan akan menenggelamkan yang sedikit itu. Bila semakin lama maka pan-dangan pergaulan yang salah itu dianggap sebagai biasa-biasa saja yang seterusnya orang tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan seterusnya orang akan beranggapan sama saja. Inilah yang dikhawatirkan dalam terlalu banyak bergaul, sehingga disebutkan oleh para ulama Tasauf, bahwa terlalu banyak bergaul bisa menyebabkan hati menjadi sakit bahkan mematikan hati.

Bahkan tingkat resistensi yang lebih tinggi, kentara dan nyata bisa dilihat dalam ranah politik, ketika tindakan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Maka banyak suara yang dipalsukan, ada yang dihilangkan dan dan ada juga yang dialihkan pada orang lain. Sehingga orang yang tadinya sebenarnya menang tetapi akhirnya menjadi kalah, yang tadinya bekerja dengan ikhlas kini menjadi pamrih dan hipokrit, yang tadinya jujur berubah menjadi khianat. Bila dikaji dengan saksama, semuanya itu akibat dari terlalu banyak bergaul. Dan ini tidak obahnya dengan sebuah riwayat disebutkan Nabi saw telah bersabda bahwa akan datang suatu masa fitnah dan huru hara terjadi dimana-mana. Maka orang yang duduk ketika itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri itu lebih baik daripada orang yang berjalan, orang yang berjalan itu lebih baik dari pada orang yang berlari. Barang siapa yang tetap duduk maka dia akan kesendirian, sedangkan orang yang selain dari itu akan mendapatkan kawan satu sampai seratus atau lebih.

Paparan diatas tidak lain adalah mengambil hikmah dari sabda Nabi saw seperti ini, bahwa kenyataan dari sabda Nabi itu telah terjadi. Orang-orang yang baik yang tetap duduk ditempat (di maqam) kebaikannya dan tidak mau bergabung dengan orang lain maka dia akan sendirian. Tetapi andaikan orang baik itu mau berdiri, berjalan, berlari bersama dengan orang-orang yang salah itu justru dia juga akan terseret arus kesalahan itu. Hal ini bisa dibuktikan bahwa ada ulama yang pada mulanya baik, tetapi ketika dia memilih berdiri, berjalan dan berlari bergabung bersama, justru dia akan terperangkap dalam kejahatan itu. Maka imam Al Ghazali menasehati agar bergaul dengan para ulama agar terhindar dari fitnah itu, demikian juga oleh seorang dari para Wali Songo (Sunan Kali Jaga) menasehati yang sama. Demikian…. Wallahu a’lam. Oleh : Abd. Razak Muhidin

0 comments:

Post a Comment