English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, November 15, 2013

TIGA PENYEBAB SESAT MELARAT DAN TERHINA

Abd. Razak Muhidin


Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawy dalam “Nasha’ihul ‘Ibad” menukilkan pesan para hukama (ahli hikmah) tentang tiga hal yang keliru yang membuat orang menjadi sesat, melarat dan terhina. Tiga hal tersebut yaitu “Barang siapa yang berpegang teguh pada akalnya semata niscaya dia akan tersesat. Barang siapa yang mencari kecukupan dengan harta bendanya dia akan menjadi kekurangan dan barang siapa yang mencari kemuliaan dari makhluk niscaya dia akan terhina”.

Yang pertama; berpegang teguh pada akal.

Manusia dianugerahkan oleh Allah swt satu kelebihan yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain yaitu akal. Bila hewan dibekali oleh Allah dengan senjata seperti paruh yang tajam, gigi yang runcing, cakar yang panjang, taring yang besar namun semua itu tidak mampu menghadapi senjatanya manusia yaitu akal. Maka disebut akal adalah senjata yang paling unggul dari manusia, yang mana dengan akal itu manusia menciptakan senjata-senjata yang lebih canggih yang dapat menundukkan senjata-senjata dari makhluk-makhluk lainnya. Nah dengan akal juga manusia menorehkan budaya dan peradaban yang jauh lebih maju ketimbang hewan. Kemajuan yang dicapai oleh manusia sebagaimana yang kita saksikan zaman sekarang juga tidak lepas dari berfungsinya akal pada manusia. Syeikh Syarafuddin al-Musawy menulis bahwa akal adalah padanan wahyu bahwa dengan akal wahyu dianalisa dan dari hasil analisa itu tercetuslah segala peradaban manusia.

Bila akal tidak difungsikan atau di eksplore, maka informasi wahyu hanya tinggal bertahta dalam catatan yang indah berhias. Allah swt menginformasikan tentang rahasia ilmu yang ada di alam semesta, bahwa segala yang diciptakan-Nya tidaklah sia-sia, lalu manusia di suruh untuk mengkaji dan meneliti segala yang telah diinformasikan itu. Tetapi kalau manusia tidak mengkaji dengan akal pikirannya, maka wahyu menjadi beku, tidak berfungsi sebagai basis ilmu pengetahuan dan peradaban. Misalkan saja wahyu menginformasikan “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan” ?. (QS. al-Ghasyiyah : 17 – 20).

Dalam ayat ini sangat jelas bahwa umat Islam digalakkan untuk memperhatikan alam semesta, tetapi bukan hanya sekedar meng-insafi kebesaran Allah dalam penciptaan semua itu tetapi lebih dari itu adalah bagaimana meneliti dan mengkaji tentang benda-benda (makhluk) yang ada di alam semesta. Ini juga termasuk bagian dari kandungan ayat tersebut dan lebih penting bila dibanding hanya sekedear memperhatikan.

Meskipun demikian pentingnya ekplorasi akal itu, tetapi dalam hal-hal tertentu akal ada katerbatasannya, misalnya alam akhirat, siksa kubur, padang mahsyar, shirath, mizan dll semua ini kalau hanya mengikuti kehendak akal semata, maka orang bisa akan tersesat karena wilayah pembahasan ini adalah wilayah keimanan. Bila sudah masuk wilayah iman ini, sungguhpun akal belum bisa menerima tetapi imanlah yang menentukan. Misalnya wahyu membicarakan tentang siksa neraka disini bia dianalisa menurut akal niscaya tidak akan dapat membuktikannya, tetapi iman bisa membuktikannya. Nah...iman membuktikan seperti apa ?. Sudah tentu iman (percaya) bahwa walaupun tidak bisa dibuktikan tetapi ada nas (dalil) yang menegaskan tentang itu. inilah yang kita sebut wilayah iman. Termasuk dalam hal ini tentang dzatnya Allah swt, sudah ditegaskan oleh Nabi saw bahwa berpikirlah oleh kalian akan segala yang diciptakan oleh Allah, janganlah kalian berpikir tentang zatnya Allah karena kalian tidak bisa menjangkaunya. Maka dilarang untuk memikirkan tentang zatnya Allah, tetapi selain dari itu silakan berpikir. Bila zatnya Allah juga mau dipikirkan oleh manusia justru banyak yang telah tersesat. Maka dilarang mengikuti akal semata. Bila mengikuti akal semata akan meyebabkan sesat, melarat dan sengsara.

Yang kedua ; Barang siapa yang mencari kecukupan dengan harta bendanya niscara dia akan kekurangan.

Harta benda hanyalah alat untuk hidup sedangkan kehidupan adalah milik Allah, artinya manusia telah ditakdirkan hidup dan mati, sehingga tidaklah dia terlalu dirisaukan dengan kehidupan apalagi menggantungkan kehidupan pada harta benda semata. Sebab bila menggantungkan kehidupan hanya pada harta benda semata, maka orang akan menghabiskan waktunya hanya untuk mencari apa yang bernama harta benda itu. siang malam dia bekerja tanpa henti, bila perlu overtime selalu. Sebenarnya bisa saja dia menghabiskan waktunya untuk bekerja sebab itu juga adalah bagian dari ibadah tetapi salah dan bisa berakibat sesat, melarat dan sengsara apabila bekerja dengan tanpa menjaga pantang larang, tidak memilah-milah antara yang halal dan yang haram, tidak memperhatikan waktu antara istrahat dan serius apalagi ibadah (shalat). Cara bekerja seperti ini yang disebut dalam kitab tersebut diatas sebagai tersesat, melarat dan sengsara. Mengapa sampai berakibat sesat, melarat dan sengsara ? Sudah tentu manusia mempunyai keterbatasan dan memerlukan relaksasi (istirahat) yang secara alami sudah dipatenkan oleh Allah, siang untuk bekerja dan malam untuk istirahat. Tetapi apabila garis ketentuan Allah seperti ini lalu dilanggar, bekerja full time sehingga waktu istirahat itu sampai hanya sedikit, tidak berimbang, justru akan berakibat fatal. Kefatalan itu bisa saja terjadi misalnya terserang penyakit, depresi, drop dll. Akibatnya semua harta benda yang terkumpul selama ini justru dihabiskan untuk urusan terapi atau perawatan bahkan bisa minus terpaksa harus pinjam di perusahan atau agensi tempat bekerja, lalu setelah sehat kejar lagi kembali untuk menutup hutang. Bahkan masih mending kalau sampai membawa kematian maka ahli waris yang ditinggalkan akan merana, mereka hidup dililit hutang. Shalat bukan sebagai penghalang kerja tetapi itu adalah terapi dari Allah untuk menetralisir kehidupan yang penuh sumpek, karenanya tidak perlu diresahkan, kenapa sebentar-sebentar shalat yang hanya menghalang kerjaan. Padahal dibalik dari itu tidak disadari bahwa itu adalah relaksasi yang diberikan oleh Allah swt. Benarlah Nabi dalam sebuah sabdanya bahwa barang siapa yang pada waktu paginya hanya disibukkan oleh urusan dunia semata, niscaya dia akan diliputi oleh kesibukan yang tiada akhir.

Yang ketiga ; barang siapa yang mencari kemuliaan dari makhluk niscaya dia akan terhina.

Kemuliaan adalah milik Allah, adapun makhluk apabila dimuliakan oleh manusia itu hanya kamuflase (topeng) belaka. Tetapi kalau makhluk yang benar-benar mulia adalah dia yang dimuliakan oleh Allah seperti para Nabi dan para Rasul selain dari itu telah kita sebutkan diatas adalah kamuflase (topeng). Mengapa ? Yah…sudah tentu ada manusia yang dimuliakan karena jabatan sementara jabatan itu disisi Allah justru akan menghancurkan orang itu. Sangat boleh jadi pangkat dan jabatannya itu diperoleh dengan cara yang curang. Banyak orang yang memuliakan seseorang karena banyak harta juga demikian, tidak lain harta itu juga kelak akan membakar dirinya karena sangat boleh jadi harta itu diperoleh dari jalan yang haram. Maka kemuliaan yang sebenarnya adalah kemuliaan yang ada di sisi Allah, itulah yang hendaklah dicari, yaitu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Mencari kemuliaan disisi manusia (makhluk) justru akan tersesat, melarat dan sengsara, misalkan saja dengan seorang menantu ingin mendapatkan pujian dari mertua maka ia beramal hanya untuk menunjuk-nunjuk kepada mertuanya (riya’). Cara beramal seperti ini hanya akan menyengsarakannya, capek dan membuang banyak waktu tapi sia-sia belaka. Termasuk mencari kemuliaan dihadapan penguasa dari seorang bawahan. Lebih jelek lagi kalau terjadi pada para ulama yang ingin mendapatkan kemuliaan pada para penguasa sehingga dia mau diangkat untuk memegang jabatan tertentu. Diawali dengan cara yang tidak terpuji itu maka ketika dia ulama tersebut memegang jabatan tersebut dia akan cenderung pada kehendak penguasa itu. Bila penguasa itu meminta fatwa maka fatwa itu tidak lain untuk kepentingan penguasa itu kalau benar alhamdulillah, tetapi fatwa yang menghalalkan segala cara adalah sangat jelek dihadapan Allah swt. Maka benar Nabi bersabda bahwa siapa yang mencari kemuliaan dihadapan makhluk maka dia telah hilang separuh dari agamanya. Semoga kita selalu mawas diri dari tiga hal yang mencelakakan ini. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment